BAHASA INDONESIA




KATA  PENGANTAR


I.          Nama saya Soekirman Poedjosoewito, tinggal di desa Jeruk, kelurahan Kepek, kecamatan Wonosari, kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Saat ini berumur 71 tahun.
Saya merasa perlu untuk membuat dokumen yang berupa “Buku Wasiyat Keyakinan Kasuksman Pran-Soeh”, yang berisi tentang Ilmu Tuhan Allah dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, Carik Desa Jagalan, kecamatan Muntilan, dengan maksud untuk saya wariskan kepada kadang golongan (murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo).

II.       Buku Wasiyat ini saya kutip dari buku induknya/aselinya yang sudah hampir rusak.

III.     Buku Wasiyat ini saya ketik sendiri, dan setelah selesai saya jilidkan. Sedangkan mengenai penyusunan/pemilihan kalimat yang kurang baik dan masih banyaknya salah ketik, semuanya itu saya akui bahwa memang saya tidak ahli di bidang bahasa dan sastra, ya hanya sampai disitulah kemampuan saya.

IV.    Saya meninggalkan warisan yang berupa Buku Wasiyat ini mempunyai tujuan pokok sebagai berikut:
1.    Ilmu Tuhan Allah milik Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo terjaga kemurniannya untuk selama-lamanya, jangan sampai menjadi Ilmu “katanya nanti…”.
2.    Memperjelas dan menggenapi Ilmu yang tidak jelas (samar) dan kurang, jangan sampai membingungkan bagi siapa saja yang akan mempelajari dan mengamalkan/melaksanakan Ilmu Tuhan Allah milik Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo ini.

V.       Akhirnya untuk waktu yang akan datang mungkin ada kadang golongan yang berniat untuk memperbaiki buku ini dengan cara dicetak, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa lainnya, saya mengijinkan asal tidak diselewengkan.






Wonosari, 1 Januari 1986
Yang menghimpun,





Poedjosoewito

BAB I
SILSILAH RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO
1. Silsilah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo hanya dijelaskan intinya saja secara singkat, diambil dari keturunan Eyang Buyutnya. Silsilah Beliau diuraikan seperlunya saja untuk sekedar dapat dimengerti asal usul Beliau.
2. Keturunan dari ayah.
Beliau Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo lahir dari keturunan Kyai Wirobongso. Kyai Wirobongso adalah Eyang Buyut Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Kyai Wirobongso adalah orang yang pertama kali bertempat tinggal di desa Babadan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kota Sleman terletak di sebelah utara kota Yogyakarta, kira-kira jauhnya 12 km. Kyai Wirobongso adalah bangsa Indonesia, dari suku Jawa aseli/Mataram. Beliau Kyai Wirobongso adalah pejabat pemerintah pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda, yaitu menjabat sebagai Panewu (Camat) Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Setelah terbentuknya Pemerintah Republik Indonesia, Kyai Wirobongso masih menjadi pejabat Pemerintah Indonesia yaitu sebagai Camat di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kyai Wirobongso menganut agama Islam, mendalami ajaran Islam sampai mahir, sambil ber-tapa brata (berupaya keras mengendalikan/mengalahkan hawa nafsu, misalnya berpuasa: tidak makan tidak minum selama periode tertentu, pantang garam, dan sebagainya, tidak marah-marah/emosi, serta memusatkan perhatian, perasaan, batin kepada Tuhan Yang Maha Esa). Tapa-brata-nya lebih khusuk dari ayahnya. Beliau sangat faham mengenai ajaran-ajaran agama Islam.
Kyai Wirobongso mempunyai anak bernama Kyai Wiropati. Kyai Wiropati bekerja sebagai pegawai negeri, beliau mendapat sebutan Kyai baik dari penduduk di desanya maupun dari penduduk di lain desa. Beliau tersohor sebagai ahli kebatinan, dapat mengetahui segala sesuatu dengan mata batinnya, dalam terminologi bahasa Jawa disebut waskita (dapat mengetahui akan terjadinya sesuatu kejadian sebelum kejadian itu benar-benar terjadi). Karena kemampuan batinnya, Kyai Wiropati dapat memberi pertolongan apapun kepada orang-orang yang mohon pertolongan kepadanya dan sebagian besar orang yang ditolongnya dapat berhasil/terkabul sesuai dengan permohonnannya. Berbagai macam permohonan dimohonkan oleh orang-orang kepada Beliau.
3. Kyai Wiropati mempunyai anak laki-laki yang bernama Kyai Natatrisula. Belau itulah ayah dari Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Jadi Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo adalah cucu dari Kyai Wiropati atau cucu buyut dari Kyai Wirobongso.
4. Keturunan dari Ibu.
Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo juga mempunyai eyang buyut yang bernama Kyai Haji Ngisa, yaitu eyang buyut dari ibu Beliau.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kyai Haji Ngisa bertempat tinggal di desa Banyutemumpang, Kragawanan Sawangan, Magelang, wilayah Kedu. Beliau bekerja sebagai petani, termasuk petani yang aktif yaitu sangat rajin bekerja mengolah tanah dan menanam tanaman pertanian. Kyai Haji Ngisa mempunyai sifat dan adat istiadat yang baik: baik hati, jujur, konsekuen dan sangat bertanggungjawab atas pekerjaannya sebagai petani, dapat dikatakan menyukai, gemar dan mencintai tanah.
Beliau beragama Islam, bertakwa dan membela Agama. Beliau termasuk petani yang kondisi ekonominya sedang-sedang saja, namun karena kesetiaannya dan ketakwaannya dalam melaksanakan ajaran Islam, beliau berniat untuk melaksanakan/memenuhi kelima rukun Islam, satu di antaranya, yaitu rukun Islam yang ke-lima adalah naik haji. Agar niat untuk memenuhi rukun Islam yang ke-lima, yaitu naik haji, dapat dilaksanakan, Beliau mencukupi kebutuhannya dengan hemat/ekonomis dan dengan perhitungan yang cermat serta disiplin dalam pengeluaran uang. Beliau mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dalam waktu yang lama untuk dapat membiayai niatnya melaksanakan rukun Islam yang ke-lima, yaitu naik haji. Setelah terkumpul uang yang cukup untuk biaya naik haji, maka berangkatlah Beliau melaksanakan rukun Islam yang ke-lima.
5. Sekembalinya dari naik haji, penghidupan Kyai Haji Ngisa agak menderita, karena sawah miliknya tinggal sebagian kecil saja, sebagian besar sawahnya telah dijual untuk biaya perjalanan naik haji.
Meskipun dalam keadaan menderita, Kyai Haji Ngisa tabah hatinya, batinnya merasa puas karena telah berhasil mencapai cita-citanya yaitu naik haji ke Mekah, memenuhi rukun Islam yang ke-lima. Beliau menjadi orang Islam yang sempurna, karena telah dapat melaksanakan ke-lima rukun Islam dengan baik.
Adat istiadat Kyai Haji Ngisa sangat baik, jujur dan menepati janji, suka menolong orang banyak, sehingga di kemudian hari Beliau mempunyai wibawa/kharisma yang besar di masyarakat dan dicintai oleh masyarakat. Kharisma yang besar tersebut memberikan pengaruh kepada anaknya laki-laki yang bernama Kyai Mangunsastra, sehingga ia dipilih orang banyak untuk menjadi Penatus (Kepal Desa) di desa Tumpang Kragawanan, Sawangan, Magelang.
Kyai Mangunsastra mempunyai banyak anak, baik laki-laki maupun perempuan. Salah satu anak perempuannya menjadi menantu Kyai Wiropati, yaitu menjadi isteri Kyai Natatrisula. Nyi Natatrisula itulah yang merupakan ibu dari dan menjadi lantaran timbulnya/lahirnya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di dunia ini.
SILSILAH SECARA RINGKAS DALAM BENTUK BAGAN
Keturunan dari Ayah
KYAI WIROBONGSO




KYAI WIROPATI
KYAI NATATRISULA
Keturunan dari Ibu
KYAI HAJI NGISA
KYAI MANGUNSASTRO
NYI NATATRISULA

RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO

KETERANGAN TAMBAHAN
Kyai Natatrisula adalah keturunan bangsawan (Jawa: ningrat); Meskipun di depan nama tidak dicantumkan huruf R (Raden), tetapi oleh para tetangganya (masyarakat sekitar) Beliau dan anak-anaknya dipanggil Raden dan biasanya disingkat Den.
***A***
BAB II
KELAHIRAN RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO
Sebelum Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo timbul/lahir di dunia, tidak ada tanda-tanda keajaiban yang diketahui atau diterima khalayak ramai yang berhubungan dengan kelahiran Beliau di dunia ini.
Tatkala Kyai Natatrisula (ayahanda Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo) masih menjadi pengantin baru (lima tahun kurang dari lahirnya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo), Kyai Wiropati (ayahanda Kyai Natatrisula) menerima firman dari Tuhan, dan selanjutnya firman itu disabdakan (disampaikan/diberitahukan) kepada Kyai Natatrisula. Sabda itu berbunyi sebagai berikut:”Cucuku (anakmu yang kedua) kelak akan lahir laki-laki, berilah nama Gunung Rama Pran-Soeh, akan berbeda, lebih unggul dari umat biasa!.” Beliau menerima firman Tuhan tersebut pada tahun 1863 Masehi. Sabda tersebut disusul/ditambah lagi dengan sabda yang ada hubungannya dengan saat kapan Beliau (Kyai Wiropati) akan wafat. Sabda susulan tersebut berbunyi sebagai berikut:”Sesudah adiknya Gunung Rama Pran-Soeh lahir, kelak akan lahir perempuan, saat itulah riwayatku habis/selesai!”.
Setelah ditunggu selama 5 (lima) tahun, sabda Kyai Wiropati tersebut terbukti menjadi kenyataan. Terbukti anak Kyai Natatrisula yang kedua lahir berjenis kelamin laki-laki pada hari Rabu Pahing, tanggal 30 September 1868 Masehi, atau dalam kalender Jawa yaitu pada bulan Jumadilakir tahun 1797. Sabda yang pertama sudah terbukti menjadi kenyataan, selanjutnya tinggal menunggu realisasi dari sabdanya yang kedua. Ternyata adik dari Gunung Rama Pran-Soeh lahir berjenis kelamin perempuan. Anak ketiga dari Kyai Natatrisula ini benar-benar lahir dengan jenis kelamin perempuan sebagaimana disabdakan oleh ayahandanya, Kyai Wiropati. Kyai Wiropati pada waktu itu masih sembahyang subuh, menjenguk menantunya yang sedang kesakitan akan melahirkan anak ketiganya. Beliau bersabda:”Cucuku hampir lahir, saya juga hampir...!” Setelah terbukti adik dari Gunung Rama Pran-Soeh lahir berjenis kelamin perempuan, Kyai Wiropati pergi ke tempat tidur, berbaring dan tidak lama kemudian dengan keadaan yang tenang dan tenteram, seperti orang tidur, ternyata Beliau terus wafat. Setelah mendengar keadaan yang ganjil/aneh dari peristiwa tersebut, yaitu dalam waktu yang bersamaan terjadi peristiwa suka dan duka, warga masyarakat disitu mengadakan selamatan atas kelahiran bayi ( adik dari Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo) dan mengadakan selamatan (tahlilan) atas wafatnya Kyai Wiropati. Keelokan (kejadian yang luar biasa) yang terjadi adalah wafatnya Kyai Wiropati tidak didahului dengan menderita sakit dan apa yang disabdakan semuanya terjadi, terbukti menjadi kenyataan. Jadi, Kyai Wiropati boleh dikatakan manusia yang terdekat dengan Tuhan, dapat mengetahui segala sesuatu dengan mata batinnya (makrifat batinnya). Pada saat itu, banyak sekali masyarakat yang datang melayat baik dari desa setempat maupun dari desa lainnya, menyatakan ikut berbela sungkawa atas wafatnya Kyai Wiropati, walaupun dalam batinnya terutama mengharapkan do’a restu dan berkah dari Kyai Wiropati, dalam terminologi bahasa Jawa disebut sebagai ngalap berkah. Keadaan budaya pada saat itu (pada saat Kyai Wiropati masih hidup), hubungan antara anak dan orang tua, lebih-lebih antara anak menantu dan mertua dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari tidaklah bebas/leluasa, seandainya orang tua memberi nasehat kepada anaknya sedangkan si anak kurang mengerti apa yang dimaksud oleh orang tuanya, maka si anak tidak berani atau merasa takut untuk meminta penjelasan lebih rinci dari orang tuanya. Demikian pula halnya dengan sabda Kyai Wiropati kepada putranya, Kyai Natatrisula. Kyai Natatrisula tidak berani meminta penjelasan lebih rinci lagi kepada ayahandanya mengenai sabdanya tentang Gunung Rama Pran-Soeh yang disabdakan akan berbeda, lebih unggul (dalam terminologi bahasa Jawa disebut sebagai kinacek) dari manusia biasa pada umumnya (pepadaning titah). Tetapi bagaimana cara membuktikannya? Apakah kelak akan menjadi orang yang kaya raya dan terhormat; Apakah akan mempunyai kedudukan yang tinggi/luhur? Apakah akan mempunyai kemampuan batin yang tinggi, mengerti segala sesuatu dengan mata batin (makrifat batinnya) seperti eyangnya (kakeknya) Kyai Wiropati? Dan lain sebagainya. Semua pertanyaan itu tidak berani dikemukakannya kepada ayahandanya, Kyai Wiropati, sehingga hanya tersimpan di dalam hati yang dalam dari Kyai Natatrisula. Jadi semua sabda Kyai Wiropati belum dimengerti dengan jelas oleh Kyai Natatrisula. Cinta kasih orang tua yang ditujukan kepada Gunung Rama Pran-Soeh (Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo waktu kecil) sama saja sebagaimana yang diterima oleh kakak dan adik Gunung Rama Pran-Soeh. Soal cinta kasih dari orang tua dan cara mengasuhnya sama sebagaimana diterima oleh saudara-saudaranya, juga tidak ada perbedaan dengan anak-anak lainnya pada waktu itu.
***A***
BAB III
MASA KANAK-KANAK RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO
1 Raden Gunung adalah nama panggilan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo ketika masih anak-anak, masih belum dewasa dan belum mempunyai isteri.
Kebiasaan orang Jawa pada waktu itu, untuk orang yang sudah menikah secara sah, kemudian berganti nama yang disebut nama tua, yaitu satu nama yang dipilih sendiri sebagai nama untuk suami maupun isteri. Jadi untuk suami dan isteri dipanggil dengan satu nama yang sama.
Pada waktu lahir, orang tua memberi nama kepada anaknya, dan anaknya menerima nama yang dipilihkan oleh orang tuanya untuknya. Kebiasaan orang Jawa pada waktu itu, setelah menikah orang tersebut berganti nama tua dan tidak lagi memakai nama kecil yang diberikan oleh orang tuanya. Tetapi pada jaman sekarang, sebagian besar orang Jawa tidak berganti nama tua setelah menikah secara sah dan tetap menggunakan nama yang diberikan oleh orang tuanya sebagaimana tercantum dalam Akta Kelahiran.
Raden Gunung mempunyai ayah yang bernama Kyai Natatrisula. Raden Gunung juga beragama Islam, bersembahyang lima waktu.
Kyai Natatrisula pada saat itu menjabat sebagi Demang. Jabatan Demang pada waktu itu termasuk jabatan yang tinggi. Kyai Natatrisula adalah keturunan bangsawan (ningrat), sehingga Beliau dan putra-putrinya selalu disebut Raden/Raden Ayu oleh masyarakat di sekitarnya. Begitu juga Gunung Rama Pran-Soeh disebut Raden Gunung Rama Pran-Soeh. Kebiasaan masyarakat di sekitar pada saat itu memanggil Beliau dengan sebutan Raden Gunung.
Adat istiadat Kyai Natatrisula berbeda sama sekali dengan adat istiadat ayah dan kakeknya. Beliau tidak mengikuti jejak orang tua dan kakeknya. Kalau ayah dan kakeknya tekun bertapa-brata, selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti serta berperilaku sangat baik, maka Kyai Natatrisula suka berbuat sesuka hatinya, hanya menuruti kehendak hawa nafsunya, kalah/takluk kepada hawa nafsunya, tidak mentaati hukum Islam, tidak menghayati ilmu makrifat (mengolah batin yang tertuju pada ketaatan dan kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Esa). Beliau kerapkali melalaikan dan lupa kepada tugas kewajiban dalam pekerjaannya, kurang bertanggungjawab dan tidak mengurusi rumah tangganya, melalaikan kewajibannya terhadap isteri dan anak-anaknya, dan tidak menjaga nama baik, harga diri dan gengsi keluarganya.
Karena adat istiadat dan kebiasaan yang buruk itulah, maka keadaan ekonominya tidak menentu, jatuh miskin dan sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Tanah sawah miliknya tidak diurus, tidak diolah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Beliau tidak memikirkan untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.
Nyi Natatrisula merasa gelisah mengetahui suaminya masih mau kawin lagi dengan wanita lain. Pokoknya Kyi Natatrisula kerapkali kawin lagi, Beliau menganut faham poligami, dan seringkali tidak pulang ke rumah Nyi Natatrisula.
Kehidupan Nyi Natatrisula sangat menderita dan sengsara, namun Beliau tabah hatinya, besar rasa kemanusiaannya. Pernah suatu saat Beliau mengetahui tetangganya menerima musibah kematian, sedangkan Beliau tidak mempunyai uang untuk memberi sumbangan, ikut meringankan beban tetangganya dan sebagai tanda simpati ikut berbela sungkawa, maka Beliau menggadaikan pakaian yang berupa kain miliknya (padahal hanya memiliki dua helai kain), meskipun tidak seberapa hasil gadainya, disumbangkannya hasil gadainya tersebut kepada tetangganya yang terkena musibah.
2 Raden Gunung ada di rumah membantu ibunya, bekerja menurut apa yang telah dapat dikerjakannya untuk meringankan beban ibunya.
Mengenai sabda ayahnya yang berhubungan dengan Raden Gunung, Kyai Natatrisula banyak lupanya daripada ingatnya, bahkan ternyata tidak memikirkannya dan tidak mempedulikannya. Beliau sama sekali tidak membantu mendidik atau mengasuh putra-putrinya, namun hanya memikirkan diri pribadi.
Sejak masih anak-anak, berumur kira-kira 10 (sepuluh) tahun, Raden Gunung ternyata sudah mulai kerapkali menerima ilham dari Tuhan dengan jelas dan mengerti apa maksudnya. Ilham diterima di saat tidur, di dalam mimpi.
Di suatu saat, pernah Raden Gunung menderita sakit panas yang sangat parah, dalam mimpi Beliau merasa akan dipatuk (disosor) oleh burung Meliwis dengan paruhnya, dalam hati Beliau merasa, bila tidak menerima pertolongan dari Tuhan Yang Maha Kuasa tentu bisa meninggal dunia. Untunglah mendapat pertolongan dari Tuhan, sehingga Beliau merasa pasti akan sembuh. Ternyata jasmani/badan Beliau kemudian sembuh dari sakit panas.
Kyai Natatrisula tidak panjang umur, Beliau wafat pada umur 42 (empat puluh dua) tahun. Setelah ditinggal wafat suaminya, kehidupan Nyi Natatrisula sangat susah dan menderita sekali. Putra-putrinya masih kecil-kecil, belum ada yang mandiri yang dapat mencari nafkah/penghasilan. Raden Gunung lalu menambah tapa-bratanya dan berusaha untuk meringankan beban ibunya yang sangat menderita itu. Raden Gunung mengabdi kepada orang lain (majikan), sambil bersekolah. Di jaman Belanda, Beliau dapat tamat/lulus Sekolah Rakyat (Ongko II) di Godeyan, Yogyakarta. Dapat dimengerti kalau Raden Gunung terpaksa harus mengabdi/ikut orang lain bekerja menjadi pembantu/ pesuruh. Beliau mengabdi tidak hanya pada satu tempat saja, melainkan berpindah-pin-dah tempat. Pertama kali Beliau mengabdi di Sleman, terus pindah ke Dharatan, Sendangpitu dan Ngijon. Dari Ngijon pindah mengabdi salah seorang yang mempunyai jabatan Demang, bernama Srema, namun Beliau tidak lama mengabdi disitu.
Selama Raden Gunung mengabdi kepada orang lain sebagai pembantu/pesuruh dan berpindah-pindah tempat, tentu saja melihat dan mengalami bahwa lain orang, lain tabiatnya, namun Beliau selalu dapat mengerti apa yang menjadi kehendak majikannya, sehingga majikan tersebut menjadi puas hatinya. Raden Gunung sangat peka hati dan batinnya, juga tajam perasaannya, dapat mengerti dengan batinnya, dengan makrifatnya, mengetahui apa yang terkandung (kehendak) dalam hati orang lain atau majikannya. Selama mengabdi, belum pernah Beliau diperintah/diko-mando oleh majikannya, karena sebelum disuruh Beliau sudah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh majikannya untuk dikerjakan, sehingga majikannya merasa cocok karena yang dikerjakan Raden Gunung sudah sesuai dengan kehendaknya. Pada suatu waktu, pernah Beliau merasa tersinggung hatinya, yaitu tatkala mengabdi kepada Kyai/Ulama Muslim yang tersohor. Beliau sudah melakukan berbagai macam pekerjaan, hampir tidak beristirahat, boleh dikata Beliau sudah tunduk kepada perintah Pak Kyai dan melaksanakan apa yang diperintahkannya, namun Pak Kyai belum puas kalau belum memberi pekerjaan yang berat kepada Beliau alias memperbudak Beliau. Pernah Pak Kyai menyuruh Beliau mencari rumput untuk makanan kudanya sembari marah-marah, pura-pura yang menjadi sasaran kemarahannya adalah anaknya sendiri. Perasaan Raden Gunung sangat peka dan tajam, Beliau mengerti isi batin pak Kyai, maka Beliau segera pergi membawa keranjang, terasa sakit hatinya, batinnya menangis, merasa sengsara, karena belum pernah Beliau membangkang atau menolak tugas kewajiban. Beberapa waktu kemudian Raden Gunung menghadap pak Kyai, minta pamit, berhenti mengabdi dan pergi dari rumah pak Kyai. Pak Kyai mengijinkan Raden Gunung pergi. Setelah Raden Gunung pergi dari rumah pak Kyai, tidak lama kemudian pak Kyai sakit keras dan meninggal dunia. Tidak hanya sampai disitu saja, setelah dimohon kepada Tuhan melalui semedi tidur, diselidiki dengan cermat di alam kasuksman, ternyata suksma pak Kyai tersebut menerima hukuman dari Rama Pran-Soeh. Bukti nyata dari masalah ini dapat dihayati dan dibuktikan di alam halus atau alam kasuksman.
Raden Gunung mempunyai kakak yang menjadi menantu dari Kyai yang tersohor bernama Dipowedana, yang bertempat tinggal di desa Plered. Kyai tersebut menjadi guru dari para bangsawan di Kraton Yogyakarta. Raden Gunung kemudian mengabdi kepada Kyai Dwipowedana sambil menjadi siswanya, karena Beliau perlu belajar dan menghayati ilmunya. Cinta kasih Pak Kyai kepada Raden Gunung seperti cintanya kepada anak kandungnya sendiri, sehingga Raden Gunung dikhitankan disitu. Apa yang dialami dan dijalani oleh Raden Gunung tersebut menggambarkan betapa besar kesengsaraan yang ditanggung oleh Raden Gunung, lebih-lebih sampai menjadi beban mertua kakaknya (besan). Menurut adat istiadat dan tata-susila orang Jawa pada saat itu, antara besan yang satu dengan besan lainnya saling berlomba berebut kehormatan dan gengsi. Besan yang satu tidak mau kalah kehormatannya/gengsinya dari besan lainnya.
Dengan perantaraan Kyai Dwipowedana, yang sering disebut Kyai Guru, yang anak keponakannya menjadi selir (Garwa Ampeyan) Sri Sultan Hamengkubuwono VII, Raden Gunung dapat mengabdi di Kraton Yogyakarta di masa bertahtanya Sri Sultan Hamengkubuwono VII.
***A***
BAB IV
TERBUKANYA PENGETAHUAN DAN PEMAHAMAN RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO
1. Raden Gunung memiliki kemampuan dan pandai dalam segala hal, tidak menolak pekerjaan, baik pekerjaan halus maupun kasar, kerja otak maupun kerja otot, semuanya dilaksanakan. Beliau memahami sastra sekaligus kesusasteraan, ahli dalam bidang kesenian, tembang (nyanyian Jawa), tari dan gending, ditambah lagi memiliki suara (dalam melagukan tembang atau gending) yang tidak mengecewakan. Beliau memiliki budi pekerti dan watak yang suci, jujur, rendah hati, bertekad/berkemauan kuat, rela berkorban, berlapang dada, ramah tamah, juga selalu membuat orang lain puas hatinya dan pantang mengecewakan orang lain atau teman. Tidak mengherankan kalau Beliau selalu dicintai oleh orang kepada siapa Beliau mengabdi dan oleh teman-teman yang sama-sama mengabdi, juga oleh siapa saja yang bergaul dengan Beliau, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang lebih tua maupun yang lebih muda. Beliau tidak pernah memiliki pakaian lebih dari dua atau tiga stel, karena kalau Beliau diberi pakaian untuk ganti, baik oleh majikannya atau kiriman dari ibunya, yang satu stel pasti diberikan kepada atau diminta oleh teman-temannya yang mengabdi di tempat yang sama.
2. Di Kraton Yogyakarta, karena suaranya yang merdu, jernih dan enak didengar, terlebih lagi Beliau mengerti sastra dan gending, maka Raden Gunung diberi tugas untuk membacakan buku-buku Babad dan buku-buku tembang lainnya. Sedangkan kewajiban lainnya adalah mengasuh anak (momong) dan ada kalanya melayani Sri Sultan. Raden Gunung sangat dicintai oleh Sri Sultan sendiri, entah karena keahlian dan wataknya yang baik, atau entah karena sebab-sebab lainnya. Anehnya, kalau Beliau menyembah Sri Sultan hanya diperbolehkan dengan menggunakan satu tangannya saja, yaitu tangan sebelah kanan. Hal ini apakah dikarenakan Beliau dan Sri Sultan pernah sama-sama menjadi murid dari guru yang sama, atau mata batin Sri Sultan sudah mengetahui siapa sebenarnya Raden Gunung itu, tidak ada orang yang tahu.
3. Selain mengerti huruf Jawa dan huruf Latin, Raden Gunung juga mengerti huruf Arab, hasil dari belajar mengaji. Beliau tidak belajar mengenai istilah-istilah bahasa Arab. Berbagai-macam buku Babad telah dibacanya, seperti: Babad Pajajaran, Babad Demak, Babad Giyanti dan sebagainya. Demikian juga banyak buku yang telah dibacanya, seperti: Pustaka Raja, Layang Rama, Layang Menak, Ambiya (Iman Sujana) dan sebagainya. Raden Gunung juga telah membaca Wirid, Suluk, dan berbagai macam buku kebatinan. Tidak mengherankan kalau Beliau faham mengenai isi buku-buku tersebut, karena telah menjadi bacaan Beliau sehari-hari selama mengabdi di Kraton Yogyakarta. Dari pekerjaannya sebagai tukang baca itulah, Raden Gunung bertambah banyak ilmu dan pengetahuannya serta pemahamannya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan kejadian-kejadian hidup, peristiwa-peristiwa kehidupan, juga mengenai berbagai macam pengetahuan/ilmu kebatinan. Meskipun banyak sekali buku bacaannya, yang sangat membuka perasaannya hanya Babad Demak dan Babad Mataram, karena hanya kedua buku itulah yang menggugah perasaannya hingga berketatapan hati dan bertekad bulat yang sungguh-sungguh dilaksanakan dengan bertapa-brata dan dengan mengorbankan hidup dan matinya.
Ceritera dalam Buku Babad Demak yang membuka pengetahuan dan perasaan Beliau adalah bagian cerita yang mengisahkan ketika Seh Maulana diundang untuk menghadiri peresmian pembangunan Mesjid Demak tidak dapat hadir karena sedang ada keperluan untuk berbicara dengan Tuhan Allah. Sedangkan cerita dalam Buku Babad Mataram yang membuka pengetahuan dan perasaan Beliau adalah bagian cerita yang mengisahkan bahwa Sultan Agung dapat mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul (Nyi Roro Kidul). Ceritera tentang pembicaraan dengan Tuhan Allah dan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul itulah yang menjadi keinginan Raden Gunung: kalau Seh Maulana bisa, Kangjeng Sultan Agung Mataram bisa, Saya juga harus bisa, karena saya juga manusia; Kalau saya tidak bisa, lebih baik saya kembali ke asal-usul saya, kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian gejolak hati dan tekad Raden Gunung. Sejak muncul tekad yang demikian itu, Raden Gunung kadang-kadang menyendiri dan berdiam diri, seperti ada yang selalu dipikirkannya, menimbulkan pertanyaan dan keheranan bagi teman-teman yang sama-sama mengabdi di Kraton Yogyakarta. Mereka mengira Raden Gunung baru mendapat amarah dari Sri Sultan atau mendapat kesusahan lainnya. Beliau menjawab seperlunya dan selalu mengenakkan hati teman-temannya, dengan selalu mengikuti kegiatan teman-temannya seperti biasanya.
***A***
BAB V
RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO MENERIMA WAHYU YANG PERTAMA YAITU WAHYU SEJATINING PUTRI
1.  Sebagaimana telah diceriterakan di muka kalau Raden Gunung sungguh-sungguh khusuk bertapa-brata, makan hanya satu kali dalam waktu sehari-semalam, tidur di luar rumah beratap langit luas sudah menjadi kebiasaan Beliau sejak masih anak-anak. Tapa-bratanya dilanjutkan mulai sejak mengabdi di Dharatan Sendhangpitu, hingga mengabdi di Kraton Yogyakarta, Beliau tambah giat bertapa-brata. Dari pengajaran-pengajaran yang diterima dari para Kyai yang menjadi guru Beliau, maka Beliau sering makan makanan tanpa dibumbui garam/pantang garam (mutih), hanya makan buah-buahan dan ubi-ubian (mbrakah), mandi dan berendam pada malam hari di Sungai Gajah Wong, Sungai Opak, dan Sungai Praga (sungai-sungai yang berada di tengah dan pinggiran kota Yogyakarta). Suara dalam hatinya mengatakan:”bertapa-brata tidaklah mubazir dan pasti ada manfaatnya, siapa tahu hal tersebut nantinya akan memberikan jabatan/kedudukan atau kelebihan-kelebihan lainnya!”. Terlebih lagi setelah tergerak hati Beliau ingin menyamai Seh Maulana dan Kangjeng Sultan Agung Mataram, maka semakin bertambah khusuklah Beliau dalam melaksanakan tapa-brata. Tapa-bratanya ditambah dengan jalan kaki ke Pantai Selatan (pantai di Samudera Indonesia/Hindia), dalam terminologi bahasa Jawa disebut laku pasisiran, hal ini dilakukan seminggu sekali secara terus menerus, dengan tekad yang bulat tanpa keraguan:”Kalau tidak berhasil, lebih baik mati!”.
2.  Setelah bertahun-tahun Raden Gunung melaksanakan tapa-brata tanpa hasil dan belum menunjukkan adanya tanda-tanda akan berhasil, maka bertambah susahlah perasaan Beliau dan merasa seakan-akan menemui jalan buntu. Pengabdiannya di Kraton Yogyakarta, pekerjaannya, lebih-lebih kesenangannya sudah tidak dipikirkannya lagi, yang dipikirkannya dan dupayakannya melulu hanyalah bagaimana agar lekas bisa berhasil dalam mencapai apa yang ingin diraihnya (cita-citanya, yaitu menyamai Seh Maulana dan Kangjeng Sultan Agung Mataram). Secara terus menerus, mulai hari Selasa Kliwon hingga selama 11 (sebelas) hari, Beliau jalan kaki ke Pantai Parangtritis, pantai di Samudera Indonesia/Hindia yang terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta. Sore berangkat dari Kraton Yogya, malamnya bertapa mengambang dan berenang di laut menggunakan kain ikat kepala yang digelembungkan, dan bila lelah beristirahat sebentar di pantai, kemudian kembali ke Kraton Yogyakarta. Hal itu dilakukannya secara terus menerus selama 11 (sebelas) hari. Tindakan berenang di laut Selatan tersebut dilakukan karena didorong oleh pendapat dan dugaan Beliau bahwa Kangjeng Ratu Kidul bertahta di kerajaan yang bertempat di laut Selatan (Samudera Indonesia/Hindia).
3.  Malam yang terakhir, di hari yang kesebelas, yaitu di malam Jum’at Kliwon, tanggal 13 Sura tahun 1819 (tahun Jawa) atau tanggal 29 Agustus tahun 1890 Masehi, seperti malam-malam sebelumnya, Raden Gunung berenang di laut Selatan menggunakan kain ikat kepala yang digelembungkan. Berkali-kali Beliau terbawa gelombang, dihempas dan dilemparkan ke tepi pantai, kembali ke tengah laut lagi, dihempas dan dilemparkan oleh gelombang ke tepi pantai lagi. Demikian terjadi berulang-ulang hingga hampir tengah malam dan keinginan Beliau untuk bertemu dengan Kangjeng Ratu Kidul tidak terwujud.
Setelah berkali-kali dihempas dan dilempar gelombang laut ke tepi pantai lagi, Beliau merasa putus asa, menyerah dan sedih perasaannya serta tidak berniat lagi untuk kembali ke tengah laut, badannya menggigil gemetaran karena kedinginan, berjalan sempoyongan menuju ke Seh Maulanan (gunung tempat dimana Seh Maulana dimakamkan), kemudian duduk menghadap ke selatan (ke arah laut), bersender pada pohon Nagasari, tangannya berpegangan batu Banteng Prucul (batu berbentuk kepala Banteng yang memiliki tanduk), berniat untuk beristirahat dan menyepi.
Waktu itu tengah malam, rembulan bersinar redup, bintang berkelap-kelip, ombak laut yang bergulung-gulung memantulkan cahaya rembulan yang menerpanya, bukit-bukit di sekitar terlihat menyembul berlomba menampakkan diri, hutan dan semak-semak kelihatan lebat, tidak ada angin, debur ombak terdengar sayup sayup bergemuruh, hewan-hewan liar sudah tidak terdengar lagi suaranya, kecuali suara Jangkrik dan burung hantu yang merayu memberi penghiburan bagi Sang Pertapa yaitu Raden Gunung.
4. Raden Gunung semakin hanyut perasaannya, menangis dalam batinnya, teringat semua yang telah dialaminya, secara jelas terlihat di depan matanya, sudah ditinggal mati oleh ayahnya, teringat ibu, kakak dan adiknya, teringat kesengsaraan dan penderitaannya. Semakin bertambah besar kesedihan dan penyesalannya, karena selalu gagal mencapai keinginannya untuk berdialog dengan Tuhan Allah dan mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul, jauh berbeda dengan Seh Maulana dan Kangjeng Sultan Agung Mataram. Beliau merasa tidak beruntung, merasa rendah diri, remuk redam perasaan hatinya, sehingga hanya berserah diri kepada Sang Pencipta Langit dan Bumi, dengan permohonan dan tekad bulat tanpa keraguan, rela mati pada saat itu juga.
Sebagai akibat atau pengaruh dari perjalanan yang jauh, berendam dan berenang di laut, apalagi harus naik ke gunung Seh Maulanan serta tidak makan apa-apa, terlebih lagi sudah larut malam belum tidur, sehingga rasa capai, rasa lapar dan rasa kantuk membuat Raden Gunung segera tertidur.
5.  Di alam tidur, alam Halus, alam Kasuksman juga disebut alam Sasmita Maya, Raden Gunung ingat kalau Beliau duduk menghadap ke selatan, melihat lautan luas yang penuh berisi air laut yang bergelombang, ombak menghempaskan air laut ke tepi pantai hampir mencapai kaki Raden Gunung. Lautan dilihat terus oleh Beliau; ketika mengedipkan mata lautan hilang musnah dari penglihatan Beliau, berganti dengan pemandangan hutan yang ditumbuhi pohon kelapa yang berjejer-jejer dan pepohonan lainnya sebagaimana keadaan sebenarnya di pantai Laut Kidul. Di dalam hutan tersebut terlihat ada pohon Beringin yang rindang, besar dan tinggi hampir mencapai langit, juga kelihatan menakutkan dan angker. Setelah Raden Gunung berkata dalam batinnya:”Apakah ini yang menjadi kerajaan para jim, setan, iblis dan hantu gentayangan?”, seketika itu juga mendadak terlihat sebuah bangunan kerajaan yang memiliki halaman yang sangat luas bagaikan lapangan sepakbola, yang sedang dibersihkan oleh orang yang banyak sekali jumlahnya (sehingga kelihatan bersih sekali) yaitu oleh orang-orang yang menjadi pegawai, pekerja, pembantu atau pesuruh dari kerajaan tersebut. Yang sangat mengherankan Raden Gunung adalah karena di antara orang-orang yang sedang menyapu membersihkan halamam kerajaan tersebut, ada dua orang di antaranya adalah mantan teman Beliau yang sama-sama mengabdi di Kraton Yogyakarta yang sudah meninggal dunia, bahkan kedua orang tersebut memberi isyarat untuk mengajak Beliau mendatangi mereka dengan cara melambai-lambaikan tangannya. Beliau tidak mau mendatangi mereka dengan memberi isyarat menggeleng-gelengkan kepalanya, sembari berkata dalam hatinya:”Suksma teman-temanku ini pada kesasar (tidak sampai pada tujuan akhir hidupnya yaitu kembali kepada Tuhan darimana Suksma berasal)!”. Raden Gunung semakin terkejut dan semakin merasa heran setelah memperhatikan dengan teliti bahwa ternyata di atas pohon Beringin tersebut bertengger hewan liar yang berwujud burung sebesar ayam jantan, warna bulunya abu-abu kecoklatan, bergaris-garis gelombang bagaikan kemiri, ekornya panjang bergerai, cakar kakinya besar menakutkan, terlebih lagi memiliki taji yang sangat runcing dan tajam. Anehnya burung tersebut memiliki sinar mata yang berwarna merah menyilaukan dan selalu memandang dengan tajam ke arah Beliau. Suara hatinya mengatakan:”Sedemikian besar kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak ada yang mustahil bagiNya, selama aku hidup di dunia ini belum pernah bertemu dan mengetahui ada hewan yang seperti ini!”. Raden Gunung terus-menerus memandang dengan tajam ke arah burung tersebut, dikedipkannya matanya, seketika hilang musnahlah burung tersebut, kemudian terlihat ada wanita yang berparas cantik sekali, memakai pakaian raja, sangat indah busananya, menyibakkan rambutnya yang panjang, kemudian berganti wajah..., wajah yang sama dengan wajah Raden Gunung bagaikan saudara kembar, seperti pinang dibelah dua; dengan wajah yang menakutkan, wanita itu menghampiri Raden Gunung, masih berpakaian raja. Raden Gunung tercengang dan merasa heran serta merasa benci, lebih-lebih setelah dipanggil namanya dengan sikap yang kurang hormat dan bertanya apa yang diinginkan oleh Raden Gunung. Beliau berkata dalam batinnya:”Jelaslah, wanita ini pasti Ratu dari segala jin dan setan serta iblis, hantu dan makhluk halus di Laut Selatan ini, buktinya dia tahu nama saya!”. Selanjutnya Raden Gunung memberitahu bahwa Beliau akan pergi ke Demak (Beliau ingat kalau Seh Maulana diundang ke Demak). Wanita itu menghalang-halangi keinginan Beliau pergi ke Demak, namun Beliau tetap pada pendiriannya, sehingga terjadilah pertengkaran dan perkelahian yang sangat seru. Raden Gunung pada mulanya kalah, Beliau ditelungkupkan, ditindih dan digosok-gosokkan ke tanah, hampir tidak dapat bergerak. Lama beliau kalah dan diperlakukan sedemikian itu, merasa sangat malu, Beliau memohon pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sungguh-sungguh sepenuh hati, segenap jiwa dari dasar lubuk hatinya, tiba-tiba Beliau ingat kalau mempunyai senjata pemungkas (aji pamungkas), ingin dihujamkan kepada wanita tersebut melalui hembusan angin lewat mulut, namun wanita tersebut juga mengetahui apa yang akan dilakukan Raden Gunung (karena dapat menangkap gerak hati Raden Gunung), maka wanita tersebut membungkam mulut Beliau. Raden Gunung kehilangan akal, namun masih selalu ingat/sadar, maka senjata pamungkas tersebut secara tiba-tiba dihujamkan kepada wanita tersebut melalui hidung; seketika itu juga wanita tersebut terpental, jatuh ke belakang, terjengkang, dan segera akan ditangkap dan dibunuh oleh Raden Gunung; sebelum terlaksana, wanita tersebut hilang musnah, menyatu dengan raga/badan jasmani Raden Gunung dan pada saat itu juga terdengar suara:”Pergilah dari Kraton, ke arah barat laut, di dekat Gunung Tidar, bertapalah disana namun jangan sampai (tanpa) diketahui orang selama 31 (tigapuluh satu) tahun, kelak akan menemukan/memperoleh ajaran/ilmu yang akan dapat menjelaskan atau menjadikan terang/jelas berbagai ajaran/ilmu yang telah ada atau yang akan ada di dunia ini!”. Aselinya, suara itu berbicara dalam bahasa Jawa, memberi perintah sebagai berikut:”Mentara saka Kraton, ngalor ngulon sacedhake Gunung Tidhar. Tapaa ngrame ing guwa samun telungpuluh siji tahun lawase, ing tembe nimbulake lakon, nengahi para lakon!”.
6. Setelah suara tersebut hilang dan tidak kedengaran lagi, Raden Gunung bangun dari tidurnya, hatinya bergetar dan pikirannya serasa terhenti. Beliau berkata dalam hatinya:”Terlaksana sudah keinginan saya untuk bertemu dengan Kangjeng Ratu Kidul seperti yang dilakukan oleh Kangjeng Sultan Agung Mataram, juga telah berhasil berbicara dengan Tuhan Allah, seperti Seh Maulana!”.
Wanita yang wajahnya sama/kembar dengan Raden Gunung itulah yang disebut “Wahyu Sejatining Putri”, yang juga merupakan Kangjeng Ratu Kidul; Dialah Ratu para makhluk halus di Laut Selatan, Lautan Indonesia yang juga disebut Lautan Hindia (Jawa: Samodra Laya yang juga disebut Samodra Pati), yaitu yang berwujud dan bernuansa laut di alam halus atau Alam Sasmita Maya. Perlu dijelaskan disini bahwa yang disebut Wahyu Sejatining Putri, sebenarnya adalah nafsu putri/wanita dari Raden Gunung. Nafsu putri/wanita berarti nafsu ketertarikan kepada laki-laki, dan yang mempunyai nafsu putri/wanita umumnya adalah kaum wanita. Karena pada saat itu sudah menjelang pagi, dan karena pengaruh dari perkelahian di alam halus (dalam bahasa Jawa disebut juga Alam Samadi Turu) yang mendebarkan hati, apalagi pada mulanya Beliau kalah dan ditelungkupkan serta digosok-gosokkan ke tanah lama sekali; Hal itu mengakibatkan badan Beliau lemas tidak mempunyai kekuatan lagi, sehingga turun dari Seh Maulanan (makam Seh Maulana) dengan cara merosot karena sudah tidak kuat berjalan. Untuk mengembalikan kekuatan badannya, Beliau membeli Pecel dan Srabi untuk dimakan, supaya kuat berjalan pulang kembali ke Kraton Yogyakarta.
***A***
BAB VI
RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO MULAI MEMEGANG TEGUH KEYAKINANNYA UNTUK MENJALANKAN DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH PERINTAH RAMA PRAN-SOEH
1. Sejak menerima Wahyu yang pertama, perasaan Raden Gunung terasa lega, namun seringkali tumbuh gejolak di dalam hatinya yang mengganggu perasaannya:”Seandainya aku tetap tinggal di Kraton Yogyakarta, pekerjaanku mudah, bahkan telah sesuai dengan kemampuanku, apalagi sudah dicintai majikan dan dihormati teman-temanku; Perintah untuk bertapa selama tigapuluh satu tahun, bagaimana nanti jadinya, apakah aku bisa kuat melaksanakannya, iya kalau kuat, kalau tidak, bagaimana?”. Hal itu wajar bagi manusia yang mana saja, jika masih dipengaruhi hawa nafsu yang selalu menginginkan segala sesuatu yang menyenangkan, yang mudah dan yang mengenakkan hati. Beliau merasa tidak pasti, ragu-ragu dan khawatir. Setiap kali perasaan tersebut bergejolak dalam hatinya, dicegahnya dengan meyakinkan diri dan berkata kepada diri sendiri:”Saya menerima sendiri perintah dari Allah, perintah yang sangat jelas dan selalu muncul secara nyata dalam pikiran saya!”. Pada akhirnya, Beliau bertekad bulat:”Beruntung atau celaka, kalau memilih untuk bersungguh-sungguh melaksanakan perintah Tuhan, mustahil akan mendapatkan kesengsaraan selama saya setia kepada Tuhan Allah, kecuali bagi orang yang hilang akalnya dan sempit wawasannya!”. Lebih-lebih perintah Tuhan tersebut diterima sendiri oleh Raden Gunung dan disaksikannya sendiri; kalau orang sampai menyangkal dan tidak memegang teguh keyakinan batinnya sendiri, berarti dia menyangkal dan tidak percaya pada dirinya sendiri, sama saja tidak memiliki harga diri. Pemikiran dan perasaan yang demikian itu yang kemudian membulatkan tekad Beliau untuk melaksanakan perintah Rama Pran-Soeh dengan sungguh-sungguh; Oleh karena itu, Beliau kemudian mohon ijin untuk berhenti mengabdi di dan keluar dari Kraton Yogyakarta; Meski Sri Sultan sendiri tidak memperkenankan, tetap mempertahankan dan membujuk Raden Gunung supaya tidak berhenti mengabdi di dan keluar dari Kraton Yogyakarta, namun tekad Beliau sudah bulat untuk berhenti mengabdi di dan keluar dari Kraton Yogyakarta, ibarat “Sekalipun dipagari, akan diloncati, meskipun diikat akan diputus”; Beliau tetap memilih keyakinan batinnya sendiri dan memilih untuk melaksanakan perintah Rama Pran-Soeh!
2.  Kakak dari ibu Raden Gunung (bahasa Jawa: Uwa/Pakdhe) sudah beberapa waktu lamanya pindah dari desa Krapyak ke desa Pundhong. Oleh karena itu Raden Gunung menemui pamannya tersebut untuk memberitahu dan berpamitan kalau Beliau akan pergi ke dan menumpang di rumah pamannya (adik dari ibu Beliau) di daerah Kedhu. Paman Beliau memperkenankan dan merestui, namun menyarankan/meminta supaya beliau tinggal dulu untuk sementara waktu di rumahnya, sokur kalau Beliau mau tinggal berbulan-bulan lamanya. Permintaan pamannya itu dikabulkan supaya tidak kecewa hatinya. Pada waktu itu, penduduk desa Pundhong sedang giat-giatnya belajar kesenian gending dan tari, sehingga banyak diselenggarakan pentas berbagai-macam kesenian. Para pemuda di desa itu mengetahui bahwa hanya Raden Gunung yang mengerti tentang dan ahli dalam kesenian gending dan tari, maka Beliau diminta untuk berpartisipasi, ikut serta dalam kegiatan-kegiatan kesenian di desa itu. Karena Beliau selalu ingin menyenangkan dan tidak mau (pantang untuk) mengecewakan orang lain, maka permintaan tersebut dikabulkan, apalagi bidang kesenian telah menjadi hobi dan kegemaran Beliau. Oleh karena itu, Beliau bermain di berbagai macam pertunjukan seperti: Srandul, Giyar-giyar, Prawan Sunthi, Topeng, Ande-ande Lumut, Kethek Ogleng, Wayang Uwong dan sebagainya; Dan dalam pertunjukan tersebut, Beliau selalu menjadi primadona dan disukai banyak orang, karena dalam melakoni perannya selalu sesuai dengan karakter yang diperankannya serta menarik hati. Keadaan tersebut berlangsung hingga satu tahun lamanya, dan hampir saja akan menenggelamkan dan menjadikan Beliau lupa akan tekadnya untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh perintah Rama Pran-Soeh. Hal tersebut dapat dimaklumi dan dijelaskan bagaimana gejolak jiwa muda Raden Gunung ketika berkumpul dengan para pemuda sebanyanya. Untunglah Raden Gunung kemudian menerima perintah-perintah Rama Pran-Soeh yang mengingatkan Beliau tentang Wahyu yang pertama, supaya bertapa tanpa diketahui orang lain di dekat Gunung Tidhar. Mengingat hal itu, Beliau kemudian minta permisi kepada pamannya dan tidak dapat lagi dicegah dan dihalang-halangi oleh siapapun, yang pada akhirnya pamannya memperkenankan Beliau pergi dengan memberikan doa restu.
3.   Di daerah Kedhu, Raden Gunung ikut pamannya, yaitu adik dari ibu Beliau, yang bekerja sebagai penjaga penjara di desa Tejawarna. Karena memegang teguh dan menjalankan perintah Rama Pran-Soeh sampai-sampai Beliau harus berpindah-pindah tempat tinggalnya sekalian mencari pengalaman dan menambah khusuk tapa-bratanya, bisa belajar bersakit-sakit lebih banyak lagi, yaitu mulai dari desa Ngemplak Tambakan, desa Semawung, desa Prumpung, desa Ngadiwarna, desa Ponggol sampai ke desa Kembaran. Pada mulanya Raden Gunung bekerja sebagai Sekretaris Desa (Carik) di desa Tejawarna, kemudian pindah menjabat Sekretaris Desa di desa Langgengsari, pada saat itulah Beliau menikah untuk pertama-kalinya, menikahi anak seorang Ulama (adik dari Sekretaris Desa Langgengsari yang Beliau ganti, atau ipar dari Sekretaris Desa yang sudah meninggal). Menurut adat istiadat dan kebiasaan orang Jawa, sejak seseorang itu menikah, ia tidak dipanggil lagi dengan nama kecilnya, karena sudah berganti nama tua. Demikian pula Raden Gunung, sejak menikah beliau dipanggil dengan nama tua yaitu: Sastrosoewignjo dan senantiasa Beliau tidak lupa menambah Rps di depan nama tua Beliau, sehingga menjadi: Rps Sastrosoewignjo, namun pada waktu itu masyarakat tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan apa yang dimaksud dengan Rps tadi, bahkan Beliau biasa dipanggil: Raden (Den) Carik.
4.  Karena menjadi menantu seorang ulama, maka kemudian Beliau sering bersembahyang lima wakt (sholat), mengaji dan sebagainya sebagaimana layaknya orang muslim (orang yang menganut agama Islam). Meskipun demikian, Beliau tidak melupakan kesenian gendhing dan tari, yang tetap menjadi kegemaran (hobi) Beliau; bahkan pada suatu hari Beliau pernah ditunjuk menjadi Imam (pemimpin) sembahyang di Mesjid Pabelan; Pada waktu itu jemaah yang ikut sembahyang juga banyak sekali. Ketika Beliau melantunkan adzan, pada mulanya benar dan sangat merdu suaranya, mendayu-dayu, karena pada dasarnya Beliau mempunyai suara yang sangat merdu, tatapi makin lama jadi menyimpang, lagunya aneh, dan pada akhirnya menjadi lagu Pangkur Paripurna (lagu Jawa). Sudah pasti hal tersebut mengagetkan semua jemaah yang akan ikut sembahyang disitu, maka ketika Beliau menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak ada jemaah yang masih tinggal disitu, semuanya sudah bubar pergi keluar mesjid. Setelah kejadian itu, setiap kali Beliau bertemu dengan teman-teman yang bersembahyang di mesjid Pabelan, teman-temannya tersebut selalu membuang muka. Mertua Beliau yang dari waktu sebelumnya memang tidak cocok dengan Beliau, setelah mendengar kabar tentang kejadian di mesjid Pabelan tersebut, semakin besar rasa ketidak cocokannya dengan Beliau, namun Beliau, Rps Sastosoewignjo, selalu dapat memelihara hubungannya dengan mertua Beliau, karena selain jawaban-jawaban atau argumentasi yang diberikan Beliau mempunyai dasar/alasan dan nyata, juga diberikan dengan cara yang sesuai dengan adat kesopanan dan dengan cara serta perilaku yang menarik hati/menyenangkan, lagipula untuk masalah lainnya, Beliau selalu dapat memuaskan hati mertuanya. Beliau mempunyai seorang anak, tidak panjang usianya, meninggal pada saat masih bayi, demikian juga dengan isterinya, tidak lama sesudah anaknya meninggal, isterinya juga meninggal.
Setahun setelah isterinya meninggal dunia Beliau menikah lagi dan hidup bersama isteri kedua Beliau tersebut selama lebih dari sepuluh tahun.
5. Semenjak tinggal di daerah Kedhu, Beliau tetap menjalani tapa-brata dan belajar bersakit-sakit (berpuasa, tidak makan tidak minum, tidak menuruti kesenangannya, bersabar hati, tidak emosional, berlapang dada, suka memberi maaf, menolong orang lain yang berkesusahan dan sebagainya), karena mempunyai tekad yang bulat untuk mematuhi perintah Rama Pran-Soeh yaitu:”Tapa ngrame ing guwa samun.” Yang dimaksud tapa ngrame ing guwa samun yaitu bertapa tanpa diketahui oleh orang lain, bertapa dan belajar bersakit-sakit/mengendalikan hawa nafsu ditutupi, tidak diperlihatkan dan tidak dipertunjukkan kepada orang lain, dengan maksud supaya orang lain tidak mengetahui bahwa Beliau sedang menjalankan tapa-brata (bertapa-brata). Maksud dari istilah ngrame adalah mengikuti segala kegiatan masyarakat dan bergaul dengan masyarakat di sekitarnya seperti biasanya. Istilah Guwa Samun artinya bukan goa dan tempat-tempat tersembunyi di pegunungan yang sepi, angker dan tidak pernah dikunjungi manusia, tetapi dimaksudkan agar dalam menjalankan tapa-brata jangan sampai diketahui oleh orang lain. Bagi orang Jawa, kalau pelaksanaan tapa-brata-nya diketahui orang lain, berarti sudah batal, berkurang pahalanya, apalagi kalau dengan sengaja dipertunjukkan dan dipamerkan kepada orang lain, hal tersebut sudah menyimpang dari tujuan orang bertapa. Orang bertapa semestinya mengekang dan mengendalikan hawa nafsu, kalau dipertontonkan kepada orang lain, berarti mencari pujian supaya dianggap hebat dan ditakuti oleh orang lain, dianggap sakti dan lain sebagainya, itu namanya tenggelam mengikuti keinginan hawa nafsunya.
RPS Sastrosoewignjo menerima cobaan atau ujian dari Rama Pran-Soeh, Beliau menderita sakit gatal-gatal pada kulitnya, kurapan dan korengan yang sangat menjijikkan. Kecuali ada kewajiban yang sangat penting yang harus dilakukan, Beliau tidak keluar rumah dan selalu tinggal di dalam rumah saja, Beliau merasa sungkan dan merasa tidak enak hati untuk bergaul dengan orang banyak. Beliau menyadari dan menjaga diri supaya orang banyak tidak merasa jijik karena penyakitnya tersebut. Istri Beliau yang telah hidup bersama dan saling mencintai selama lebih dari sepuluh tahunpun kelihatan tidak betah dan tidak tulus melayani Beliau, dalam penampilannya kelihatan tulus sewaktu melayani Beliau, namun dalam hatinya sebenarnya merasa tidak ikhlas dan merasa sangat jijik. Keadaan tersebut tidak terlewat dari perhatian dan secara jelas diketahui oleh Beliau, padahal pasangan/jodoh (isteri/suami) itu harus cocok lahir dan batinnya, cintanya tidak terbatas hanya bila pasangannya kelihatan ganteng/cantik, masih muda, tebal kantongnya, baik ekonominya, dan sebagainya, tetapi meskipun sudah tidak ganteng/cantik lagi, sudah tua, sedang susah ekonominya (sedang kekurangan), lebih-lebih apabila sedang menderita sakit, harus tetap mencintai, bahkan cinta tersebut tidak berhenti hanya di dunia fana saja. Oleh karena itu, Beliau memberitahu isterinya secara baik-baik, diberi pengertian dan selanjutnya diceraikan serta akan diserahkan kepada Bapak dan Ibunya (dipulangkan kepada orang tuanya). Semula isterinya terpukul perasaannya, menangis menyadari kesalahannya, tetapi setelah diberi berbagai macam penjelasan yaitu daripada melanjutkan perasaan yang kurang cocok malahan bakal menyiksa batin terus-menerus, maka perkawinannya lebih baik diakhiri pada saat itu juga. Hal tersebut akhirnya terlaksana dengan damai, sama-sama ikhlas hatinya untuk bercerai.
Rama Rps Sastrosoewignjo mawas diri, introspeksi, dan menyadari bahwa dirinya sendiri merasa sedang mendapat hukuman dari Tuhan Allah, terbukti bahwa sakit gatalnya tidak sembuh-sembuh, isteri yang biasanya mencintai berubah menjadi tidak cinta lagi, bahkan pada akhirnya harus bercerai, teman-teman dan kenalan berkurang jumlahnya. Oleh karena itu, Beliau berniat untuk menghukum dirinya sendiri, sambil sekalian melaksanakan tapa-brata. Kemudian Beliau berniat untuk mengabdi, menumpang hidup kepada orang yang sangat miskin, boleh dikatakan sebagai pengemis, karena pekerjaan yang perempuan mencari sisa-sisa padi di sawah yang telah selesai dipanen, sedangkan suaminya bekerja sebagai buruh yang pekerjaannya memanjat pohon dan menurunkan bambu tempat menampung sadapan getah kelapa.
Pada waktu itu, Beliau masih tetap menjabat sebagai sekretaris desa, maka kalau dipikir secara logika memang sangat mengherankan/aneh. Beliau mengalami tidur terkena air hujan karena atap rumahnya bocor, dan tidurnya beralaskan pohon padi yang sudah kering (Jawa: damen), juga mengalami makan nasi yang dimasak secara dadakan dari sisa-sisa padi yang baru diperoleh dari sawah yang telah seleseai dipanen, masaknya dengan cara padi digoreng tanpa minyak dengan penggorengan yang terbuat dari tanah liat sampai kering lebih dahulu supaya dapat ditumbuk, baru dibuat nasi. Pada saat itu Beliau lebih khusuk dan tekun ber-tapa supaya sakitnya segera sembuh; tiap malam Beliau berendam di Sungai Senawa, juga di Sungai Pabelan. Peristiwa itu terjadi di tahun 1905 Masehi. Beliau menerima perintah dari Tuhan Allah yaitu: setiap akan tidur supaya memohon kepada Tuhan dengan cara mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an yakni Surat Al Ikhlas, Surat An Nas, dan Alfatekah, sebanyak 11 (sebelas) kali. Perintah demikian itu dilaksanakan oleh Beliau hingga bertahun-tahun lamanya. Karena selalu berendam di sungai, sakit gatal Beliau segera sembuh, dan setelah sembuh baru Beliau mau bergaul lagi dengan handai taulannya.
6.  Selain itu, Beliau menambah khusuk dan giat dalam ber-tapa, yang dimaksudkan sebagai ”harga beli” atau menunjukkan niat yang sungguh-sungguh atas permohonan kepada Tuhan Allah, supaya diberi jodoh/isteri yang dapat memberikan keturunan/anak. Beliau bertekad bulat tidak akan menginginkan isteri yang hanya berdasarkan pada pilihan secara fisik saja, lebih-lebih hanya berdasarkan daya tarik seksual saja, Beliau bertekad akan menikah lagi hanya bila jodohnya/ isterinya dipilihkan/ditunjuk oleh Tuhan Allah sesuai perintah yang diterima Beliau dari Tuhan Allah. Karena kesungguhan hati dan usaha Beliau memohon kepada Tuhan Allah, akhirnya Beliau menerima firman Tuhan dan ditunjukkan calon isteri Beliau yang usianya belum dewasa, sehingga Beliau harus bersabar hati menduda selama 7 (tujuh) tahun sebelum beliau menikah lagi. Firman Tuhan yang berkenaan dengan calon isteri Beliau, disertai perintah dari Tuhan yaitu: agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, Beliau harus bekerja pada orang Tionghoa yang bernama Kho Kiem Gwan. Beliau melaksanakan semua perintah Tuhan tersebut. Beliau sabar dan kuat menduda selama 7 (tujuh) tahun, dalam hatinya Beliau berkata:”Memohon firman dari Tuhan, dan karena kemurahanNya sudah diberi firman, kalau tidak setia dan melaksanakan firman tersebut berarti meremehkan dan tidak menghargai yang memberi firman!”.
7.  Terlaksana di tahun 1912, Beliau menikah lagi untuk yang ketigakalinya, memperisteri wanita yang telah ditunjuk dan dipilihkan oleh Tuhan Allah. Anehnya, calon isterinya ternyata mau dan bersedia menjadi isteri Rama Rps Sastrosoewignjo, padahal Beliau sudah berumur 44 ( empatpuluh empat) tahun, sedangkan calon isteri Beliau baru menginjak dewasa. Hal ini kalau dipikir dengan wawasan yang luas memang tidaklah mustahil, karena apa yang telah digariskan/ditakdirkan oleh Tuhan pasti terlaksana. Rumah tangga RPS Sastrosoewignjo berjalan secara rukun, damai dan bahagia, bisa memperoleh anak yang banyak, tentu saja menjadi tumpahan cinta kasih sayang Beliau kepada isteri dan anak-anak Beliau, sehingga Beliau sendiri yang mengasuh anak-anak yang masih kecil-kecil. Mencuci pakaian anak-anak, mengasuh anak-anak, menggendong, menyuapi makanan, dan sebagainya dilaksanakan sendiri oleh RPS Sastrosoewignjo. Hal tersebut menimbulkan tanda-tanya (keheranan) dan menjadi pembicaraan bagi tetangga Beliau, karena sebagai sekretaris desa, apalagi kedudukan laki-laki pada saat itu dianggap lebih tinggi daripada wanita, kok mau mencuci sendiri pakaian anak-anaknya. Perkataan dan keheranan tetangga Beliau tidak menjadi beban batinnya dan tidak menyurutkan langkahnya, karena Beliau memiliki pendapat dan keyakinan sebagai berikut:”Orang anakku sendiri, Rohku, siapa yang harus mengurus kalau bukan aku!” Meskipun telah tercapai keinginannya mempunyai anak dan isteri, Beliau tidak tertidur, tidak terlupa dan juga tidak terhenti dalam melaksanakan perintah Tuhan yaitu: Ber-tapa tanpa diketahui orang lain (tapa ngrame ing guwo samun).
Beliau terus melanjutkan ber-tapa, bahkan untuk menutupi pertapaannya dan untuk memperluas pergaulannya, Beliau tidak hanya mengikuti dan memperagakan kesenian tembang (nyanyian Jawa) dan tari saja, namun juga ingin menunjukkan kemahirannya memanah, adu cepat terbangnya burung merpati (balapan merpati) dan lain-lainnya. Beliau pernah mempertunjukkan keahliannya memanah yang membuat orang banyak takjub/kagum karena meskipun lari anak panahnya berbelok-belok, tetapi dapat tepat mengenai sasarannya. Oleh karena itu Beliau seringkali dijagokan oleh orang-orang Tionghoa yang memasang taruhan.
8.  Pada waktu itu, kehidupan RPS Sastrosoewignjo sedang susah, keadaan ekonominya sedang mengalami masa yang sulit, anak-anak Beliau banyak, semua perlu dipenuhi kebutuhannya. Saat itu Beliau bertempat tinggal di desa Prebutan, rumahnya kecil hanya memiliki 2 (dua) kamar, atapnya terbuat dari daun pohon Nipah, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, banyak berlubang. Pakaian isterinya, lebih-lebih pakaian Beliau sendiri tidak berharga, untuk beli kancing baju saja tidak punya uang, terbukti kancing bajunya hanya terbuat dari kulit jangung kering yang diikatkan pada bajunya.
Meskipun demikian, Beliau selalu setia dan ingat kepada Tuhan Allah, tidak tergoda oleh kemilaunya harta dunia; Dalam pergaulan dengan masyarakat selalu kelihatan gembira dan tegar, tidak memperlihatkan kesusahanNya maupun meminta belas kasihan.
Ketika RPS Sastrosoewignjo sedang berjalan di jalan raya dipersilahkan singgah oleh hartawan Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Khouw Kiem Gwan; Beliaupun berkenan singgah. Setelah sementara waktu duduk, Beliau ditawari pekerjaan untuk menjadi tukang ukur tanah (landmeter). Beliaupun menerima pekerjaan tersebut karena ingat bahwa pada saat mohon jodoh kepada Tuhan Allah memperoleh gambaran mengenai Khouw Kiem Gwan.
Selanjutnya Beliau diuji mengenai penghitungan ukuran tanah, dan ternyata Beliau dapat melakukannya dengan benar dan cepat. Kemudian Beliau bekerja membantu Khouw Kiem Gwan yang pada awalnya memperoleh gaji sebesar Rp.75,00 (tujuh puluh lima rupiah) per bulan. Mulai saat itu Beliau mempunyai kerja sambilan di bidang usaha swasta.
Khouw Kiem Gwan mempunyai kepercayaan yang sangat besar kepada RPS Sastrosoewignjo bahkan Beliau dipercaya mengelola uang Khouw Kiem Gwan beribu-ribu rupiah besarnya untuk membeli tanah, membeli tembakau, dan apapun saran dan perkataan Beliau selalu diikuti oleh Khouw Kiem Gwan, karena selama Beliau membantunya menjadikannya kaya.
9.  RPS Sastrosoewignjo sekarang menjadi sering sekali pergi ke sawah dan tegalan, pagi sore tiada henti-hentinya, namun demikian meskipun Beliau bekerja seperti apapun, makannya tetap masih hanya satu kali dalam satu hari, waktunya antara jam 12:00 dan jam 13:00. Beliau tidak pernah jajan, apalagi makan di sembarang tempat. Untuk mengantisipasi kalau pulangnya dari bekerja mengukur tanah tidak pada waktu jam makan, Beliau sering mengantongi EMPING dan PISANG RAJA, kelihatannya makanan tersebut yang menjadi kesukaanNya. Berawal dari bekerja untuk Khouw Kiem Gwan itulah, RPS Sastrosoewignjo mulai memperhatikan tanaman tembakau, bagaimana cara memilih benih/bibit, jenis-jenisnya, penyemaian dan pemupukannya, pelaksanaan panennya, cara memeram dan menyimpan, mengiris-iris sampai dengan menjemur dan memeliharanya dalam gudang. Demikian juga cara menghitung biaya-biaya yang dikeluarkan, serta memperkirakan perolehan dari penjualannya. Beliau mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang sempurna, karena sudah melaksanakannya bertahun-tahun serta menjadi orang kepercayaan Khouw Kiem Gwan di bidang tembakau. Malahan Beliau berpendapat kalau seorang petani ingin banyak uang harus menanam tembakau, dan kalau ingin menanam tembakau selain harus mempunyai modal uang juga harus mempunyai modal pengetahuan, keuletan dan rajin bekerja.
10. Pada waktu itu, kehidupan ekonomi RPS Sastrosoewignjo tidak dapat dikatakan susah meskipun masih dalam kategori miskin. Tapa brata dan kesenanganNya masih tetap sama. Penghasilan yang agak lumayan digunakan untuk menyempurnakan tapa-brataNya, yaitu untuk bersedekah dan juga untuk menolong orang lain. Lebih-lebih kalau ada pegawai desa yang kesulitan karena menggunakankan uang kas desa untuk kepentingan pribadinya, Beliau pasti bersedia menolong dengan berbagai macam usaha yang benar, tidak dengan cara menipu daya dan melawan hukum, intinya dengan tindakan yang jujur dan benar. Hal ini sudah menjadi dasar sikap dan perilakunya:”Kalau orang senang pangkat itu harus mencintai dan menjaga pangkatnya”.
11. Gaji dari pekerjaanNya sebagai landmeter diambil sekali-sekali saja, hanya kalau memang ada keperluan, hanya sebagian (tidak seluruhnya) yang diambil, sisanya dititipkan kepada Khouw Kiem Gwan. Pernah suatu ketika, dimana Beliau baru menerima gaji kemudian membelikan kain batik (nyamping) untuk isteriNya, celakanya dikira kain batik dari seorang wanita lain, sehingga malahan membuat cekcok. Mulai saat itu Beliau memastikan bahwa pada umumnya wanita itu cemburuan dan kemarahan yang paling besar akan terjadi apabila suaminya selingkuh, apalagi bila seorang wanita dimadu. Di kemudian hari Beliau tidak mau membelikan apa-apa untuk isterinya, karena belum tentu sesuai dengan keinginannya, salah-salah malahan dapat menimbulkan percekcokan. Cinta tidak perlu diperlihatkan/dipamerkan, yang penting mencarikan penghasilan (uang) sesuai dengan kemampuannya, isteri yang mengelola untuk belanja juga ikut berusaha supaya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, itulah yang dinamakan hidup rukun berumah tangga dengan saling membantu. Sering juga isteriNya diberi kupon untuk mengambil gajiNya di tempat Khouw Kiem Gwan, kalau ingin membeli sesuatu supaya memilih sendiri, bahkan pakaian untuk Beliau sekalian sering dibelikan oleh isteriNya.
***A***
BAB VII
RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO MENERIMA “WAHYU ILMU SEJATINING KAKUNG” DAN “WAHYU ROH SUCI” YANG DISEBUT JUGA “WAHYU UTUSAN”
1 Pada waktu mempunyai 3 (tiga) orang anak, RPS Sastrosoewignjo menerima cobaan yang teramat sangat berat dari Tuhan Allah. Ketika itu terjadi penyebaran penyakit yang sangat menakutkan, diibaratkan sakit di pagi hari, sore harinya meninggal dunia, sakit di sore hari, pagi harinya meninggal dunia. Penyakit tersebut sangat mudah menular kepada orang lain, menyebabkan kurangnya saling silaturahmi di antara para warga desa, sehingga keadaan di desa tersebut terasa sepi, diam dan mati sepertinya tidak ada kehidupan. Pada saat menjelang malam, masih sore terang, orang-orang sudah tidak pada berani keluar rumah, orang-orang merasa lesu, kurang gairah dan suasananya membuat orang merasa mengantuk terasa ingin tidur melulu. Keadaan ini sepertinya terkena pengaruh oleh suatu kekuatan yang tidak sewajarnya. Isteri RPS Sastrosoewignjo pada waktu itu sakit parah terkena penyakit seperti yang diderita oleh kebanyakan penduduk desa itu. Sudah berbagai usaha pengobatan dilakukan namun tidak sembuh, bahkan semakin lama semakin parah sakitnya, ibarat sudah kebal obat. Tubuhnya terlihat sangat menyedihkan sekali, sangat kurus tinggal kulit yang membalut tulang, sorot matanya pudar, rambutnya sampai pada rontok. Tentu saja hal tersebut membuat RPS Sastrosoewignjo sangat sedih, lebih-lebih setelah isteriNya sudah selama 3 (tiga) hari tidak doyan makan dan minum, diam tiada bergerak, tidak berbicara, kecuali hanya terbaring tinggal denyut jantungnya saja. Terbang perasaanNya, ingat cinta sang isteri, ingat anakNya masih kecil-kecil, maka muncul dalam pikiranNya hal yang tidak-tidak (kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak dikehendakiNya). Apalagi kalau mendengar permintaan anakNya yang paling kecil, menangis minta menyusu pada ibunya, perasaan Beliau terasa dicabik-cabik.
2 Ketika itu, adalah hari Jum’at Pon, tanggal 15 Jumadilakir tahun 1848 Hijriah, atau tanggal 29 Maret 1918. RPS Sastrosoewignjo, kakak ipar Beliau bernama Pawirareja dan pembantuNya bernama Ibah, sampai lewat tengah malam tidak tidur menjaga yang sedang sakit. Penat perasaanNya, air mata membasahi kelopak mataNya, karena tidak tega melihat isteriNya yang sakit, dalam batinNya Beliau bersedia menggantikan sakit isteriNya. Dengan suara yang tersekat di tenggorokan Beliau memerintahkan kepada ipar dan pembantuNya supaya mendekat kepada yang sedang sakit, dan berpesan jangan ditinggal tidur, karena Beliau akan menyepi, tidur sendirian. RPS Sastrosoewignjo sudah berhari-hari tidak makan dan tidak bisa tidur karena menjaga yang sedang sakit serta mengurus anak-anakNya yang masih kecil, padahal pikiranNya buntu, penat dan selalu muncul pikiran tentang kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi, seandainya isteriNya sampai meninggal dunia, bagaimana akan jadiNya, lebih-lebih untuk anak-anakNya di belakang kemudian hari. Pada akhirnya bertekad mohon kepada Tuhan Allah dengan sukarela supaya diakhiri hidupNya kembali kepada Tuhan lebih dahulu jika isteriNya tidak diberi kesembuhan. Permohonan yang sungguh-sungguh dengan dilandasi tekad lebih baik mati lebih dahulu daripada isteriNya, sampai dasar relung hatiNya, diucapkan berkali-kali untuk memantapkan tekadNya tersebut berlangsung sampai Beliau tertidur.
3 Di alam tidur, alam halus, alam kasuksman, alam mimpi juga disebut alam sasmita maya, Beliau merasa sedang keluar dari rumah, sampai di halaman dengan hati sangat sedih karena ingat isteriNya yang sedang sakit parah, berjalan dengan gelisah selalu melipat kedua-tanganNya di depan dada, berkeinginan untuk mencarikan obat bagi kesembuhan isteriNya; Begitu melihat ke atas, Beliau sangat terkejut karena ada awan hitam yang bergerombol bergulung-gulung, dan dari awan tersebut muncul pesawat terbang, apalagi setelah hilangnya pesawat terbang dari pandangan, ada wanita yang berpakaian pria serta begitu turun ke tanah di depan RPS Sastrosoewignjo menjadi pria seutuhnya, yang wajahnya sama dengan Beliau, tinggi besarnya sama dengan Beliau. Pria tersebut memanggil dengan sebutan kakak kepada Beliau, dan mengatakan kalau sudah lama sekali Pria tesebut mencari Beliau tapi baru dapat bertemu sekarang ini, serta bertanya apakah benar dia memanggil Beliau dengan sebutan kakak, sebenarnya lebih tua mana antara dirinya dengan Beliau? RPS Sastrosoewignjo mengatakan kalau sudah benar, lebih tua Beliau selisih 32 (tiga puluh dua) hari, karena pada hari ke-33 baru ada Pria tersebut, dan Beliau menanyakan keperluan Pria tersebut mencari Beliau. Pria tersebut mengatakan kalau dirinya akan menyerahkan Wahyu Adeg Teluning Atunggal (Wahyu Trinitas) juga disebut Wahyu Roh Suci atau Wahyu Utusan; sedang wujudnya adalah huruf “A” dalam sebuah lingkaran di kertas berwarna putih serta memancarkan sinar berkeliling bundar, sebab Pria tersebut sudah tidak kuat lagi membawanya. Kemudian wahyu tersebut diserah-terimakan kepada RPS Sastrosoewignjo dengan cara dimasukkannya sendiri oleh Pria tersebut ke saku atas sebelah kiri baju yang dipakai RPS Sastrosoewignjo. Setelah dicek oleh RPS Sastrosoewignjo sendiri, ternyata huruf “A” tersebut sudah hilang tidak kelihatan lagi, karena sudah menyatu ke dada Beliau sebelah kiri. Setelah itu, Pria tersebut minta apa saja yang menjadi makanannya, mana-mana yang menjadi makanannya. Dijawab oleh Beliau kalau sedang mencari keperluannya sendiri, yaitu sedang mencari obat untuk menyembuhkan isteriNya yang sedang sakit parah, dan isterinya juga terlihat sedang tidur terbujur di tempat tidur. Pria tersebut memberitahu supaya isteri Beliau diolesi dengan dan diminumkan air perasan dari pincuk (tempat makanan terbuat dari daun pisang yang dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai tempat makanan) bekas dipakai yang sudah digilas lembut, dan Pria tersebut berani menjamin pasti dapat menyembuhkan isteri Beliau, sehingga Beliau tidak perlu khawatir hatinya. Karena Pria tersebut telah menolong Beliau, maka diajaknya pergi akan ditunjukkan apa-apa yang menjadi makanan Pria tersebut. Ketika sedang berkeliling digonggongi anjing, Pria tersebut sangat ketakutan sekali sehingga didekatkannya badannya kepada dan memegangi RPS Sastrosoewignjo. Pria tersebut mencabut sebatang pohon kayu yang menjadi pagar sebuah kebon untuk dijadikan tongkat penyangga tubuhnya. Setelah itu ditunjukkan seorang Kyai di Sedayu yang selalu memuja harta benda dunia supaya semua kesenangannya dapat dipenuhi, kaya, banyak isteri yang kesemuanya cantik-cantik, dan juga selalu unggul dalam segala hal. Setelah itu kemudian pulang, duduk di halaman rumah, seraya menjelaskan dan membuat perjanjian pembagian makanan (penguasaan/wilayah kekuasaan). Makanan/wilayah kekuasaan yang menjadi milik atau yang boleh dikuasai Pria tersebut adalah:
a. Siapa saja yang menyembah dan memuja Pria tersebut
b. Siapa saja yang selalu mengharapkan pertolongan dan sampai dikuasai Pria tersebut
c. Siapa saja yang mempunyai tekad dan perilaku yang sama dengan Pria tersebut
d. Siapa saja yang dapat digoda oleh Pria tersebut
e. Siapa saja termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat dicuri dan direbut begitu juga dikalahkan (dikuasai) Pria tersebut.
f. Siapa saja yang benci serta sangat takut kepada anjing, pasti sama sifatnya dengan dan menjadi makanan Pria tersebut.
Sebaliknya, siapa saja yang selalu ingat dan menyembah kepada roh suci (Suksma) RPS Sastrosoewignjo tidaklan menjadi makanan (boleh dikuasai) Pria tersebut. Bahkan makanan yang sudah direbut oleh Pria tersebut ketika ingat kepada dan ketahuan oleh RPS Sastrosoewignjo, tidak jadi menjadi makanan Pria tersebut. Setelah selesai membuat perjanjian, Pria tersebut berpamitan pulang dan menyatakan sangat berterima kasih, serta bersedia memberikan bantuan bilamana diperlukan. Begitu RPS Sastrosoewignjo mengedikan mata, Pria tersebut hilang musnah menyatu kedalam suasana di sekitarnya. Waktu itu hampir menjelang pagi, RPS Sastrosoewignjo bangun dari tidurNya, perasaanNya sangat bergetar, lebih-lebih ketika mendengar suara kentong gobyog (suara alat tabuh dari bambu yang dilubangi, dipukul berkali-kali dengan ritme cepat tapi panjang dan dilakukan dua kali) yang menjadi pertanda adanya orang yang meninggal di tempat-tempat yang ditunjukkan oleh RPS Sastrosoewignjo menjadi makanan Pria dalam mimpiNya, begitu juga di tempat dicabutnya pohon kayu yang menjadi pagar sebuah kebun oleh Pria tersebut.
4 Beliau segera memerintahkan kepada kakak iparNya (Pawirareja) supaya mencari pincuk yang baru saja dipakai. Pawirareja segera mencari di jalan raya, dan baru menemukan yang dicarinya setelah berjalan sampai di tempat hampir mencapai stasiun Tegalsari, segera dibawa pulang diserahkan kepada RPS Sastrosoewignjo, kemudian digilas lembut oleh pembantu-wanitaNya, air perasan pincuk tersebut dioles-oleskan ke seluruh tubuh dan diteteskan ke mulut isteriNya; seketika itu juga isteriNya yang sakit parah mulai bergerak-gerak dan seterusnya menjadi sembuh. Karena saking gembira dan takjubNya, RPS Sastrosoewignjo sampai mengeluarkan air mata. Sedemikian rupa kuasa dan tak ada yang mustahil bagi Tuhan
Allah, yang selalu memberi contoh yang benar-benar nyata, dimana contoh tersebut diberikan di alam halus, alam kasuksman juga disebut alam sasmita maya.
5 Perlu dijelaskan bahwa Pria yang memiliki wajah yang sama dan badan yang besar dan tingginya juga sama dengan RPS Sastrosoewignjo itulah yang disebut Wahyu Sejatining Kakung, yang merupakan nafsu lelaki RPS Sastrosoewignjo. Sedangkan Nafsu lelaki artinya yang tertarik/birahi kepada wanita dan pada umumnya orang laki-lakilah yang memiliki nafsu lelaki tersebut. Seperti yang disebut di depan, sebelum turun sampai kakinya menyentuh ke tanah di halaman rumah, berhadap-hadapan dengan RPS Sastrosoewignjo, berwujud wanita berpakaian pria, itu adalah wanita yang sudah pernah dijumpai ketika menerima Wahyu Sejatining Putri di Laut Selatan. Jadi, yang memiliki Wahyu Sejatining Kakung dan Wahyu Sejatining Putri itu hanyalah Utusan Tuhan Allah, yaitu RPS Sastrosoewignjo. Sedangkan kalau manusiaa biasa hanya mempunyai nafsu satu, wanita atau pria hanya memiliki nafsu satu. Utusan Tuhan Allah mempunyai dua macam nafsu (lelaki dan wanita) itu sebenarnya nafsu yang menyatu atau nafsu yang satu, dapat berubah-ubah wujud, itulah yang disebut Babuning Nyawa/nafsu (induk/sumber dari Nyawa atau nafsu) dari orang/manusia di seluruh dunia, yang sifatnya/perilakunya dapat membuat orang sakit, malu, tidak tercapai yang diharapkannya, celaka, dan dapat membuat kematian. Tentu saja mati yang tidak kembali ke asalnya (tidak sampai tujuannya) atau mati nyasar jadi makanannya atau dikuasai oleh Pria dalam mimpi RPS Sastrosoewignjo yang adalah nafsu lelaki Beliau, mati yang demikian adalah bukan kehendak Tuhan Allah.
6 Sedangkan Roh Suci (Suksma) RPS Sastrosoewignjo yang sudah terpisah dari (tidak menyatu dengan) Hawa NafsuNya, itulah yang berkedudukan sebagai Utusan Tuhan Allah (berada di tingkat alam kuning di alam halus/alam roh). Kalau masih menyatu dengan Hawa NafsuNya, dalam pewayangan diwujudkan sebagai Batara Guru bertangan empat, dan kedudukanNya sebagai Hakim (berada di tingkat alam merah di alam halus/alam roh). Roh Suci (Suksma Suci) RPS Sastrosoewignjo berkedudukan sebagai Sumber dari Kehidupan (Benih/asal muasal dari kehidupan) yaitu asal muasal dari seluruh makhluk dan alam. Oleh karena RPS Sastrosoewignjo sudah dapat mengalahkan dan menguasai Hawa NafsuNya, maka Beliau berkedudukan sebagai Induk dari mati dan hidup, sakit dan sehat, tidak tercapainya keinginan, perasaan lega, senang dan sedih, beruntung dan tidak beruntung/celaka, dan sebagainya.
***A***
BAB VIII
RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO MULAI MENGAJARKAN ILMU YANG DITERIMA DARI TUHAN ALLAH
1. Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo setelah menerima Wahyu Roh Suci dan Wahyu Sejatining Kakung, tidaklah berhenti disitu saja dan sudah merasa puas, sebab mempunyai keinginan melengkapi/menyempurnakan pengertianNya mengenai semua isi dan rahasia dari alam halus, alam kasuksman, alam sasmita maya, yang juga disebut alam gaib dengan cara meneliti dan menyaksikan sendiri secara jelas dan lengkap di alam halus. Tapa-brataNya ditingkatkan setinggi-tingginya sehingga Beliau mengetahui kekuatan dan pengaruh serta rincian ruang lingkup dari Wahyu Roh Suci/Wahyu Utusan dan Wahyu Sejatining Putri/Kakung, sebagai berikut:
a) Kalau ada orang yang berhasil dikabulkan permohonannya, mencalonkan lurah ternyata berhasil menjadi lurah, berdagang dapat memperoleh keuntungan, sakit menjadi sehat, keselamatannya terancam/menghadapi bahaya dapat memperoleh keselamtan, hati yang bingung menjadi tenteram, bercocok tanam dapat berhasil, bermusuhan dapat menjadi rukun kembali, dan sebagainya; itu semua disebabkan/dipengaruhi oleh kekuatan dari Wahyu Roh Suci/Wahyu Utusan. Karena Wahyu Roh Suci/Wahyu Utusan tersebut telah menyatu dengan Suksma Suci Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, maka Suksma Suci Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo itulah yang disebut Utusan (Utusan dari Tuhan Allah), yang bilamana menyertai apa saja dan siapa saja akan memberikan keberuntungan/rahmat sebagaimana dijelaskan di atas. Sedangkan Utusan Tuhan Allah dapat berubah-ubah bentuknya dengan jumlah yang tidak terhitung, berwujud apapun selalu memberikan cinta-kasih dan keberuntungan/rahmat kepada siapapun yang melihatNya/didekatiNya.
b) Di awal sejarah sudah dijelaskan kalau manusia yang dikodratkan/ditunjuk/dipilih menjadi Utusan Tuhan Allah itu adalah manusia yang Suksmanya dipersatukan dengan Wahyu “A’ yang bercahaya memancar bundar, sedangkan Cahaya tersebut memang milik Utusan yang berarti juga milik Tuhan Allah, maka disebut Cahaya Tuhan Allah. Kekuatan dan pengaruh Cahaya Tuhan Allah tadi tentu saja sama dengan kekuatan dan pengaruh dari Yang Memiliki Cahaya, yaitu Utusan/Tuhan Allah, maka apa saja dan siapa saja yang disertai oleh, dinaungi oleh, lebih-lebih yang memegangi Cahaya tersebut juga berarti disertai, dinaungi dan memperoleh keberuntungan/rahmat.
c) Sebaliknya, mengenai Wahyu Sejatining Putri/Kakung, yaitu Hawa Nafsu/Nyawa/ musuh dari Suksma Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, kekuatan dan pengaruhnya juga kebalikan dari Wahyu Roh Suci/Wahyu Utusan. Kalau ada tumbuh-tumbuhan diserang hama/bercocok tanam pada mati semua, hewan ternak yang tidak dapat beranak pinak, berdagang menderita rugi, menggapai cita-cita tidak terwujud/menginginkan apa saja tidak tercapai, hati yang tidak tenteram, peperangan yang terjadi, berjangkitnya penyakit secara meluas, kekurangan pangan, kematian dan sebagainya, itu semua kalau diteliti dengan cermat di alam halus/alam roh, ternyata disebabkan oleh kekuatan dan pengaruh dari Wahyu Sejatining Putri/Kakung yang dapat berubah-ubah wujud, dapat memecah diri menjadi beribu-ribu jenis wujud, dan seperti telah dijelaskan di depan dapat berubah menjadi jemparing purwa madya wasana (anak panah yang ujungnya bercabang tiga) atau burung yang rupanya menakutkan, pesawat terbang. Sedangkan cara memecah diri dan perubahan wujudnya juga sangat beraneka ragam jenisnya, yang kesemuanya itu sudah diketahui oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, bisa dibuktikan dan disaksikan di alam halus, seperti misalnya: jin/makhluk halus, berjangkitnya penyakit menular, lumpuh, penyakit ayam (flu burung), meletusnya gunung berapi, dan sebagainya. Demikian juga dapat berubah menjadi api, air, angin, berbagai jenis makanan, bermacam-macam hantu dan masih banyak lagi yang lainnya, intinya yang menjadi berbagai macam penghalang yang dapat menjadi penyebab gagalnya/batalnya melakukan hal yang atau berperilaku baik, benar dan suci. Jadi, Wahyu Sejatining Putri/Kakung berubah wujud menjadi apa saja hanya selalu membuat kerugian bagi siapa saja dan apa saja yang disertai/didekatinya.
2. Rama RPS Sastrosoewignjo juga mencermati mengenai pribadi para manusia, yaitu mengenai badan fisik dan badan halusnya (Raga, Nyawa dan Suksmanya). Badan fisik/raga adalah kita yang berada di dunia fana, bisa terkena sakit, mati, rusak dan tidak kekal abadi. Suksma (Roh yang suci) yaitu badan halus/roh kita yang berada di Alam Antara (di alam antara dunia fana dan alam akhir/akherat) atau di Alam Akhir/Akherat. Nyawa adalah hawa nafsu kita yang menjadi teman/pembantu kita ketika kita berada di dunia fana, tetapi menjadi musuh ketika kita berada di alam kematian (ketika sampai pada ajal kita/ketika kita mati). Demikian itu kalau semasa kita hidup di dunia fana dapat mengendalikan/tidak selalu menuruti/mengalahkan hawa nafsu (Nyawa) kita. Kalau di dunia fana ini kita hanya selalu menuruti hawa nafsu/apa yang menjadi kesenangan hawa nafsu kita, ketika sampai pada ajal/kematian kita, tenggelam dan tetap menjadi jajahan (dalam penguasaan) Nyawa kita, Suksma kita tidak dapat lepas masih lengket/menyatu dengan Nyawa kita, artinya mati nyasar (tidak sampai pada/tidak dapat menghadap pada Tuhan Allah), bisa berada dalam hukuman atau siksaan. Jadi Nyawa (hawa nafsu) itu menjadi pembantu sekaligus juga musuh kita. Perlu dijelaskan supaya dapat dipahami dengan jelas sebagai berikut: Untuk pengertian umum atau yang dipahami oleh orang sedunia, istilah Nyawa dan Suksma itu dianggap sama, padahal sebenarnya pengertian keduanya berlawanan. Memang, orang hidup di dunia ini menuruti/mengikuti kehendak Nyawanya; Semua rasa untuk kebutuhan badan fisiknya (raganya) itu untuk memenuhi kehendak Nyawanya, mengikuti/menuruti Nyawanya, misalnya perlu berpakaian, makan, rumah, bersuami/beristeri, dan sebagainya itu semua adalah kebutuhan Nyawa kita, oleh karena itu, kalau raga (badan fisik) sudah ditinggalkan oleh Nyawanya menjadi mati, sudah tidak memiliki rasa. Raga/badan fisiknya ditanam di kuburan, sedangkan Suksma yang masih menyatu dengan Nyawanya masih memiliki berbagai-macam rasa. Suksma Suci (Suksma yang sudah pisah dari/tidak menyatu dengan Nyawanya) memiliki kehendak kalau digerakkan oleh Tuhan Allah dan tidak memikirkan kesenangan, melulu hanya menuruti kehendak Tuhan Allah, apakah akan dipersatukan dengan Tuhan Allah, apakah akan berada agak lama di tingkat alam kuning, apa ditempatkan di tingkat alam putih, apakah akan dilahirkan kembali ke dunia fana (reinkarnasi), itu semua semata-mata hanya terserah kepada kehendak dan kuasa Tuhan Allah. Yang perlu dicari adalah wujud dari Nyawa; Hal itu perlu diketahui (mengalami sendiri bertemu di alam halus/alam mimpi/alam sasmita maya/alam gaib dengan Nyawanya) oleh semua umat manusia. Ilmu yang disebarkan oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo disebut Ngelmuning Gusti Allah ana 3 (telung) prangkat cacahe (Ilmu Tuhan Allah yang terdiri dari tiga perangkat/unsur/bagian), yaitu:
a) Utusan Tuhan Allah disingkat Utusan
b) Cahaya Tuhan Allah disingkat Cahaya Allah
c) Nyawa, yaitu Hawa nafsu yang juga musuh dari Suksma setiap orang/manusia disingkat Nyawa
Ilmu Tuhan Allah yang terdiri dari tiga perangkat/unsur/bagian ini perlu dicari dan disaksikan/ dilihat sendiri (makrifat) oleh setiap orang/manusia sebelum datangnya ajal/kematian, sebab kalau di dunia belum melihat/menyaksikan sendiri kenyataannya, ketika ajal tiba juga tidak akan mengetahuinya. Yang akan menerima keberuntungan atau celaka itu bukan raga/badan fisiknya, melainkan Suksmanya, raga berasal dari bumi dan akan kembali jadi bumi.
Supaya dapat dimengerti dengan jelas, dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Utusan Tuhan Allah itulah yang memberikan perintah dan diikuti oleh Suksma setiap orang/manusia; kalau Tuhan berkenan, Suksma tersebut dapat menyatu dengan Tuhan Allah (kembali ke asalnya).
b) Cahaya Tuhan Allah itu menjadi pedoman bagi Suksma setiap orang/manusia menuju ke arah ikut serta/berhadapan/bertemu/menghadap/menemui Utusan Tuhan Allah.
c) Nyawa/Hawa Nafsu itu adalah musuh dari Suksma setiap orang/manusia yang merintangi/menghalang-halangi Suksma manusia di alam kubur/alam antara untuk dapat menghadap kepada Tuhan Allah. Nyawa harus ditinggal di alam kubur.
Kemampuan untuk dapat menerima perintah Tuhan Allah dan dapat menghadap/menemui Utusan Tuhan Allah melalui sarana mengetahui/melihat/mengalami/menyaksikan sendiri Ilmu Tuhan Allah yang terdiri dari tiga perangkat/unsur/bagian, berarti orang yang sudah selesai (katam) belajar Ilmu tersebut.
Ilmu tiga perangkat tersebut, sebelum ajal tiba, juga dapat digunakan untuk kebutuhan raga/badan fisik di dunia fana.
3. Rama RPS Sastrosoewignjo mengajarkan Ilmu Tiga Perangkat tersebut kepada sanak saudara, teman-teman dan kenalan-kenalan serta handai taulan sejak tahun 1921. Sedangkan cara-cara yang digunakan masih melalui cara pedukunan, belum secara terang-terangan diketahui oleh masyarakat. Banyak orang yang minta tolong kepada Beliau, karena mengalami kesulitan/masalah seperti misalnya: pusing, sakit perut dan sebagainya. Beliau memberikan pertolongan secara gratis tidak meminta bayaran apa-apa dan tidak dengan meminta syarat macam-macam, malahan sebaliknya Beliau memberikan jamuan makan kepada siapa saja yang datang meminta pertolongan di rumahNya. Semua yang meminta pertolongan pada umumnya merasa puas, sebab selain diterima dan diperlakukan dengan baik, tidak dibebani dengan biaya dan syarat yang bermacam-macam, rata-rata semua terkabul permohonannya/terpenuhi kebutuhannya. Juga ada yang tidak berhasil/terkabul permohonannya karena memang demikianlah sudah menjadi kehendak Tuhan Allah; orang yang demikian diberitahu lebih dulu dengan perlambang/kiasan, dan orang tersebut dapat memahami apa yang dimaksudkan Beliau.
Beliau menyebarkan/mengajarkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat tidak tergesa-gesa atau secara terburu-buru langsung diajarkan kepada orang lain, tetapi menunggu dan mencari waktu yang tepat, sesuai dengan perintah Tuhan Allah yang diterimaNya. Pertama-tama ditujukan kepada orang-orang atau siapa saja yang sudah mempunyai kepercayaan yang besar kepada Beliau, karena permohonannya terkabul/atau kebutuhannya dapat dipenuhi berkat pertolongan Beliau.
4. Rama RPS Sastrosoewignjo yang sudah terkenal sebagai Kyai/Orang Pandai/Dukun tidak berhenti meneruskan pertapaanNya. Kurang makan, tidur di sembarang tempat (tidur begitu saja di lantai), besar sedekahNya, selalu membuat orang lain merasa puas dan nyaman/lega, sudah menjadi kebiasaan dan merasuk ke tulang sungsum Beliau atau sudah menjadi watak dan karakter Beliau. Tidak mengherankan kalau semakin lama semakin besar pengaruh Beliau dan juga dicintai oleh banyak orang/masyarakat serta pejabat tinggi (atasan Beliau).
Rakyat (masyarakat) di kelurahan bertekad bulat, kalau Rama RPS Sastrosoewignjo, pada umumnya masyarakat memanggilNya Den Carik, bersalah kepada negara/pemerintah berapa kalipun akan dipilih lagi menjadi Carik (Sekretaris Desa), sebaliknya dari para pejabat tinggi atasan Beliau juga bertekad seandainya Beliau sampai ditolak oleh masyarakat di lingkunganNya, akan diangkat menjadi Carik di tempat lain. Beliau sudah berkali-kali akan diangkat menjadi lurah, tetapi Beliau tidak berkenan menjalaninya, karena tugas Carik selalu dekat dan bergaul dengan serta melayani kebutuhan orang banyak (masyarakat), dan tidak berhubungan dengan uang pemerintah, hanya memegang hitungan angka, jadi jauh dari perbuatan yang tidak semestinya.
Luasnya pergaulan digunakan untuk menyebarkan Ilmu yang diterima dari Tuhan Allah (Ilmu Tuhan Allah) secara telaten dan tidak dipaksakan, karena Beliau yakin kalau yang dapat ikut menjadi muridNya hanya kalau memang orang itu adalah muridNya/kelompokNya (bahasa Jawa=tunggal=kelompokNya=mempunyai kesamaan kepribadian dan keyakinan). Cara menjelaskan Ilmu Tuhan Allah tidak secara vulgar serta sesuai dengan lahir dan batinNya. Kepada para muridNya, Beliau memerintahkan:”Sebelum tidur supaya memohon kepada Tuhan Allah untuk bertemu dengan UtusanNya dengan menggunakan kalimat sebagai berikut: Roh Suci yang telah ada sebelum terciptanya alam semesta, dan sebelum Adam dilahirkan ke dunia, mempunyai Suksma Abadi yang tidak dapat rusak, dan tidak terkena hukuman oleh Tuhan Allah, Penjelmaan Rosul di dunia, bertempat di alam Roh yang menguasai isi, memilih makhluk yang bijaksana.” (Aselinya dalam bahasa Jawa= Roh Suci kang sadurunge jagad gumelar, lan sadurunge Adam tumurun ing alam donya, kagungan suksma langgeng kang tan kena rusak, lan tan kena hukum dening Gusti Allah, Panjalmaning Rusul donya, manggon ing awang uwung kang amengku isi, pilih janma kang wikan).
Mengenai Cahaya Tuhan Allah, Beliau tidak memberi rangkaian kalimat yang menarik hati, sebab kenyataan yang sesungguhnya, kalau bertemu dengan Utusan Tuhan lebih-lebih kalau bertemu dengan Roh Suci, semestinya kalau waspada dapat melihat Cahaya Tuhan Allah. Begitu juga kalau diperhatikan, berpisahnya Nyawa dari Suksma juga disebabkan oleh atau terkena pengaruh dari kekuatan Cahaya Tuhan Allah. Beliau hanya memberikan persamaan/analogi sebagai berikut:”Kalau Sunan Kalijaga mempunyai minyak Jayeng Katon, kalau Kresna mempunyai Kembang Cangkok Wijayakusuma, Kalau nabi Muhammad mempunyai Bintang Johar, kalau di agama Islam ada Nur Muhammad dan di agama Kristen ada Bintang Timur”, itu semua yang dimaksud Beliau adalah Cahaya Tuhan Allah. Sebelum memanjatkan permohonan kepada Tuhan, Beliau memerintahkan untuk membaca surat Al Ikhlas, Surat An Nas, dan Alfatekah, masing-masing dibaca sebelas kali, baru kemudian memanjatkan permohonan dengan tambahan kalimat: kalau tidak dikabulkan, saya menyerahkan hidup mati saya kepada Paduka, Tuhan Allah yang menguasai segala alam beserta segala isinya. Kemudian dilanjutkan dengan dzikir sampai tidur. Pemberian jawaban oleh Tuhan Allah diberikan pada saat kita tidur. Adalah perbuatan Suksma (Roh kita) yang merasa pergi kemana-mana di dalam mimpi. Mimpi, ada yang memberi istilah menerima bisikan, ilham, firman, wahyu, sesungguhnya merupakan perintah/jawaban dari Tuhan Allah melalui UtusanNya. Jawaban apa yang diterima para muridNya atau melihat apa dan melakukan apa di alam mimpi, setelah bangun tidur diingat-ingat dan kalau bisa menulis dicatat di buku/kertas, dan selanjutnya dibawa menghadap Beliau untuk diperiksa atau dimohonkan penjelasan mengenai arti mimpi tersebut, demikian dilakukan terus menerus hingga orang yang bersangkutan dapat menyaksikan/mengalami/bertemu sendiri Ilmu Tiga Perangkat. Orang yang demikian disebut dengan istilah orang yang sudah katam. Kalau sudah katam, selanjutnya diberikan ujian/diuji. Setelah lulus ujiannya, kemudian dijelaskan rahasia-rahasia/makna dari Imu Tiga Perangkat, pengertiannya, hal ikhwalnya serta kekuatan/pengaruh-pengaruh/daya manfaat di alam fana dan di alam rohani/alam halus/alam keabadian.
5. Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo selalu memerintahkan dan memberikan contoh kepada murid-muridNya supaya selalu berbuat baik (jujur, suci), juga selalu menjalankan tapa-brata. Beliau berkata:”Jadi murid Saya itu berat, tidak setiap orang kuat menjadi murid Saya, harus bertapa-brata dan belajar mengendalikan diri. Godaan yang paling berat: kalau seorang laki-laki tergoda oleh perempuan, kalau seorang perempuan tergoda oleh laki-laki. Orang yang kaya khawatir kalau harta bendanya saya tipu, orang yang miskin keberatan, khawatir mengalami kelaparan. Orang yang mempunyai jabatan yang tinggi dan pandai-cendekiawan menyepelekan dan tidak peduli, orang rendahan dan bodoh tidak memperhatikan. Selain itu, murid Saya harus menyembah kepada Tuhan Allah, harus membantu negara, harus mencintai orang tua dan anak serta isteri/anak serta suami, rajin bekerja, tidak boleh berbuat zina, tidak boleh poligami/ poliandri, tidak boleh irihati, jahil, menyakiti hati, memperlakukan orang lain secara tidak adil dan selingkuh. Kalau ini semua dilakukan, Saya tanggung pasti selamat di dunia, di alam kubur dan di akherat!”.
Dalam hal tapa-brata, Beliau memerintahkan supaya murid-muridNya secara berkalam pantang garam (bahasa Jawa: nganyep/mutih), menyucikan diri (mandi di malam hari sebelum/ menjelang tidur), juga memberikan larangan supaya tidak mempunyai kesenangan yang sangat terhadap sesuatu/aktivitas misalnya: makanan, merokok, judi, dan sebagainya (bahasa Jawa: pakareman).
***A***
BAB IX
KEJADIAN DAN KEAJAIBAN SERTA HAL-HAL YANG TIDAK MASUK AKAL YANG DILAKUKAN OLEH RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO
1. Setelah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mengajarkan dan menyebar-luaskan Ilmu Tuhan Allah, kedatangan orang-orang dari luar desa tidak ada putus-putusnya, selain untuk memohon pertolongan juga bermaksud berguru kepada Beliau. Memang kebanyakan timbulnya niat untuk berguru kepada Beliau karena pertolongan yang telah diberikan oleh Beliau, dan juga karena menerima berbagai penjelasan mengenai Ilmu Tiga Perangkat yang diperlukan untuk bekal mati yang benar/sempurna (kembali ke asalnya). Kepribadian dan perilaku Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, tingkah laku dan perkataanNya selalu mengenakkan hati dan membuat lega serta memuaskan hati setiap orang yang sedang menghadap Beliau. Orang-orang yang tinggal disekeliling/disekitar rumah Beliau beranggapan kalau Beliau adalah Kyai/Dukun/orang pintar, yang mempunyai kelebihan, sedangkan kelebihan apa yang dimiliki Beliau tidak pada tahu, hanya karena melihat saking banyaknya orang-orang yang menghadap Beliau, para tetanggaNya tersebut sampai heran. Dari orang-orang yang memohon pertolongan dan murid-muridNya sekalianpun rata-rata tidak mengerti bahwa Beliau lahir di dunia ini membawa tugas dan kewajiban yang penting dari Tuhan Allah, jadi orang-orang tersebut hanya tertarik kepada perilaku dan juga perintah/perkataan yang selalu benar, kenyataan yang terjadi sesuai dengan apa yang dikatakan/diperintahkanNya serta mencermati kelebihan-kelebihan Beliau lainnya. Bagi Beliau sendiri, lebih-lebih sesudah dikuatkan dengan menerima Wahyu Utusan, sudah tidak ragu-ragu lagi untuk menjalankan tugas kewajiban dan perintah dari Tuhan Allah.
2. Kemustahilan Tuhan Allah sudah banyak diketahui, meskipun demikian karena Wahyu Roh Suci sudah menyatu dalam diri Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang berarti Beliau sudah dipersatukan dengan Tuhan Allah, maka seringkali Beliau melakukan kemus-tahilan-kemustahilan Tuhan Allahm, yang terlihat secara nyata di alam dunia ini nyata-nyata menunjukkan/mempertontonkan kelebihan Beliau sendiri. Hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menyombongkan diri dan pamer, tetapi untuk memperingatkan dan menenangkan kepada orang banyak supaya pada ingat kepada Tuhan Allah bersifat tiada yang mustahil bagi Tuhan Allah, sebagaimana Beliau sendiri ketika melakukan hal-hal yang mustahil menyatakan hanya sekedar menerima, bersandar juga berasal dari kekuatan dan kuasa Tuhan Allah. Sedangkan mengenai keajaiban-keajaiban yang dilakukan Beliau yang disaksikan oleh orang banyak adalah sebagai berikut:
a) Beliau bersiul di atas sumber air di sungai, ikan lele bermunculan semua, banyak sekali, hingga orang-orang se-desa dapat mengambilnya dan orang se-desa tersebut dapat bagian semua.
b) Beliau memancing Ikan Uceng menggunakan lidi, padahal tidak memakai umpan, hingga pengikutNya kuwalahan mengumpulkan hasil pancinganNya, karena seringnya memperoleh ikan.
c) Beliau menanam satu pohon Waluh, berbuah tiga dengan tiga macam bentuk: yang pertama bulat, yang kedua lonjong dan yang ketiga ujung satunya berbentuk lonjong dan diteruskan ujung yang lain berbentu bulat.
d) Beliau menanam satu pohon cabe, berbuah dua macam cabe yaitu cabe besar dan cabe rawit.
e) Beliau menanam pohon kangkung, setelah dimasak rasanya pahit sekali, meskipun diolah dengan daging sekalipun, sehingga orang-orang desa yang ingin membuktikan dan memasaknya, merasakan pahitnya Kangkung tersebut.
f) Beliau menanam biji Durian dibungkus dengan sabut kelapa di desa Prebutan, setelah menjadi pohon Durian yang produktif, anehnya ketika bunganya banyak tumbuh di pangkal pohon, justru buahnya banyak yang jadi di pucuk pohon (di atas), demikian sebaliknya kalau bunganya banyak tumbuh di pucuk pohon, buahnya yang jadi banyak yang di pangkal pohon. Pohon tersebut sampai sekarang menjadi pertanda di arah mana bunga/buah tersebut tumbuh, di arah tersebutlah akan muncul banyak murid-murid baru Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Kalau yang berbuah banyak di pucuk pohon (bagian atas pohon), yang akan menjadi murid baru Beliau dari kalangan pejabat, sedangkan kalau yang berbuah banyak di pangkal pohon (bagian bawah pohon), yang akan menjadi murid baru Beliau adalah rekyat jelata (petani, pedagang, buruh dan sebagainya).
g) Demikian juga, Beliau mengetahui lebih dahulu tempat-tempat yang akan dilanda endemi/epidemi penyakit, akan meletusnya perang, akan meletusnya gunung-gunung.
h) Ketika gunung Merapi meletus, yaitu di tahun 1930, serta mengeluarkan lahar/magma, dan lahar/magma tersebut mengalir sampai ke Muntilan, pekarangan rumah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di desa Jagalan juga terkena aliran lahar/magma. Anehnya dan hal yang mustahil terjadi, lahar/magma tersebut dapat dikendalikan/diperintah oleh Beliau, dan menuruti perintah Beliau, kalau lahar tersebut disuruh berhenti mengalir, maka lahar tersebut akan berhenti mengalir, disuruh jalan/mengalir, juga akan mengalir, disuruh mengalir di sebelah timur rumah Beliau, juga menurut. Kenyataan ini disaksikan/dialami sendiri oleh putera Beliau yang bernama Raden Sindu Widagda, nama kecilnya Raden Mukri. Kejadian tersebut disaksikan ketika Raden Mukri masih kecil, sedang digendong oleh ayahnya.
3. Beliau senang sekali memelihara binatang peliharaan seperti: burung Perkutut, Burung Puter, Ayam, Burung Merpati, Anjing, Tawon, dan berbagai jenis ikan. Senang kepada burung Perkutut, karena Beliau ahli di bidang seni Karawitan dan seni suara. Kalau memelihara burung Merpati, sampai ratusan jumlahnya, untuk hobi adu balap burung Merpati, serta jatuh hati pada kesucian burung Merpati tersebut, karena selalu bersanding dengan pasangannya, meskipun dicampur dengan burung Merpati yang banyak sekali jumlahnya, jantan dan betina bercampur. Ayam, lebih-lebih ayam Jago, memang menjadi keinginannya untuk dipelihara. Selain karena sifat alami Jago suka bertarung, juga menjadi alat untuk mengatur semesta alam di alam rohani, supaya kesucian dapat selalu mengalahkan angkara murka dunia; Maka ketika terjadi penyebaran hama/penyakit ayam, yang menyebabkan ayam-ayam peliharaanNya hampir habis karena mati, Beliau sangat prihatin, dan memohon kepada Tuhan Allah apa yang harus dijadikan korban untuk menyelatkan bangsa unggas/ayam. Jawaban/perintah Tuhan Allah mengenai korban yang harus dilaksanakan sangat berat, yaitu Beliau harus berpura-pura menjadi orang gila (bertapa dengan cara demikian), dan melakukannya selama sebelas hari. Setiap hari Jawa Pon dan Kliwon di pagi hari, yaitu sedang hari pasaran di Muntilan, Beliau bertapa dengan berpura-pura gila, memakai pakaian adat Jawa lengkap, memakai blangkon sangat rapi, memakai jas hitam dan kain dilipat sangat rapi, tetapi membawa keranjang berisi jagung untuk makanan ayam di atas kepala, tidak hanya demikian, namun beliau juga memakai selendang diagonal berupa kerupuk dan Alen-alen (sejenis kerupuk yang terbuat dari tepung beras berupa bulatan kecil yang ditengahnya berlubang satu) dirangkai dengan tali. Tentu saja hal tersebut membuat heran dan menjadi tertawaan orang banyak. Setelah dilaksanakanNya perintah Tuhan yang begitu berat selama sebelas hari, penyakit ayam yang melanda saat itu segera berhenti. Mengenai kesenanganNya memelihara anjing, ada hubungannya dengan Wahyu Sejatining Kakung, yaitu menjadi tumbal atau ditakuti oleh dan menjadi penolak/penghalang bagi Jin atau makhluk halus yang akan mengganggu. Selain itu, Beliau memelihara binatang peliharaan lainnya diupayakan mencari kemanapun sampai didapat dan berani membeli dengan harga berapapun (sangat mahal), ketika memenuhi/menjalankan perintah Tuhan Allah sesuai yang diterima dalam mimpi (perintah Tuhan Allah atau jawaban Tuhan Allah atas permohonan yang dipanjatkan yang diterima dalam mimpi ini disebut dengan istilah ayat) yang memerlukan binatang peliharaan dimaksud untuk korban/tumbal. Sedangkan binatang peliharaan yang sangat tidak diperkenankan oleh Beliau adalah bebek dan babi, karena pada umumnya memelihara bebek itu hanya untuk diambil telurnya, yang berarti membunuh benih kehidupan, dan apalagi bebek menggambarkan poligami, satu jantan mengawini banyak sekali betina, yang sangat tidak berkenan di hati Beliau. Sedangkan memelihara babi tidak diperkenankan karena alasan yang berkaitan dengan kesehatan badan.
4. Tanaman yang menjadi perkenanNya adalah tanaman padi dan tembakau. Tanaman padi menjadi gambaran Ilmu Tuhan Allah yang sedang disebar-luaskan, yang juga berarti gambaran dari murid-muridNya di alam rohani/alam batin. Penanaman padi dilaksanakan secara terencana yaitu secara bergantian (tidak seluruh lahan ditanami padi, tetapi sebagian ditanami tanaman lain yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, demikian dilakukan secara bergantian), diupayakan jangan sampai kehabisan beras, mengingat bahwa anak-cucuNya dan murid-muridNya sangat banyak (Perlu dijelaskan disini, bahwa setiap orang/murid yang datang ke rumah Beliau untuk menghadap/belajar Ilmu Tuhan Allah atau untuk meminta pertolongan Beliau, selalu diberi jamuan makan). Karena sejak usia masih muda, yang menjadi keinginan dan tekadnya hanya bertani, maka Beliau memiliki pengetahuan dan pengalaman yang sempurna dalam hal bertani. Demikian juga dalam hal menanam tembakau dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun untuk kebutuhan yang memerlukan biaya yang besar/uang yang banyak, maka sampai berhektar-hektar luas lahanNya, Beliau tanami tembakau; Bahkan kadang-kadang Beliau membeli tanaman tembakau dalam jumlah yang besar dan menyimpannya. Beliau selalu ingat, kalau keadaan ekonomiNya sampai jatuh pada tahap serba kekurangan, dapat mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan yang tidak benar, tidak suci, tidak jujur seperti misalnya: menjual Ilmu Tuhan Allah yang diterimaNya secara gratis (tanpa mengeluarkan uang), menerima pemberian (uang, barang) sebagai balas jasa mengajarkan Ilmu Tuhan Allah, dengan mudahnya mengambil atau menggunakan harta benda milik anak-cucu/murid-muridNya, padahal semua itu menjadi pantangan bagi Beliau/dihindari oleh Beliau. Untuk mencukupi kebutuhan atau untuk dapat menutup belanja yang semakin besar, yaitu karena semakin tambah banyaknya murid-muridNya, Beliau melakukan usaha dagang berbagai macam barang, sampai pernah menjadi pedagang keliling petasan yaitu berkeliling di sekitar pasar Muntilan, Borobudur dan Magelang. Beliau tidak memperkenankan para muridNya meminjamkan uang kepada orang lain dengan menarik bunga pinjaman, tetapi mewajibkan mereka untuk membantu orang yang sedang mengalami kesulitan ekonomi atau kesusahan lainnya, yang sifatnya gotong royong untuk kerukunan warga masyarakat. Berhubung Beliau keturunan kaum tani, maka selain Beliau senang menanam bibit tumbuhan, juga sangat suka mengolah tanah dan mempertahankan tanah milikNya. Beliau belum pernah menjual tanah bengkok-Nya (tanah bengkok adalah tanah pemberian pemerintah kepada sekretaris desa/lurah, karena jabatannya), lebih-lebih tanah milikNya yang dibeli dari hasil jerih payahNya bekerja. Sebaliknya Beliau bahkan seringkali membeli tanah, sehingga anak-anakNya masing-masing diberi tanah sawah atau tanah untuk perumahan semuanya. Hal yang mengagumkan dari Beliau adalah ketika Beliau sedang bepergian, jika menemukan bibit apa saja yang berguna bagi manusia, entah itu biji buah nangka, entah biji buah durian, biji buah kemiri, biji kacang-kacangan dan sebagainya yang tercecer di jalan, tidak terawat, atau tercecer di tempat lain, pasti diambil dan dikantongi, dan apabila mendapatkan tempat/lahan yang layak yang dapat menghidupi biji tersebut, meskipun bukan tanah miliknya, biji-biji tersebut kemudian ditanam di tempat itu.
5. Ketika Beliau masih tinggal di rumahNya di desa Prebutan, Beliau mempunyai ipar dari sepupu yang menjabat sebagai Kamituwa. Beliau menawarkan kepada iparNya, apakah mau/suka menjadi lurah. IparNya menjawab, meskipun suka tetapi mustahil hal itu terjadi karena menyadari bahwa dirinya kalah pandai dan kalah dicintai oleh orang banyak daripada Beliau, apalagi lurahnya masih aktif menjabat sebagai lurah. IparNya disuruh sabar menunggu untuk sementara waktu yaitu kurang lebih selama 9 (sembilan) bulan; dan setelah menjabat sebagai lurah selama 8 (delapan) bulan, iparNya tersebut pasti akan membenci Beliau. Hal itulah yang membuat Beliau tidak meneruskan menetap/tinggal di desa Prebutan. IparNya tersebut sangat menyangkal (tidak percaya), lebih-lebih bahwa dirinya akan membenci Beliau, karena selain saudara ipar, dirinya merasa juga menganggap guru kepada Beliau. Setelah waktu 9 (sembilan) bulan berlalu, apa yang Beliau nubuatkan terjadi, lurah desa Prebutan diberhentikan karena bersalah menyelewengkan uang pajak. Pejabat kamituwa kemudian diangkat menjadi lurah menggantikan lurah yang sudah diberhentikan. Delapan bulan setelah menjabat sebagai lurah, terjadi pertengkaran (beda pendapat) antara lurah yang baru dengan cariknya (RPS. Sastrosoewignjo) karena lurah yang baru tersebut bersikap semaunya saja dalam mengelola uang negara. Beliau mengajukan permohonan pindah ke kelurahan Jagalan yang kebetulan cariknya (sekretaris desanya) sedang kosong (tidak ada yang menjabat). Permohonan Beliau dikabulkan, sehingga Beliau pindah dari desa Prebutan ke desa Jagalan. Ketika berpamitan dengan iparNya (lurah desa Prebutan yang baru), Beliau menyatakan bahwa sikap iparNya membenci Beliau itu bukan kesalahan iparNya tersebut, namun justru sebaliknya karena melaksanakan kehendak Tuhan Allah yang sudah Beliau nyatakan 17 (tujuh belas) bulan sebelumnya.
6. Ketika jaman Klasir (?) di awal tahun 1930, RPS. Sastrosoewignjo bersama-sama orang banyak mengikuti klasir antara Sungai Lamat dan Sungai Blongkeng. Orang banyak pada heran dan tidak mengerti apa maksud Beliau memberi nama pada lekukan tanah sawah yang diklasir (?) dengan nama Watu Murah (Batu Murah), Watu Tumpuk (Batu Tumpuk) dan Watu Lumbung (Batu Lumbung). Pada saat ditanya apa maksudNya, Beliau menjawab: Batu Murah, di masa yang akan datang akan murah batu disitu (maksudnya batu akan mudah diperoleh atau akan terdapat banyak batu disitu), Batu Tumpuk, di masa yang akan datang batunya seperti ditumpuk-tumpuk dan Batu Lumbung, di masa yang akan datang batunya besar-besar sebesar lumbung. Murid-murid RPS. Sastrosoewignjo tersebar dimana-mana, banyak juga yang berasal dari desa-desa di lereng Gunung Merapi di sisi barat laut. Di antara para murid tersebut (di lereng Gunung Merapi) terdapat seorang murid yang sangat setia kepada Beliau dan mempunyai pemahaman batin yang jelas, namanya bapak Surorejo. Karena begitu pahamnya terhadap pengetahuan batin (dapat menerima dan mengerti dengan jelas perintah-perintah/keterangan/firman dari Tuhan Allah), oleh masyarakat di sekitarnya dianggap sebagai orang yang tidak waras/sakit jiwa/gila. Ketika itu pak Surorejo menerima keterangan/firman Tuhan Allah yang sangat jelas dan utuh bahwa Gunung Merapi akan meletus, bahkan disebutkan: jam, hari, tanggal, bulan dan tahunnya. Begitu bangun tidur pak Surorejo langsung menghadap kepada RPS. Sastrosoewignjo di desa Jagalan, Munthilan, untuk menceriterakan dan mencocokkan (mengkonfirmasi) mengenai keterangan/firman Tuhan Allah yang diterimanya tersebut. Setelah memperoleh jawaban bahwa perintah/firman tersebut memang benar (akan terjadi), maka pak Surorejo kemudian pulang untuk mengungsikan anak isetrinya (keluarganya) beserta harta benda dan barang miliknya. Setelah itu pak Surorejo mengelilingi kampung/desa tersebut sambil berteriak-teriak memberitahu dan memohon kepada masyarakat bahwa menurut Tuhan Allah Rama Carik Jagalan, pada hari ini jam sekian Gunung Merapi akan meletus, desa ini akan terkubur oleh lahar/lava, oleh karena itu mengungsilah, kalau saya sampai bohong, semua kerbau saya boleh kalian ambil/miliki. Orang-orang desa tidak percaya kepadanya, bahkan menanggap bahwa pak Surareja sedang kambuh gilanya (gilanya menjadi-jadi) karena mabuk ilmu kebatinan. Berkali-kali pak Surareja memperingatkan kepada orang-orang desa, berkeliling desa sampai empat kali, sendirian berkeliling desa sambil menangis tersedu-sedu karena rasa belas-kasihannya yang amat sangat kepada penduduk desa disitu. Karena tidak dipercaya oleh penduduk desa, pak Surareja kemudian pergi meninggalkan desa itu sambil menangis di sepanjang jalan. Tentu saja hal tersebut membuat penduduk desa itu makin percaya bahwa pak Surareja memang benar-benar gila. Apa yang dikatakan oleh Pak Surareja terjadi, Gunung Merapi meletus dahsyat mengerikan di tahun 1930, tepat sesuai dengan firman Tuhan Allah yang diterima Pak Surareja. Banjir lahar/lava dan batu-batu memenuhi tempat-tempat di sekeliling kota Muntilan. Lahar/lava mengalir di sungai Lamat yang mengelilingi halaman rumah Rama RPS Sastrosoewignjo. Orang-orang di desa itu semuanya mengungsi, demikian juga keluarga Beliau; sedangkan Beliau tetap tinggal di rumahNya ditemani oleh seorang pembantu yang selalu melayani Beliau yang bernama Pak Lepok. Hal tersebut membuat orang-orang keheranan kenapa Beliau tidak mengungsi. Perlu diketahui bahwa lekukan-lekukan sawah yang diberi nama Watu Murah, Watu Tumpuk dan Watu Lumbung, semua terbukti dipenuhi batu yang terbawa oleh lahar/lava. Setelah itu, orang-orang baru mengerti apa yang dimaksud Beliau pada saat Klasiran. *)*) Istilah klasir mungkin yang dimaksud adalah peninjauan ke lapangan setelah selesai meletusnya Gunung Merapi.
7. Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo sudah mengetahui sebelumnya hal-hal yang akan terjadi, yaitu mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Sebenarnya apa yang akan terjadi sudah diisyaratkan/diberitahukan di alam halus/alam mimpi. Apalagi bagi Beliau yang telah dipersatukan dengan (disemayami oleh) Roh Allah, tambahan lagi selalu berbuat/berperilaku suci, selalu menjalankan tapa brata dengan sungguh-sungguh dan tekun, sehingga berhasil mengalahkan dan menguasai (dapat memerintah) hawa-nafsuNya. Meskipun hanya (bagi) manusia biasa, kalau berperilaku suci dan tekun menjalankan tapa brata, kalau mau berusaha sungguh-sungguh, dapat menerima firman Tuhan Allah sebelumnya tentang apa yang akan dialaminya di waktu yang akan datang; Apakah akan mengalami kesusahan atau kegembiraan pasti menerima firman dari Tuhan Allah lebih dahulu sebelum hal tersebut terjadi. Hal-hal yang mustahil yang berhubungan dengan kepekaan batin Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo untuk mengetahui lebih dahulu kejadian-kejadian yang akan berlangsung/terjadi itu bermacam-macam (banyak sekali jenisnya), yaitu antara lain: mengetahui Wahyu Raja (siapa yang akan menjadi raja), Wahyu Bupati (siapa yang akan menjadi bupati), bayi yang masih ada dalam kandungan akan lahir laki-laki atau perempuan, telur yang sedang dierami induknya akan menetas berapa dan bagaimana kelanjutan hidup anak ayam tersebut, siapa tamu-tamu yang akan menghadap Beliau dan keperluannya apa, dan lain sebagainya. Mengenai keajaiban (hal-hal yang tidak masuk akal), sampai dengan saat wafatNya, Beliau tidak lepas dari (selalu berhubungan dengan) kejadian-kejadian yang mustahil (tidak masuk akal). Pandangan seperti itu kalau dilihat dari sudut pemahaman orang yang hanya mengerti dengan menggunakan logika (pengetahuan tentang dunia fana). Sebaliknya bagi orang yang memahami/mengerti dengan menggunakan rohnya/Suksmanya/badan halusnya/mata batinnya, hal-hal yang mustahil dipandang dari sudut logika itu sebenarnya merupakan hal yang biasa, bahkan sesungguhnya bukan hal yang ajaib/menakjubkan. Demikianlah mengenai kesuciannya, ketajaman batinnya, besarnya tekad, kemurahan, keadilan dan keluhuran budinya, itu yang malah mencengangkan karena tidak setara dengan batinnya.
***A***

BAB X
MENYEBAR-LUASKAN (MEWARTAKAN) ILMU TUHAN ALLAH DENGAN MENGGUNAKAN WAYANG KULIT/ WAYANG PURWA
1. Murid-murid Rama RPS Sastrosoewignjo semakin banyak, yang biasa disebut dengan istilah Kadang Golongan, sebab mempelajari Ilmu Tuhan Allah berarti menyatu dalam kelompok Beliau. Pada mulanya, Kadang Golongan berasal dari orang-orang yang meminta pertolongan kepada Beliau, orang yang suka berguru untuk menimba ilmu kebatinan, orang yang suka mencari kesaktian, orang yang suka bertapa, demikian juga tidak kalah banyaknya dari orang-orang yang sudah memiliki pemahaman tentang agama Islam, yang telah menjadi kepercayaan atau tempat belajar orang banyak.
       Dari antara Kadang Golongan yang berasal dari orang yang telah memiliki pemahaman agama Islam, yang perlu diceriterakan disini adalah: Ahmad Suhada berasal dari Kyangkongrejo, Kuthorejo, Begelan dan Kartawiharja, pentolan/tokoh Agama Islam di desa Sayangan, Munthilan.
       Demikian juga akan diceriterakan kadang golongan yang banyak pengorbanan dan kontribusinya, lebih-lebih yang di belakang hari kemudian terhitung sebagai sahabat Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dan selanjutnya menjadi saksi lahir batin tentang Beliau dan juga membantu meneruskan/melanjutkan tugas dan kewajiban Beliau.

2.    Kyai Ahmad Suhada termasuk orang yang mukmin dan memiliki pengaruh yang signifikan di tempat tinggalnya; sebutan Kyai dan nama Ahmad Suhada mengidentifikasikan bahwa ia orang Jawa yang terhitung mengerti tentang Agama Islam, dan pada kenyatannya beliau memang  mengajari orang-orang mengaji dan mendirikan pesantren. Meskipun demikian beliau masih merasa kurang pengetahuannya mengenai kasuksman/kerohanian/kebatinan dan rahasia kematian, sehingga beliau meninggalkan tempat tinggalnya (di Kyangkongrejo, Kuthorejo, Begelan, Jawa Tengah) bermaksud untuk berguru di Pondok Pesantren di dekat kota Pacitan, Jawa Timur selama beberapa waktu.
Ketika beliau berada di Pondok Pesantren, di dalam tidurnya, beliau merasa menerima perintah dari Tuhan Allah yang sangat jelas, demikian perintahNya:”Ahmad Suhada, kowe aja katrem lan kabesturon mung tansah ngaji bae, sing perlu golekana maknane sahadad kang tanpa sadu!” (terjemahan:”Ahmad Suhada, kamu jangan tenggelam dan ketiduran hanya selalu mengaji saja, yang perlu kamu cari adalah makna sahadad yang bukan berupa kata-kata!”). Yang memberi perintah kemudian menghilang entah kemana. Ahmad Suhada bangun tidur termangu-mangu, setelah itu beliau tertegun. Beliau merasa sangat sedih, hingga selama berhari-hari tidak enak makan dan tidak enak tidur. Karena kehabisan nalar, seluruh mimpinya beliau ceriterakan kepada Kyai tempat beliau berguru/belajar, meminta keterangan apa sebenarnya makna mimpi tersebut. Kyai tersebut jujur, sederhana dan polos, dan mengakui bahwa dirinya tidak tahu makna mimpi tersebut yang sebenarnya, makanya beliau minta waktu beberapa hari untuk meminta keterangan lebih dahulu kepada Tuhan Allah Sumber Kehidupan, beliau bertekad berpuasa tidak makan tidak minum (Jawa: Ngebleng pati geni) dan berniat sholat istiqaroh di Mushola selama 7 (tujuh) hari  
7 (tujuh) malam; Setelah dijalani, baru selama 4 (empat) hari saja, Kyai memanggil Ahmad Suhada diberitahu demikian:”Sudah menjadi nasib saya tidak dapat menyaksikan kenyataan/kejadian ini, kamu segeralah pergi dari sini menuju ke daerah Kedu (Magelang, Jawa Tengah), kamu akan menemukan apa yang kamu cari!”.
Perintah Kyai dilaksanakan oleh Ahmad Suhada, beliau menjelajahi wilayah Kedu sambil berjualan kain garis-garis (Jawa: lurik) Kuthaharja, dalam batinnya mencari kebenaran/kenyataan dari mimpinya.

3.        Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo selalu melanjutkan Tapa Ngrame Ana Ing Guwa Samun (bertapa di tengah khalayak ramai/orang banyak di goa yang tidak kelihatan), yang berarti bertapa tanpa diketahui orang lain di tengah masyarakat, jadi bertindak/berbuat seperti biasa sebagaimana dilakukan orang lain. Beliau sering berenang, bermain balapan burung merpati, panahan, yang memberikan contoh mengenai keahlian dan ketrampilan dalam hal memanah. Jika Beliau menari menjadikan kagum banyak orang; orang yang sedang menonton tidak mau pulang sebelum Beliau selesai menari. Kalau menari tayub, sewaktu Beliau dipaksa untuk tampil, Beliau mau untuk tidak mengecewakan orang banyak, dengan memilih penari wanita lawan mainnya yang berparas tidak cantik (dan serba kurang dari semua segi) serta menjaga jarak yang jauh supaya tidak bersenggolan, karena hanya benar-benar untuk menampilkan seni tarinya; semuanya itu bertujuan supaya tidak mengecewakan orang banyak.
Malahan tidak berhenti disitu saja, sering terjadi sewaktu Beliau berada di jalan atau di sawah, anak-anak penggembala ternak sering bertepuk tangan untuk Beliau dan melantunkan gamelan dengan mulut mereka, Beliau sering menari sekalian, untuk menyenangkan hati mereka, sembari menutupi tapa brata Beliau. Karena hal itu sering terjadi, maka orang yang menyaksikan banyak yang berpersepsi yang tidak-tidak (negatif) terhadap Beliau. 

4.        Setelah selesai sholat Jum’at di Mesjid Muntilan, Ahmad Suhada berkenalan dengan Kartawiharja, seorang tokoh Agama Islam di Kampung Sayangan Muntilan.
Ahmad Suhada memohon keterangan dengan amat sangat kepada Kartawiharja mengenai ada tidaknya Kyai yang terkenal di sekitar wilayah Muntilan. Kartawiharja menjawab bahwa tidak ada Kyai yang dimaksud, tetapi ada Kyai yang tidak bisa dibilang terkenal yaitu Carik desa Jagalan, yang masih mau berjudi dan menari-nari seperti orang gila, meskipun demikian oleh murid-muridNya juga dianggap Kyai yang benar-benar Kyai. Malahan disarankan supaya Ahmad Suhada jangan menemuiNya. Ahmad Suhada mempunyai keinginan yang besar/kuat untuk melihatNya, sehingga beliau segera pergi ke desa Jagalan untuk menemui Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang menjabat sebagai carik desa Jagalan. Kebetulan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo pada waktu itu sedang berada di rumah; Begitu Ahmad Suhada melihat wajah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, teringat bahwa memang Beliaulah yang memberi perintah ketika berada di Pondok Pesantren, maka dengan badan gemetar segera bersujud merangkul kaki Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo ingin menciumnya sebagai tanda bakti, tetapi Beliau melarangnya. Ahmad Suhada berdiri memandang tanah tanpa bisa bicara, batinnya menangis dan terharu karena sama sekali dia tidak menyangka dapat bertemu dengan yang memberi perintah dalam mimpinya.
Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mengetahui isi batin Ahmad Suhada, dan segera memberi penjelasan kepada  Ahmad Suhada bahwa semua kejadian ini adalah kehendak dari Tuhan Allah, maka supaya memperbesar/menambah kesetiaannya kepada Tuhan Allah.
Selanjutnya Ahmad Suhada menjadi murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, mempelajari Ilmu Tuhan Allah (Ngelmu Kasuksman Tiga Perangkat) sampai Katam.
Ahmad Suhadalah yang memulai menyebarkan Ilmu Tuhan Allah di sekitar wilayah kota Kuthaharja (sekarang: Kutoarjo).

5.         Setelah mengetahui bahwa pengaruh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo semakin besar, apalagi Ahmad Suhada terbawa sampai menjadi muridNya, Kartawiharja merasa sangat besar dosanya apabila tidak dapat menahan/mengerem pengaruhNya dan tidak dapat menaklukkanNya, sehingga pada suatu hari ia menyediakan seluruh waktunya untuk menemui  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dengan maksud membujukNya agar masuk Agama Islam, karena Beliau juga mengakui Agama Islam, dan mengingatkan agar Beliau mematuhi dali-dalil dan rukun Agama Islam sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an. Kartawiharja membacakan dan menjelaskan berbagai macam Surat dan Ayat-ayat Al Qur’an supaya  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo merasa bahwa diriNya telah menyimpang dari ajaran Al  Qur’an, sehingga mau kembali menjadi orang Islam sejati. Setelah itu Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo memberikan jawaban dengan sindiran (Jawa: pasemon) yang dinyanyikan sebagai berikut:”Tirta, wiyat sida guri man­ca-warna, edan kula kapilut luwesing basa. Petis ma­nis sarining kaca benggala, aja ngucap yen durung we­ruh ing rasa."(terjemahan: sudah gila saya kalau sampai termakan/terhanyut oleh indahnya bahasa, jangan kamu mengatakan hal-hal yang belum pernah kamu alami/rasakan sendiri). Selanjutnya Kartawiharja diberondong dengan berbagai pertanyaan: siapa yang mengetahui makna Tangawud? Makna Surat Al Ikhlas? Makna Surat An Nas? Makna Surat Al Fatekah? Siapa yang mengerti/menyaksikan kenyataan jim yang menempel di dada manusia? Allah itu satu/esa, siapa yang bisa menyaksikan bahwa Allah itu satu, sehingga bisa melihat atau mengetahui kenyataan bahwa Allah itu memang satu. Apakah ada yang benar-benar menyaksikan bahwa Nabi Muhammad itu Utusan Tuhan Allah? Ini masalah mencari kenyataan (hal yang nyata) lho, bukan masalah hafalan dan mengartikan kalimat! Saya kira di dunia ini tidak ada orang yang dapat menyaksikan masalah ini kalau tidak menggunakan cara-cara Saya. Sorga dan Neraka yang akan terjadi di kemudian hari  saja dibicarakan/diurusi, padahal keadaannya sekarang ini saja belum  tahu/dimengerti. Ayo,  katanya mau ikut Nabi Muhammad, tahu tidak saat ini/sekarang ini Suksma (Roh)Nya ada dimana? Lebih tinggi siapa bila dibandingkan dengan Aku? Kalau ada selisih, selisihnya berapa sentimeter? Saya pastikan tidak ada orang yang tahu. Pada akhirnya Kartawiharja tidak bisa mendebat perkataan Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, bahkan lama-lama ia belajar Ilmu Tuhan Allah dari Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo dan menjadi kadang golongan. Seringkali Kartawiharja diperintahkan oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo untuk memohon kepada Tuhan Allah agar dipertemukan dengan Suksma (Roh) Nabi Muhammad. Di Alam Roh (Alam Halus) ia selalu bertemu dengan Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, sehingga kemudian ia berkeyakinan dalam batinnya (berketetapan hati) bahwa antara Nabi Muahammad dengan Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo sesungguhnya adalah orang yang sama (Jawa: barang siji). Setelah Kartawiharja katam, ia diberi berbagai macam penjelasan mengenai hubungan antara para nabi sebelumnya dengan Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo. Demikian juga mengenai kitab-kitab, hingga mengerti bahwa wayang purwa (Pustaka Raja Purwa) itu sebenarnya juga Kitab Suci seperti halnya Al Qur’an, rangkuman yang dibuat oleh Sunan Kalijaga dengan mengambil intisari dari kisah para nabi sebelumnya. Kartawiharja kemudian ikut menyebarkan Ilmu Tuhan Allah di daerah Kedu (Magelang dan sekitarnya).

6.        Mulai saat itu Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo menyebarkan Ilmu Tuhan Allah dengan menggunakan sarana wayang purwa/wayang kulit; Kebetulan pada saat itu di Yogyakarta ada pemeluk (murid) baru namanya R. Sastromujono yang memahami/mengerti wayang purwa dan ahli dalam hal gending (nyanyian Jawa). Setiap tiba hari peringatan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian penting yang dialami oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, yaitu hari peringatan turunnya (diterimaNya) wahyu yang pertama dan kedua, para murid  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo (kadang golongan) mengadakan perayaan, bersukaria, mengucap syukur dan terima kasih kepada Rama Pran-Soeh (Tuhan Yang Maha Esa), bahasa Jawa:slametan, bahkan ada yang menyelenggarakan pagelaran wayang purwa/wayang kulit. Kartawiharja menjelaskan Ilmu Tuhan Allah, diselingi pembacaan ayat Al Qur’an, kemudian gamelan berbunyi dan dimulailah pagelaran wayang kulit, ceriteranya diselaraskan dengan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat, diambil salah satu saja. Sudah barang tentu, semakin bertambah banyaknya kadang golongan membuat pengikut agama lain merasa tidak senang, lebih-lebih yang kitab sucinya dijelaskan bersamaan dengan pertunjukan wayang, hal itu dianggap sangat terlarang untuk dilakukan; Oleh sebab itu pada saat kadang golongan mengadakan perayaan di desa Tambakbaya, disebelah barat kota Magelang mendapat rintangan yang sangat besar yaitu dilempari batu bertubi-tubi, sehingga perayaan gagal tidak bisa diteruskan. Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo diungsikan, dibawa pergi oleh para muridNya dengan menaiki mobil. Mobil yang dinaikiNya masih diburu dan dilempari batu hingga kacanya pecah berantakan, tetapi Beliau dan para muridNya, semua selamat, tidak ada yang terluka ataupun meninggal. Selanjutnya peristiwa tersebut menjadi perkara di Pengadilan Negeri, karena Beliau tidak dapat menerima perlakuan tersebut, dan para pelakunya mendapat hukuman dari Pemerintah. Demikian juga disekitar tempat kejadian, karena telah digunakan untuk memfitnah Beliau, menerima hukuman dari Tuhan Allah yang berupa selama beberapa tahun masyarakat disitu gagal panen, tanaman pada mati dan tanaman  yang bertahan hidup tidak berbuah. Ketika murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mengadakan pagelaran wayang kulit di desa Tingal, Borobudur, juga mendapat gangguan, tetapi pagelaran dapat dilanjutkan. Orang-orang yang tidak suka kepada Beliau mengata-kataiNya dengan kata-kata yang tidak enak didengar di telinga:”Yang duduk itulah biangnya, dialah babinya!” Beliau dengan sabar menjawab:”Di dalam diri saya ini tidak berisi apa-apa, kecuali hanya menjalankan perintah Tuhan Allah; yang mengatakan:”Babi”, kamu mengeluarkan dari mulut kamu kata babi, jadi batinmu berisi (ada kandang) babi!” Selain dikata-katai, juga dinding dari anyaman bambu (Jawa: gedheg) yang berada di belakang tempat duduk Beliau ditusuk-tusuk dengan tongkat bambu yang ujungnya dibuat runcing (bambu runcing). Mereka juga melepas berkotak-kotak lebah. Namun pagelaran wayang kulit dapat dilanjutkan, karena orang-orang yang membuat keributan bubar sendiri-sendiri, mereka takut kepada banyaknya murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang berdatangan, apalagi ada penjagaan dari kepolisian.

7.        Di daerah Muntilan banyak penganut Agama Katolik yang mana dari antara mereka ada yang menjadi murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo (kadang golongan). Kepada para murid yang berasal dari penganut Agama Katolik, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mengajarkan supaya para murid tersebut memohon kepada Tuhan Allah untuk bertemu dengan Suksma Tuhan Yesus Kristus. Setelah para murid di Alam Halus hanya selalu bertemu dengan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, maka mereka menjadi setia kepada Beliau. Untuk selanjutnya mereka diajari berbagai macam hal, hingga mereka katam (bertemu dan menyaksikan sendiri Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat), yang menjadikan hati mereka puas karena mereka tahu dan menyaksikan sendiri kenyataan/kebenarannya di Alam Batin/Alam Halus apa yang dimaksud dan bukti nyata dari Bintang Timur (Lintang Panjer Enjing) dan siapa sebenarnya Sang Penebus Dosa. Pasti saja hal itu menimbulkan pertentangan dan perbedaan pendapat dengan para penganut Agama Katolik, tetapi tidak sampai menimbulkan persoalan dan gangguan yang berarti. Tidak mengherankan kalau para Kyai/Orang Pintar/Paranormal guru ilmu kebatinan yang muridnya pada berkurang yang berarti menurun kewibawaannya dan berkurang pula penghasilannya, pada benci kepada  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dan melakukan berbagai macam fitnah, mendakwa Beliau sebagai  penipu, menyebarkan ilmu yang tidak benar, melanggar kesusilaan dan lain sebagainya, kasusnya sebagian sampai ada yang diajukan ke meja hijau (pengadilan), dan orang-orang yang memfitnah Beliau pada akhirnya divonis bersalah dan dihukum.


8.        R. Sastromujono terus membantu Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo menyebarluaskan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat di Yogyakarta dan Godeyan. Kemudian mendapat pemeluk/murid baru  yang bernama Secaharjana, Tebon, Godeyan dan Hadisudarma, Gendhol, Tempel, Sleman yang memberikan pengaruh semakin bertambah-banyaknya murid-murid  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo (kadang golongan) yang baru. Sayangnya R. Sastromujono dan Kartawiharja tidak bisa mengikat kadang golongan yang jumlahnya sudah mencapai ribuan. Entah apa penyebabnya, mungkin cara-cara yang digunakan tidak sesuai dengan keadaan waktu itu atau karena tidak mematuhi perintah-perintah Tuhan Allah. Pada waktu itu, antara tahun 1931 sampai dengan 1936 kadang golongan tersebar di mana-mana. Pemerintah penjajah Belanda mengawasi perkembangan dan sepak terjang murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, namun karena tidak ada bukti-bukti yang merugikan masyarakat bahkan para pejabat pemerintah waktu itu menyaksikan sendiri mengenai kepribadian Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, maka malah diperintahkan agar para pejabat pemerintah tidak mengganggu.




BAB XI
KADANG  GOLONGAN  TERSEBAR  DI  GUNUNGKIDUL

1.      Di tahun  1937, di Gunungkidul, Yogyakarta terjadi peristiwa yang menjadi pembicaraan publik/masyarakat selama beberapa  waktu  yaitu: tenggelamnya  R.W. Harjasujadi, camat  Semanu, ketika sedang berenang  di pantai selatan  bersama Controleur B.B. Wonosa­ri. Tidak hanya ahli waris dan pejabat pemerintah saja yang membicarakan dan mengurus masalah itu, tetapi orang banyak (masyarakat) juga ikut membicarakan dan mempermasalahkan peristiwa tersebut. Yang dibicarakan dan dipermasalahkan adalah apa penyebabnya, bagaimana kejadiannya dan yang paling penting adalah: apakah jasadnya dapat ditemukan atau tidak (?).  Kyai-kyai kebatinan, orang pintar, paranormal, semuanya banyak didatangi oleh masyarakat untuk menanyakan masalah tersebut, yang ramalannya kebanyakan (sebagian besar) menyatakan bahwa sebentar lagi (beberapa hari lagi)  jasadnya akan segera ditemukan asal dibuatkan sesaji dengan berbagai macam persembahan. Tapi ramalan para kyai, orang pintar dan paranormal tersebut tidak ada yang menjadi kenyataan, jasad  R.W. Harjasujadi tetap tidak dapat ditemukan. Sukiyata Marta Harja (S.M.H.) Sirwoko, bagi orang yang berdomisili di kecamatan Semanu, termasuk orang yang suka bertapa-brata dan senang berguru, terutama untuk memperoleh ilmu kadigdayan/kanuragan (ilmu kebal/ilmu kesaktian) dan ilmu kebatinan. Oleh penduduk kecamatan Semanu S.M.H. Sirwoko diutus/diminta untuk menanyakan/meminta penjelasan  masalah tenggelamnya R.W. Harjasujadi tersebut kepada Kyai Carik Desa Jagalan, kecamatan Muntilan, yang pada saat itu menurut pembicaraan orang banyak, yang informasinya sampai di kecamatan Semanu bahwa Beliau terkenal sebagai  Kyai yang mengetahui segala kejadian melalui mata batinNya (Jawa: waskitha). S.M.H. Sirwoko menyanggupi permintaan tersebut dan segera pergi ke desa Jagalan, kecamatan Muntilan, Provinsi Jawa Tengah, ditemani/diantar oleh seorang guru sekolah yang bernama Leo Sarima Prawiradiharja, menantu dari  Pak Suter Prebutan, yaitu seorang penganut Agama Katolik yang telah menjadi murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo (kadang golongan).
2.   Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo sudah mengetahui bahwa  S.M.H. Sirwoko akan menemui diriNya; Oleh karena itu Beliau memanggil para murid-Nya diperintahkan untuk ikut menemui tamu Beliau yaitu calon murid Beliau yang sudah dicari sejak tahun 1918. Setelah S.M.H. Sirwoko menghadap, menyatakan keperluannya dan ia mohon diberi cara untuk dapat menyaksikan sendiri peristiwanya dan dapat ditemukan atau tidaknya jasad camat Semanu tersebut, jadi ia tidak menyandarkan pada keterangan siapa-siapa. Oleh karena itu, ia diperintahkan untuk memohon sendiri keterangan kepada Tuhan Allah. Selanjutnya ia diberitahu cara-cara bertapa brata dan cara memohon kepada Tuhan Allah. S.M.H. Sirwoko menyanggupi dan mohon secepatnya dapat mengetahui/menyaksikan peristiwa tenggelamnya R.W. Harjasujadi, ia masih hidup atau sudah mati dan kalau sudah mati jasadnya dapat ditemukan atau tidak. Meskipun harus menjalani/melakukan keprihatinan/tapa brata yang berat yaitu: S.M.H. Sirwoko diperintahkan untuk bertapa dengan cara berendam dalam air selama 11 (sebelas) malam, perintah tersebut disanggupinya. Oleh karena itu, sekembalinya dari Muntilan menuju kecamatan Semanu, S.M.H. Sirwoko menyicil dengan berendam di Sungai Oya, di bawah jembatan desa Bunder, kemudian diteruskan berendam di desa Kedhung Tom­pak, di aliran sungai Jirak, kecamatan Semanu, juga berendam di bawah Jembatan Jirak, sebelah barat. Belum sampai genap 11 (sebelas) malam berendam, bahkan baru 4 (empat) malam saja menjalaninya, sudah mendapat jawaban yang sangat jelas dari Tuhan Allah  dalam mimpi yaitu di Alam Halus/Alam Kasuksman/Alam Sasmit Maya. Di Alam Mimpi, pada mulanya ia menyaksikan jalan dari Semanu ke arah selatan menuju pantai Laut Selatan (Samudera Hindia), menyaksikan keadaan R.W. Harjasujadi dari awal hingga tercebur dan tenggelam di Samudera Hindia, dan peristiwa selanjutnya yang di alam halus menentukan bahwa R.W. Harjasujadi sudah meninggal dan jasadnya tidak akan dapat ditemukan. Jadi R.W. Harjasujadi memang sudah meninggal dunia, dan suksmanya tidak kembali kepada asalnya (Jawa: kesasar) melainkan mengikuti Sang Pria yaitu Ratu Pantai Selatan Nyai Roro Kidul. Bagi S.M.H. Sirwoko memperoleh keterangan seperti itu sudah menjadikannya puas hati. Selanjutnya adik  R.W. Harjasujadi yang di kemudian hari bernama  K.R.T. Suryaningrat memohonkan sarana/syarat agar keluarga yang ditinggalkan terhibur hatinya kepada Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. K.R.T.Suryaningrat juga dapat menyaksikan di Alam Halus bahwa kakaknya jelas-jelas sudah meninggal dunia bahkan jasadnyapun tidak akan dapat ditemukan, hilang musnah dan suksmanya tidak dapat kembali ke asalnya, persis seperti apa yang disaksikan oleh S.M.H. Sirwoko. Selanjutnya K.R.T.Suryaningrat menjadi kadang golongan (murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo). Kemudian S.M.H. Sirwoko mempelajari dan melaksanakan Ilmu Tuhan Allah hingga (katam), diuji dengan berbagai macam hal oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, ia dapat menyaksikan dan mengerti apa yang dikehendakiNya. Semula S.M.H. Sirwoko menyepelekan Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, tetapi karena ia menyaksikan sendiri kelebihan-kelebihan di bidang apa saja baik lahir maupun batin, sehingga ia menjadi takut dan mencintai Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, tetap bertahan menjadi muridNya.

3.   Sebenarnya sebelum S.M.H. Sirwoko bertemu secara fisik dengan  Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, ia sudah pernah bertemu lebih dahulu di Alam Halus/Alam Mimpi yaitu ketika ia tidur di Goa Rancangkecana, sebelah barat kecamatan Playen. Pada saat itu ia tergoda oleh makhluk halus berjenis kelamin wanita, tetapi ia diingatkan dan ditolong oleh orang tua yang mengenakan sandal yang terbuat dari kayu (Jawa: theklek), yaitu Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo. S.M.H. Sirwoko mendapat perintah dari Tuhan Allah supaya ikut menbantu menyebarkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat dan mencari tunggal. (Perlu dijelaskan disini mengenai istilah tunggal yang digunakan dalam konteks perjalanan Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo menyebarkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat, berarti murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo yang telah ada sejak dahulu kala yang terpisah dengan Beliau terutama pada zaman Nabi Nuh dan yang akan dilahirkan kemudian di masa yang akan datang yang ditakdirkan untuk menjadi murid Beliau). Mungkin sudah menjadi kehendak Tuhan Allah bahwa tungal (murid) pertama yang diketemukan adalah Martasuwita dan Sukirman Poedjosoewito yang masih terhitung sebagai sepupu (satu kakek dan nenek, lain orang tua). Pada waktu itu, Sukirman Poedjosoewito sedang giat-giatnya belajar di Pondok-pondok Pesantren, karena memang orang tua dan kakek-neneknya beragama Islam. Kakek-nenek buyut dari Martasuwita dan Sukirman Poedjosoewito berkedudukan sebagai Naib (Penghulu Urusan Agama Islam)  di kecamatan Semanu yang bernama Abdulatip, seorang Kyai yang terkenal keislamannya di kecamatan Semanu, sedangkan kakek-nenekanya adalah tukang sunat (Jawa: Bong Supit) yang juga terkenal kalau menyunat orang, cepat sembuh dan tidak mengeluarkan darah. Sukirman Poedjosoewito tergugah niatnya untuk mempelajari dan melaksanakan Ilmut Tuhan Allah Tiga Perangkat karena: ketika kakak lelakinya sedang sakit parah (kritis) dan sedang menghadapi sakaratul maut (sekarat), dia memanggil adiknya (Sukirman Poedjosoewito) memberitahu bahwa semua hafalannya yaitu seperti: Tangawud, Sahadad, Surat Al Fatekah dan lain-lainnya, seluruhnya lupa dan minta diajari dan dituntun oleh adiknya, padahal mengenai keislamannya, kakaknya itu berlipat ganda lebih pandai/mahir daripada adiknya.  Bahkan kakaknya itu mengeluh seperti berada dalam kegelapan, merasa bingung dan linglung, layaknya seperti orang yang tidak punya keyakinan. Di dalam hatinya Sukirman Poedjosoewito berkata kepada dirinya sendiri:”Menurut pelajaran yang saya terima di Pondok Pesantren, nanti pada saat ajal tiba, di alam kubur harus mengingat 6 (enam) pertanyaan, padahal kakak saya belum matipun sudah lupa semua yang dihafalkannya; lalu sebenarnya Ilmu apa yang harus saya pelajari!”. Pada akhirnya Martasuwita dan Sukirman Poedjosoewito mempelajari dan melaksanakan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat hingga katam. Selanjutnya diikuti oleh murid baru yang menjadi tunggal, yaitu Martawiyogho, Martaradana, Martasuyitna, Resadirya dan masih banyak lagi yang bergabung menjadi kadang golongan, dan mempelajari serta melaksanakan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat yang dapat dengan lancar mencapai katam yang menjadikan sangat cepatnya Ilmu Tuhan Allah ini tersebar di kabupaten Gunungkidul. Cara yang digunakan untuk menyebar-luaskan Ilmu Tuhan Allah ini yaitu dengan memberikan pertolongan kepada masyarakat dengan cara pedukunan tetapi secara gratis/tanpa minta bayaran sepeserpun, namun hasilnya nyata yaitu banyak masyarakat yang tertolong dari persoalan yang mereka hadapi, siapapun yang meminta pertolongan tersebut.

4.    Selanjutnya untuk sementara waktu S.M.H. Sirwoko menyebarkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat di daerah Godheyan, membantu/memperkuat Secaharjana, sembari bekerja sebagai guru Muhammadiyah sekalian untuk dapat lebih mengenal ajaran Islam. Martaradana tinggal dan menyebarkan Ilmu Tuhan Allah di daerah Ngleri, kecamatan Playen, sedangkan Martowiyogho menyebarkan di kecamatan Wonosari yang selanjutnya memperkuat penyebaran Ilmu Tuhan Allah di kota Yogyakarta dan Imogiri, sehingga kecamatan Wonosari diteruskan oleh Poedjosoewito dan Sastrosarjono. Untuk kecamatan Semanu dan sekitarnya dipegang oleh Martosoewito. Martosoewito, sebelum menghadap secara fisik kepada Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di alam dunia, juga sudah pernah menghadap Beliau di Alam Halus/Alam Mimpi yaitu di Sungai Kakiman terusannya/sambungannya Sungai Jirak, Semanu, yang terletak di atas sungai Brangsong. Ketika itu  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo berwujud sebagai Sunan Kalijaga, memakai jas warna putih dan memakai sorban bercahaya terang. Peristiwa ini terjadi ketika  Martosoewito sedang belajar Ilmu Kebatinan. Kebiasaan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, sebagaimana telah terjadi sebelumnya, jarang sekali berkenan untuk bepergian kesana kemari, lebih-lebih dalam hal menyebarkan Ilmu Tuhan Allah, jangan sampai terjadi ibarat sumur berjalan yang ditimba. Para murid yang jumlahnya ribuan tersebut, pada awalnya datang sendiri-sendiri menghadap Beliau. Kecuali pada saat hari peringatan, di tempat manapun dimana para muridNya mengadakan perayaan/peringatan, Beliau baru bersedia/berkenan untuk pergi mengunjungi para muridNya, itupun tidak semua tempat dikunjungi, hanya secara bergilir saja. Beliau memberikan berkat dan nasehat-nasehat. Sama-sama di tempat para muridNya (kadang golongan), yang sering dikunjungi adalah di Gunungkidul. Hal itu disebabkan oleh banyaknya murid dan sahabat Beliau yang dikehendaki untuk ikut serta memikirkan dan bertindak untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang dihadapi dalam menyebarkan Ilmu Tuhan Allah, dan juga karena Beliau mempunyai menantu di Gunungkidul sehingga sekalian menengok anak-cucuNya.

5.   Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mempunyai banyak anak hingga berjumlah 14 (empat belas) orang, yang masih hidup dan bisa dirawat tinggal 6 (enam) orang yaitu 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak perempuan. Untuk merawat anak-anak diserahkan kepada isteriNya, sedangkan Beliau hanya menjaga dan memperhatikan keadaan anak-anak. Beliau selalu berusaha agar anak-anakNya jangan sampai kecewa dan berhenti bertumbuh. Kalau anakNya sedang tidur, nada bicaraNya pelan-pelan, kalau berjalan menggunakan ujung jari kakiNya, semua itu Beliau lakukan agar tidak mengejutkan dan mengganggu tidur anak-anakNya. Kalau anakNya meminta sesuatu, Beliau selalu berusaha agar dapat memenuhinya, namun Beliau selalu menjaga agar anakNya tidak menjadi anak yang manja, jadi cinta kasihNya tidak ditunjukkan secara berlebihan. Kecuali apabila ibu dari anak-anak sedang menderita sakit parah sehingga tidak dapat menyusui anak-anakNya, anak-anak Beliau tidak diperkenankan meminum susu sapi, sebab menurut Beliau kodrat kehendak Tuhan Allah, anak-anak itu menyusu pada ibunya, jadi tidak menyusu pada hewan, supaya karakter/budi pekertinya tidak terpengaruh oleh jiwa hewan. Beliau sangat pantang untuk berbicara kasar/buruk/tabu kepada anak-anakNya, karena selain memalukan bila terdengar di telinga orang lain, juga takut bila perkataannya itu terjadi (menjadi kenyataan) pada anak-anakNya di kemudian hari yang akan membuat penyesalan yang sangat mendalam bagiNya. Masalah tentang pantang berkata kasar/buruk ini selalu diperingatkan dan diperintahkan agar selalu dilakukan oleh murid-muridNya. Beliau sangat mendorong agar anak-anakNya giat/rajin belajar supaya sekolahnya berhasil. Kadang-kadang Beliau dengan keras memarahi anak-anakNya hanya agar sekolahnya berhasil. Dalam hal mempelajari pengetahuan tentang dunia fana (Jawa: kawruh lahir), agama apapun tidak menjadi penghalang, sebab kalau memang tunggal, pada saatnya nanti pasti akan terbuka sendiri pengertian/pemahamannya. Mengenai masalah anak-anakNya yang berhubungan dengan agama, Beliau belajar dari/berkaca pada  kisah Nabi Nuh yang mempunyai 3 (tiga) orang anak: anak yang pertama menertawakan ayahnya, anak yang kedua agak percaya pada ayahnya, tapi bersikap setengah setuju dan setengah tidak setuju, sedangkan anak yang ketiga membantu dan percaya pada ayahnya. Hal ini dapat dipahami dari ceritera pada saat Nabi Nuh sedang tidur dimana kemaluannya kelihatan: ada anaknya yang malahan menertawakannya, ada yang membiarkannya (bersikap acuh tak acuh) dan ada yang berbelas kasih menutupi kemaluan Nabi Nuh. Anak-anak Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo pada mulanya sekolah di sekolah Katolik disesuaikan dengan kemajuan pendidikan pada waktu itu di Muntilan. Beliau sangat mencintai anak-anakNya. Beliau menyatakan demikian:”Anak itu merupakan bagian dari daging orang tuanya, oleh karena itu kalau menyepelekan anakKu, itu sama dengan menyepelekan Aku!” Beliau tidak membeda-bedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, karena nantinya anak laki-laki akan mempunyai isteri seorang wanita, sedangkan anak perempuan akan memiliki suami seorang laki-laki. Meskipun anak menantu, Beliau anggap sebagai anak sendiri, lebih-lebih bila sudah mempunyai keturunan/anak. Memang pada umumnya, yang telah terjadi, orang merasa puas bila sudah mempunyai anak laki-laki. Ada yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya semuanya lahir perempuan. Kata orang anak laki-laki besar rasa tanggungjawabnya. Sebenarnya anak perempuan juga bisa mempunyai rasa tanggungjawab yang besar, bahkan dalam kenyataannya anak perempuan lebih memperhatikan dan lebih teliti dalam merawat orang tuanya bila sedang menderita sakit. Sudah dijelaskan bahwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo memperlakukan sama pada anak laki-laki maupun anak perempuan serta menantu, hanya saja mengenai pemberian yang berupa barang, harta kekayaan, tanah pekarangan, tanah sawah, perhiasan, terpaksa dibeda-bedakan menurut kondisinya dengan maksud agar yang kekurangan dan rendah pangkatnya, apalagi yang banyak jumlah anggota keluarganya, lebih diperhatikan karena memang kebutuhannya lebih banyak daripada yang lain, sehingga diberikan lebih banyak pula. Ketika mempunyai isteri, Beliau menikah secara Islam. Ketika isteriNya terkena pengaruh saudara-saudaranya ingin dibaptis secara Katolik, ia minta nasehat dan ijin kepada Beliau. Tetapi Beliau tidak mengijinkan dengan memberikan jawaban demikian:”Kalau kamu ingin dibaptis secara Katolik itu memang tumbuh dari kehendak hatimu sendiri, itu terserah kepadamu, tetapi kalau hanya ingin mengikuti keinginan saudara-saudaramu, itu tidak boleh, saya tidak rela, kalau sama-sama mengikuti kan lebih baik mengikuti Aku, sebab Aku ini suamimu dan kamu itu tunggal (satu keyakinan) dengan Aku, Kita ini dengan Agama apa saja cocog, karena sebenarnya wujudnya satu tetapi dianggap berbeda-beda!”

6.    Dalam menentukan pasangan (menjodohkan) anak-anakNya, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo tidak mendasarkan pada kekayaan, pangkat, wajah dan syarat keduniawian lainnya, sedangkan yang menjadi dasar/alasan/pertimbangan utamanya adalah mematuhi perintah Tuhan Allah: siapa yang dikodratkan (menurut kehendak Tuhan Allah) menjadi pasangan (suami/isteri) anak-anakNya, sebab kalau di dalam batinnya sudah dikodratkan menjadi jodohnya, maka di alam keduniawian yang menjalani sama-sama merasa cocog dan puas hatinya, jadi mereka tidak merasa dipaksa, apalagi kalau hanya didorong oleh keinginan nafsu saja. Contohnya seperti pada saat Beliau mengambil menantu Martaasmara yang berasal dari Wonosari, Gunungkidul; Setelah berkali-kali Beliau menyaksikan ayat-ayat yang merupakan perintah dari Tuhan Allah, demikian pula ayat-ayat yang diterima oleh kadang golongan di Gunungkidul, lebih-lebih Martaasmara yang memang sudah katam dan telah menyaksikan sendiri, jadi sudah tidak ada yang dipikirkan lagi kecuali tinggal menunggu saatnya tiba menjadi dewasa dan penentuan hari perkawinan. (Perlu dijelaskan disini mengenai istilah ayat yang digunakan dalam konteks pengamalan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat. Yang dimaksud ayat disini adalah gambaran/kejadian/peristiwa yang disaksikan di alam halus/alam kasuksman/alam sasmita-maya/alam mimpi, yang biasanya sebagai jawaban dari permohonan kita kepada Tuhan Allah  atau seringkali karena cinta kasih dan kemurahan Tuhan Allah, kita diberitahu sesuatu oleh Tuhan Allah meskipun kita tidak memohon sesuatu kepadaNya, contohnya para kadang golongan di atas diberitahu oleh Tuhan Allah bahwa anak perempuan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang bernama Rr. Wening adalah jodoh dari Martaasmara, meskipun mereka tidak memohon keterangan mengenai hal tersebut). Kelanjutan dari ceritera di atas: Oleh karena itu tidak ada lagi pembicaraan yang berhubungan dengan emas kawin, hadiah-hadiah, bawaan (harta) dari calon pengantin laki-laki untuk diberikan kepada calon pengantin wanita sebagai harga beli, lebih-lebih harta benda yang jumlahnya ditentukan sebagaimana yang banyak terjadi (berlaku) pada waktu itu. Lamaran-lamaran dari orang lain sebelum dan yang bersamaan menjelang prosesi pernikahan, yang menurut ukuran duniawi  melebihi (lebih unggul) di segala bidang, namun semuanya ditolak, karena tidak berdasarkan (sesuai dengan) kehendak/perintah Tuhan Allah. Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo kalau memberi perintah tidak dengan kata-kata vulgar, tetapi dengan kiasan untuk melatih ketajaman rasa batin (Jawa: panggraita), kecuali kepada orang yang memang sangat tumpul rasa batinnya, perintah Beliau baru diberikan dengan kata-kata vulgar (apa adanya). Sebelum Martaasmara secara resmi menyuruh orang untuk melamar, ia menjajagi lebih dahulu dengan menyuruh orang untuk mengantar surat yang isinya meminta benih pohon Kemiri.  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mengerti/paham mengenai maksud surat tersebut, oleh karena itu Beliau menjawab dengan kata-kata sebagai berikut:”Bersama surat ini Saya mengirimkan benih pohon Kemiri, selain itu Saya mempunyai benih bunga Mandalika, sedang mekar-mekarnya, Saya kira sangat baik dan cocog untuk ditanam di Gunungkidul, pasti akan berkembang biak dan benihnya akan banyak yang tumbuh. Kalau sekiranya anak guru menginginkannya, Saya persilahkan menyuruh orang untuk mengambilnya daripada hanya selalu menginginkannya dalam hati saja!” Setelah ada perintah seperti itu, kadang golongan di Gunungkidul sudah tidak ragu-ragu lagi, kemudian menindaklanjutinya sampai pada akhirnya Martaasmara terlaksana menikah dengan Rr. Wening, hidup rukun untuk seterusnya dan mempunyai anak yang banyak.

7.    Kadang golongan yang jumlahnya banyak itu pada mulanya disebut O.M.M. singkatan dari Oemat Muhammad Muntilan, yang dimaksud bukan umat Muhammad yang berada di Muntilan, karena di Muntilan sendiri  jumlah kadang golongan tidak seberapa banyak, bahkan  kadang golongan yang banyak  jumlahnya berada di luar Muntilan. Sedangkan yang dimaksud itu terutama adalah bahwa di Muntilan itu ada penjelmaan/reinkarnasi dari Nabi Muhammad yaitu Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Selanjutnya O.M.M. itu diartikan sebagai Oemat Muhammad Manunggal, yang mempunyai pengertian sebagai anjuran supaya bersatu padu, menyatukan kehendak dan upaya, karena di alam batin kenyataannya mempunyai asal yang sama. Karena adanya kadang golongan yang berasal dari Agama Katolik dan Kristen Protestan yang mana mereka tidak setuju setiap kali digunakannya kata Muhammad, maka kemudian O.M.M. menjadi singkatan dari Oemat Marsudi Makrifat, karena pada kenyataannya  kadang golongan mendasarkan kepercayaan dan keyakinan dengan penglihatan batinnya (makrifat), yaitu terbukanya mata batin yang dapat melihat keadaan Alam Halus/Alam Kasuksman/Alam Sasmita-maya. Dari kalangan yang terpelajar, timbul rasa tanggungjawabnya supaya Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat dapat disebar-luaskan dengan mudah dan menjaga apabila ada halangan/hambatan dapat segera diatasi dan diselesaikan, maka dirasa perlu adanya  perkumpulan  kadang golongan, dan juga terlaksana mendirikan perkumpulan yang diberi nama P.O.M.M. singkatan dari Perkumpulan Oemat Marsudi Makrifat, sedangkan pengurusnya  terdiri dari S.M.H. Sirwoko, Martaradana, Martawijogho, Martosoewito, dan sebagainya. Hingga beberapa waktu lamanya, P.O.M.M. dapat tersebar di daerah Kedu, Sleman, Yogyakarta dan lebih-lebih di Gunungkidul sampai tiba saatnya diwujudkan organisasi lain yang selalu disesuaikan dengan kebutuhan kadang golongan.




BAB  XII
KADANG GOLONGAN  (O.M.M.)  MENJELANG TERJADINYA PERANG DUNIA KEDUA DAN PADA MASA  PENJAJAHAN  JEPANG

1.      Setelah kadang golongan memiliki perkumpulan yang diberi nama   P.O.M.M. semakin memudahkan penyebaran Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat. Jika suatu saat ada hal-hal yang berkaitan dengan urusan O.M.M. cukup diselesaikan oleh pengurus P.O.M.M. Demikian juga jika ada ide/pendapat apa saja yang berhubungan dengan upaya yang dapat membuat lebih eratnya hubungan dan  kedekatan hati, meningkatkan  kerukunan kadang golongan, juga untuk mendidik agar semakin setia, hormat dan mencintai Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, semua itu ditindaklanjuti/diwujudkan oleh pengurus P.O.M.M. dengan cara misalnya: mengadakan sarasehan, menyanyikan/melagukan gendhing dengan iringan gamelan, menggubah ceritera wayang yang sewaktu-waktu dipertunjukkan dalam pagelaran wayang kulit kepada para kadang golongan maupun masyarakat lainnya yang membuat semakin bertambah banyaknya kadang golongan. Sedangkan maksud melakukan gubahan-gubahan ceritera wayang yang baru tersebut selain sebagai alat untuk menyebarkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat, yang paling penting (terutama) adalah sebagai berikut:
a.      Gendhing Tri Asmara Tunggal digubah dari Puji Langgeng, yaitu pujian untuk memohon kepada Tuhan Allah sewaktu mengalami kesusahan dalam wujud apa saja (misalnya: anak sakit kepala, hati merasa tidak tenteram karena hidup dalam kekurangan, dan sebagainya), bahkan kalau puji langgeng ini diucapkan di Alam Halus/Alam Kasuksman, membuat kita selamat dari gangguan jim/setan, karena jim/setan tersebut tidak dapat melihat orang yang mengucapkan/melafalkan puji langgeng.
b.      Gendhing Tri Pusara Mudha, dengan intro sinom yang pada mulanya digubah dari ajian penolak bala, yang sering dilakukan oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo.
c.       Gubahan wayang Srikandhi racut memberi tanda/indikasi kepada masyarakat akan terjadinya perang dunia kedua: Ratu Belanda Wilhelmina meninggalkan kerajaan. Ceritera Guru ketahuan rahasianya (Lakon Guru Kawiyak) menggambarkan bahwa Jepang yang menjajah dengan menyatakan maksud untuk mendidik/mengajari, tetapi sebenarnya hanya untuk mengumbar angkara murkanya, yang pada akhir ceritera akan ketahuan maksud busuknya tersebut.
d.      Selain gubahan-gubahan diatas, masih banyak lagi gubahan lainnya yang berhubungan dengan seni suara, seni karawitan dan seni pedalangan.
2.      Menjelang runtuhnya Pemerintah Belanda, S.M.H. Sirwoko menerbitkan buku yang berjudul "Garan Pusaka Batin"(Pegangan Pusaka Batin) yang memperjelas maksud dan tujuan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat yang dibawa oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewigno, dan dasar-dasar cara mempelajari dan mengamalkannya, sedangkan Martowiyogho membuat buku “Kunci Pusaka Batin” yang menguraikan mengenai cara-cara mencapai Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat, hafalan-hafalan, doa-doa, pujian-pujian yang digunakan menurut perintah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo pada saat itu. Kedua buku tersebut dicetak sebagai pegangan bagi kadang golongan, diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Dengan adanya kedua buku tersebut, tentu saja banyak-sedikitnya membuat semakin luasnya jangkauan penyebaran Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat, karena bagi orang yang jauh tempat tinggalnya dan sulit hubungannya, dapat memahami/mengerti/mengetahui melalui kedua buku tersebut. Demikian juga bagi O.M.M. yang mempelajari dan melaksanakan Ilmu Tuhan Allah, dapat diketahui oleh masyarakat apakah hal itu bermanfaat atau merugikan masyarakat. Tentu saja diusahakan agar tidak akan merugikan atau mengganggu ketenteraman masyarakat.

3.      Menjelang datangnya bala tentara Jepang di tanah Jawa, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo memerintahkan agar mencari Juru Selamat. Kadang golongan sudah menyimak (melihat tanda-tanda) akan datangnya bahaya. Oleh karena itu mereka semua melakukan tapa brata (mengekang hawa nafsu dengan cara berpuasa: pantang garam, tidak makan dan tidak minum, melakukan tindakan terpuji dan sebagainya). Benarlah tanda-tanda itu, segera terjadi perang yang merembet ke tanah Jawa, Indonesia. Belanda kalah dan diusir oleh Jepang. Maka Jepang yang ganti menjadi penguasa di Indonesia. Ketika bala tentara Jepang datang di Muntilan, tidak ada orang yang berani menemui mereka, karena tidak tahu bahasa dan maksud Jepang datang ke Indonesia, padahal Jepang terkenal kekejamannya suka menyiksa orang. Pada waktu itu, karena desakan para pejabat di Muntilan, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dimohon untuk menemui bala tentara Jepang yang baru saja datang. Beliau menyanggupi dan disertai/diikuti oleh orang banyak. Beliau tidak tahu bahasanya, tetapi mengerti maksud hati mereka, karena sudah tahu batin mereka dan gerak hati mereka, ibarat dijadikan juru bahasa/penterjemah untuk menerima/menangkap percakapan si Jepang tadi. Pemerintah Jepang sangat menaruh perhatian pada O.M.M maupun P.O.M.M., buktinya S.M.H. Sirwoko dan Martaradana berkali-kali dipanggil oleh Kantor Kepolisian, Kantor Kempe Tai dan juga oleh Kantor Kochi, untuk mengurus masalah organisasi keagamaan ini. Malah terjadi, Abdul Munian Inada, pejabat tinggi Kantor Urusan Agama Pusat Jakarta menyempatkan diri datang di Semanu untuk mengurus masalah ini dengan  S.M.H. Sirwoko, tetapi karena sebelumnya telah menerima perintah dari Tuhan Allah agar menghindari bertemu dengan Abdul Munian Inada, maka niat Abdul Munian Inada tidak dapat terpenuhi, karena S.M.H. Sirwoko bersembunyi di perbukitan yang jauh dari tempat tinggalnya di Semanu, dan meninggalkan pesan bahwa dirinya pergi ke kota dan entah kapan akan kembali. Semua kadang golongan baik laki-laki maupun perempuan, baik tua maupun muda, semuanya taat kepada pemimpinnya, lebih-lebih kepada Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo tidak berani membangkang sedikitpun. Pernah suatu saat S.M.H. Sirwoko menganjurkan kepada para pemuda O.M.M yang masih bujangan supaya menunda sementara waktu dulu untuk melaksanakan perkawinan. Anjuran yang sangat berat tersebut juga diperhatikan, meskipun masih ada satu dua orang yang melaksanakan perkawinan, tidak mentaati anjuran tersebut. Maksud dan tujuan diberikannya anjuran itu, kalau sudah tiba tahun yang ditentukan, para pemuda akan mengerti sendiri apa yang terjadi. Pemerintah Jepang hanya selalu bertindak sewenang-wenang, menjadi rintangan bagi O.M.M untuk memperluas penyebaran Ilmu Tuhan Allah. Pertemuan-pertemuan orang banyak (massa) dibatasi dan dilarang, organisasi yang tidak disukai Pemerintah Jepang dibubarkan, secara terus menerus mengawasi dan tidak memberikan kebebasan bagi para pemimpin perkumpulan. Oleh karena itu kadang golongan secara fisik kelihatannya setia kepada Pemerintah Jepang, sebab tidak dapat saling berkumpul di antara para kadang golongan, kalau ingin pergi menghadap Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di Muntilan dilakukan secara bergilir sedikit-sedikit, tidak berani bersamaan dengan banyak orang. Sebelum terjadinya kelangkaan dan mahalnya harga bahan makanan, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo sudah memberikan gambaran/sinyal/tanda: Beliau mengenakan pakaian yang sudah lusuh, sobek disana-sini, makan nasi thiwul (nasi yang terbuat dari tepung singkong) yang sebelumnya tidak/belum pernah Beliau memakannya. Pemberian tanda/gambaran tersebut dilakukan pada saat Beliau pergi ke Gunungkidul, tinggal di rumah Poedjosoewito, di desa Jeruk, Wonosari. Demikian juga menjelang runtuhnya Pemerintah Jerman dan sekutunya, kematian Hitler, Beliau sudah mengetahui lebih dulu dan memberikan berbagai sinyal/tanda/gambaran yang disaksikan oleh kadang golongan. Pada saat meninggalnya Hitler, anjing Herder kesayangan Beliau mati.

4.      Di antara murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, tidak sedikit yang berasal dari bangsawan (ningrat), yaitu keturunan bangsawan dari Kerajaan Yogyakarta. Khusus kepada murid-murid yang berasal dari bangsawan, Beliau memerintahkan:”Eyang kalian Yang Mulia Sultan Agung Mataram yang dikuburkan di Pemakaman Imogiri, itu suksmanya sekarang masih ada dan dapat dicari/ditemui. Suksma itu tidak bisa mati, hidup abadi/langgeng, abadi/langgeng itu artinya: dulu pernah ada, apalagi sekarang masih ada, dan selanjutnya akan selalu saja ada. Maka saya minta kalian untuk mencarinya, mohonlah kepada Tuhan Allah, Saya tanggung pasti dapat bertemu. Itu selama   kalian percaya dan melaksanakan apa yang Saya katakan, caranya dengan selalu bertindak dan berkarakter suci. Kalau kata Saya ini bohong, saya mau digantung di lapangan utara sampai mati dan biarkan saja sampai tulang-belulang saya berjatuhan!” Perintah yang disampaikan dengan penuh percaya diri tersebut membuat murid-murid dari kalangan bangsawan tambah tekun untuk membuktikan kebenarannya. Setelah murid-murid mendapatkan dan melihat sendiri bukti nyata (kenyataan) bahwa yang dicari adalah Beliau (Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo) kemudian mereka menganggapNya sebagai orang tua dan sangat menghormati dan menyayangi Beliau secara lahir dan batin. Meskipun demikian karena kedudukan mereka sangat tinggi di masyarakat, sangat berbeda dengan kadang golongan umumnya, maka dapat dikatakan bahwa mereka tidak mempunyai hubungan (berhubungan) dengan  kadang golongan. Hanya dengan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo saja mereka berhubungan/bergaul. Biasanya mereka menghadap Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di Muntilan hanya pada saat mereka menghadapai masalah atau menginginkan sesuatu entah itu masalah kesehatan, menginginkan kenaikan pangkat atau menginginkan jabatan tertentu dan lain-lainnya.  Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo selalu membuat kelegaan hati dan tidak mau mengecewakan kepada siapa saya yang memohon pertolongan kepada Beliau. Memang sudah semestinya bahwa bagi orang yang telah menyaksikan dan mengerti dengan penglihatan batinnya menyatakan bahwa Beliau memang manusia istimewa yang berbeda dengan manusia lainnya, lebih-lebih bila dihubungkan dengan Wahyu yang kedua yaitu wahyu utusan, jelas bahwa Beliau memang memiliki bagian/peranan.

5.      Seperti ketika pada jaman penjajahan Belanda, Jepang juga tidak mengganggu  Beliau, bahkan kepala pemerintahan karesidenan Kedu pada waktu itu memberikan surat keterangan yang membuktikan (menerangkan) bahwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo adalah tetuwa (pelindung dan penasehat) O.M.M. dan mengajarkan ilmu suci. Sudah barang tentu, keluarnya surat keterangan tersebut berdasarkan laporan dari pejabat pemerintah yang pada umumnya mengasihi Beliau. Rasa kasih tersebut timbul karena para pejabat telah menyaksikan sendiri bahwa Beliau selalu melaksanakan dengan tuntas (memenuhi) tuga-tugas Beliau sebagai Carik Desa secara bertanggungjawab, selalu bertindak jujur dan suka menolong orang lain, siapa saja tidak pandang bulu. Kepada orang-orang yang memohon doa restu agar memperoleh kenaikan jabatan, Beliau memerintahkan demikian:”Saya persilahkan untuk memohon sendiri saja kepada Tuhan Allah, setiap akan pergi tidur, mohon bertemu dengan Yang Menguasai Jabatan, segala macam jabatan yang ada di dunia ini, jika bisa bertemu, maka jabatan yang dimohonkan pasti akan diperoleh, Saya yang tanggung!” Kenyataannya, siapa saja yang bertemu dengan Suksma Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di Alam Mimpi/Alam Halus, bertemu wujud aseliNya (Jawa: walaka) dan berpakaian lengkap, wajar dan rapi, semuanya memperoleh jabatan atau memperoleh kenaikan jabatan sebagaimana yang dimohonkan. Hal itu menimbulkan kekaguman dan keheranan, yang menjadikan mereka tambah cinta dan kasih kepada Beliau. Sayangnya mereka hanya mencari keuntungan duniawi, bahkan setelah keinginannya tercapai/terkabul, mereka banyak yang lupa kepada Beliau. Memang tidak mengherankan, karena sebagian besar orang hanya mementingkan masalah keduniawian, ada yang dibela-belain dengan melaksanakan tapa brata, menyepi di kuburan dan di goa-goa, bahkan ada yang meminta bantuan jin/setan supaya bisa kaya-raya, dan ada yang hanya dengan giat bekerja secara wajar menurut bakat dan keahliannya, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semua orang menghendaki, kalau bisa, di dunia dapat hidup dengan enak, kesampaian apapun yang dikehendakinya, mempunyai jabatan yang tinggi, kaya raya melimpah hartanya. Biasanya orang yang kaya raya melupakan (lupa akan) kebutuhan suksmanya, sebagai bekal mencapai mati yang benar (sempurna).  Memang hidup di dunia ini tidak mudah, kalau bisa harus ingat kebutuhan suksma, jangan hanya melulu untuk kebutuhan raga/duniawi, harus dapat membagi: untuk kebutuhan suksma sebanyak 50% dan untuk kebutuhan raga/duniawi juga sebanyak 50%, lebih baik lagi kalau untuk kebutuhan suksma diberi porsi yang lebih banyak misalnya 75%, tetapi kalau tidak bisa 50%-50% sudah baik.
Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo lahir di dunia ini membawa Ilmu Tuhan Allah yang sangat berguna sebagai bekal suksma pada saat raganya sudah mati. Oleh karena itu orang yang sudah dapat mencapai katam Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat itu dapat dikatakan sebagai orang yang sangat beruntung, karena dapat dipergunakan (bermanfaat) untuk selama-lamanya, yaitu: setelah meninggal dunia, dapat untuk menentukan hidup dikemudian hari (saat reinkarnasi).







BAB  XIII
KADANG GOLONGAN PADA JAMAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA


1.      Suasana hati kadang golongan tidak jauh berbeda dengan orang lainnya, senangnya bukan main (tidak dapat digambarkan) setelah Jepang kalah perang dan Indonesia menjadi negara yang merdeka, yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengenai kemerdekaan negara, kadang golongan juga ikut andil, ikut membantu sekuat tenaga, mengerahkan segala tenaga dan upaya menurut kemampuan masing-masing. Para pemudanya ikut melawan tentara sekutu yang mendarat, para orang tua ikut memohon dengan cara kebatinan, serta memberikan syarat/sarana lainnya, demikian juga ada yang ikut rombongan para kyai yang ditempatkan dalam asrama oleh prakarsa pemerintah Republik Indonesia. Bertempat di Ambarukma, Yogyakarta, lamanya sampai dua puluh satu hari. Kadang golongan yang ikut ditempatkan di asrama yaitu:  1) Martosuwito, 2) KRT Suryaningrat, bupati Gunungkidul, 3) Poedjosoewito, 4) Martaradana, dan 5) Harjasanjaya. Pengurus P.O.M.M. juga bekerjasama dan bersama-sama organisasi lainnya ikut memperkuat berdirinya negara Republik Indonesia dengan cara apapun yang dapat mereka lakukan. Ketika K.N.I.  (Komite Nasional Indonesia) dibentuk di Gunungkidul, wakil P.O.M.M. ikut jadi anggotanya. Di hari-hari itu, Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo banyak dimintai syarat oleh para pemuda yang akan menghadapi musuh. Pada saat itu ada syarat  berupa cemeti yang terbukti besar daya pengaruhnya, itu adalah syarat yang diterima oleh kadang golongan yang ikut ditempatkan di asrama bersama-sama dengan para Kyai dari Yogyakarta di Ambarukma tersebut. Ketika Magelang diduduki oleh tentara sekutu (Gurka), Beliau diminta untuk membantu agar Gurka mundur dan pergi dari Magelang, Beliau menyanggupi, asal diantar sampai di lapangan Magelang. Pada waktu itu tidak ada kendaraan, seandainya ada ya hanya kereta kuda (andong/dokar), itu saja sangat jarang yang berani mengantar. Oleh karenanya, Beliau diantar sendiri oleh camat Muntilan, namanya Budiman, dengan mengendarai kereta kuda yang dikemudikan sendiri oleh camat Budiman.  Di sepanjang perjalanan sering dihentikan, disuruh kembali oleh aparat keamanan, tetapi tetap dapat jalan terus dengan menunjukkan surat tugas yang sangat penting, pada waktu itu serangan oleh Gurka sudah dimulai, suara meriyam dan senjata terdengar dimana-mana, suasananya sangat menakutkan. Beliau dan camat Muntilan tetap berjalan terus tanpa rasa takut hingga sampai di lapangan Magelang. Beliau turun dari kereta kuda, membuang tumbal, serta bersemedi, memusatkan seluruh pikiran, perhatian, lahir dan batin (Jawa: petak tiwikrama). Seketika datang mendung tebal, gelap gulita, halilintar menyambar-nyambar, kilat datang berseliweran dan turun hujan yang luar biasa deras, yang menjadikan Gurka merasa sangat takut (ketakutan) sehingga mundur dan pergi dari Magelang ke utara ke arah Semarang. Setelah pulang, sampai di rumah, Beliau ditanyai oleh anak cucuNya dan dijawab:”Bukan Saya yang bisa mengusir Gurka pergi dari Magelang, itu lho para pemuda yang sangat bersemangat, berani dan berkeinginan kuat, memiliki pengaruh yang dapat mendatangkan hujan dan halilintar, sehingga Gurka ketakutan dan akhirnya pergi dari Magelang!” Anak-anak Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo sendiri ada dua yang selalu ikut menyerang mengusir musuh, tentu saja mendapat/memperoleh tumbal yang selalu membuat keselamatan mereka terjaga, meskipun kadangkala menghadapi situasi yang sangat mengkhawatirkan dan membahayakan/mengancam keselamatan jiwa mereka.

2.      Kemerdekaan Republik Indonesia membuat lega hati orang-orang yang senang berorganisasi, senang mengadakan rapat-rapat dan sebagainya. P.O.M.M. yang sudah lama, yaitu sejak jaman Jepang, tidak dapat melakukan kegiatannya, kembali bergairah lagi, kadang golongan mulai berkumpul bersama dan saling mengunjungi, sambil mengisi suasana kemerdekaan. Hari raya Rabu Pahing, Jum’at Kliwon, Jum’at Pon, yaitu  hari raya kelahiran Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, hari raya  menerima Wahyu Pertama dan Wahyu Kedua, digunakan untuk berkumpul  dan mengadakan rapat. Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo berkenan hadir di tempat kadang golongan di Temanggung, Batang, Tempel, Godeyan dan Gunungkidul. Pada waktu itu Gunungkidul sedang terkena wabah penyakit pest yang sangat mengerikan, kematian jumlahnya tidak terhitung setiap harinya, padahal 110 (seratus sepuluh) hari sebelum terjangkitnya wabah penyakit pest tersebut, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo sudah memberi peringatan  sebagai berikut:”Gunungkidul terlihat gelap gulita, agar mencari Juru Selamat, yang tidak bisa bertemu pasti akan meninggal!” Satu dua (beberapa)  kadang golongan ada yang tidak mencari Juru Selamat, sehingga terjangkit penyakit pest dan akhirnya meninggal dunia. Tetapi sebagian besar kadang golongan mencari Juru Selamat, sehingga tidak terjangkit penyakit pest dan selamat, lebih-lebih bagi mereka yang dapat bertemu dengan Juru Selamat di Alam Halus/Alam Kasuksman. Banyak juga kadang golongan yang terjangkit penyakit pest, tetapi setelah diberi tumbal oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yaitu: diperintahkan supaya memasak tulang kerbau yang sudah sangat tua dan mati karena tua (Jawa: kebo landoh) dan menanam pohon Puring di halaman di depan pintu rumah, mereka yang sakit segera sembuh. Pada waktu itu, kadang golongan rajin dan bersemangat, ingat tujuannya, demikian juga semakin tambah banyak  murid-murid baru, karena mereka sangat ketakutan pada banyaknya terjadi kematian dan mereka menyaksikan sendiri akan keselamatan para kadang golongan serta kebenaran tentang apa yang dikatakan dan diramalkan oleh  kadang golongan, misalnya: disana akan ada kematian, jin/penyakit pest sekarang pindah kesana, desa disana itu pasti terserang wabah penyakit pest, yang sakit parah di rumah itu pasti selamat (tidak akan sampai mati) dan segera sembuh, karena dapat bertemu dengan Juru Selamat dan Juru Selamat tinggal disana. Demikian ramalan dan pembicaraan para kadang golongan jika sedang berkumpul, mereka saling mencocokkan ayat (perintah) yang baru mereka terima dari Tuhan Allah. Tertarik pada ramalan dan pembicaraan  kadang golongan tersebut, kemudian ada tambahan murid baru yaitu Darmawasita, yang selanjutnya ikut belajar dan menjadi  kadang golongan. Karena kebijaksanaan yang menuntun (penyuluh) yaitu Martasuwita di Semanu, lagi pula karena kesungguhan hati untuk meraih apa yang ingin dicapainya membuat semuanya lancar, sehingga dalam beberapa hari saja dapat mencapai katam (bertemu Wujud dan menyaksikan sendiri Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat). Sedangkan hal  utama yang harus  dilakukan adalah setia dan percaya sepenuh hati, segenap jiwa dan dengan seluruh akal budi bahwa Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat ini benar-benar nyata (riil)  dan bermanfaat bagi manusia. Untuk selanjutnya Darmawasita bersedia membela dan ikut menyebar-luaskan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat. Kehadiran Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di Gunungkidul pada waktu itu memberikan peringatan dan memarahi kadang golongan, lebih-lebih pemimpin-pemimpinnya, karena menganjurkan pemberantasan penyakit pest hanya dengan mendasarkan pengetahuan  keduniawian saja, tidak memperhatikan masalah batin. Bagi ahli kebatinan/kemakrifatan, lebih dahulu harus memohon kepada Tuhan dengan sarana batin, setelah itu baru berupaya secara lahir (fisik). Setelah memarahi kadang golongan dan para pemimpinnya, Beliau memberi tumbal agar penyebaran wabah penyakit pest dapat segera berakhir, yang memang menjadikan segera berhentinya penyebaran wabah penyakit pest di Gunungkidul. Bagi kadang golongan sebenarnya kemarahan yang diterima dari Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo itu merupakan anugerah yang sangat besar, dimarahi berarti masih dicintai oleh Beliau yang akan memberikan keselamatan di waktu yang akan datang. Beliau juga memberikan nasehat/petuah yang berhubungan dengan kemerdekaan negara Republik Indonesia kaitannya dengan tugas dan kewajiban yang diembanNya. Beliau berkata demikian:”Negara kita menggunakan dasar ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kita semua ini sudah menyaksikan secara lahir maupun batin adaNya sesembahan yang Maha Tunggal, dan kita benar-benar dapat menyaksikan kebenaranNya! Bung Karno (presiden RI) dan pengikutnya, termasuk juga Saya, semuanya mempunyai negara sendiri yang sudah merdeka. Anak cucuKu harus membantu negaranya sendiri, Kalau Saya sendiri sih dengan siapapun cocok saja asal sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu memperhatikan dan mengurus kepentingan orang banyak, sehingga dicintai oleh masyarakat. Merdeka berarti tidak mau dijajah secara lahir maupun batin. Secara lahir berarti tidak mau dijajah oleh Belanda atau oleh siapapun juga; Tidak mau dijajah secara batin berarti tidak mau dijajah oleh Hawa Nafsu (Nyawa)-nya. Siapa yang tahu penjajah batin/suksma, kecuali hanya murid-muridKu yang sudah pada melihat/menyaksikan sendiri?”.

3.       Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang membuat kadang golongan sangat puas karena menggunakan dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan demokrasi, sebagaimana disebutkan dalam Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Hal itu bukan berarti bahwa terhadap dasar yang lain (keempat sila yang lain) kadang golongan tidak mendukung, melainkan yang dianggap paling penting adalah sila yang pertama. Kalau dipahami secara lebih luas lagi, dasar Ke-Tuhanan Yang Maha Esa itu mencakup segalanya, lebih-lebih mengenai peri-kemanusiaan. Demokrasi yaitu yang memberikan kebebasan kepada semua orang untuk menyatakan/mempunyai pendapat, mempunyai faham, kepercayaan, agama dan keyakinan, demikian juga memberi hak-wewenang yang sama dalam segala hal. Demokrasi dalam hal penghidupan dan kedudukan yang sama dalam masyarakat itu adalah wujud nyata dari  keadilan sosial yang juga merupakan salah satu sila dari Pancasila. Sedangkan mengenai kebangsaan yang merupakan dasar lainnya lagi juga tidak bertentangan dengan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, sebab sebelum perikemanusiaan dapat terwujud secara sempurna harus didasari lebih dahulu oleh kebangsaan, seperti halnya orang bisa mencintai sesama, kalau dia sudah bisa mencintai orang tua dan anak isterinya. Sebaliknya memuja-muja secara berlebihan kepada bangsanya sendiri yang berarti mengurangi rasa hormat kepada bangsa lain, itu juga tidak baik.   

4.      Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo sering mengatakan bahwa semenjak dunia diciptakan hingga seterusnya, manusia itu ada yang percaya dan setia kepada Tuhan Allah, ada yang tidak percaya, hal itu dikuatkan oleh adanya Wahyu Kedua, sudah dijelaskan yang menjadi makanan dan jajahan Wahyu Sejatining Kakung/Putri, yang berarti siapa yang ikut Tuhan Allah dan siapa yang hanya terhenti di Alam hawa nafsu (tempat dari Wahyu Sejatining Kakung/Putri). Mengenai hal itu ke-Tuhanan Yang Maha Esa tidak berarti memaksa kepada kepercayaan yang tidak seperti itu, demikian juga kepada yang tanpa kerpercayaan sama sekali, karena yang sebenarnya tiap-tiap orang itu sudah memiliki kodratnya masing-masing, dan selanjutnya menjadi tanggungjawab pribadi masing-masing orang kepada Tuhan Allah mulai dari alam duniawi sampai dengan  Alam Abadi. Sedangkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat disebar-luaskan dengan mendasarkan pada keyakinan mencari tunggal, yang lupa diingatkan, yang ketiduran didorong supaya bersemangat, tentu saja tidak boleh dipaksa, harus tumbuh dari kesadaran dan kehendak/gerak hatinya sendiri yang paling dalam, sekalipun menyebar-luaskannya di daerah/negara yang tidak berdasarkan demokrasi. Beliau memerintahkan kepada murid-muridNya supaya bertanya memohon kepada Tuhan Allah siapa yang sebenarnya menata/mengatur alam semesta (Jawa: jagad) dan seluruh isinya ini, kejadian/peristiwa yang beraneka ragam itu sebenarnya berasal dari pengaruh/kekuatan siapa?. Saya tidak masuk partai apapun, tetapi Saya ini menjadi pembela dari orang miskin, orang sakit, dan yang menderita kesusahan lainnya, hingga orang yang terbujuk dan ikut jin/ijajil saja saya bela, itu kalau mereka percaya dan mau menuruti perintah Saya. 

5.      Anak sulung dari Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo bernama R.B. Dwijosubroto adalah pemeluk agama Katolik yang setia, pekerjaannya sebagai guru sekolah lanjutan. Ketika masih bekerja di kota Malang, Jawa Timur, temannya yang juga beragama Katolik mendapatkan masalah/kesulitan yaitu rumahnya sering diganggu jin/makhluk halus, yang sangat mengganggu ketenteraman keluarganya, meskipun tidak menimbulkan kerugian dan kesusahan yang besar. Pikirannya bingung dan tidak dapat berpikir lagi karena sering menghadapi kejadian-kejadian yang tidak masuk akal: ketika sedang tidur tiba-tiba sudah beralih/berpindah tempat, ada suara orang:”permisi” dan ketukan pintu, tetapi setelah dibukakan pintu ternyata tidak ada orang di luar, sering terbangun di tengah malam dengan hati cemas seperti ada pencuri yang masuk rumah, padahal barang-barangnya tidak ada yang hilang. Untuk mengatasi masalah tersebut sudah diusahakan secara lahir maupun batin, tetapi tetap tidak membawa hasil yang menjadikan semakin tidak tenteramnya mendiami rumah tersebut. R.B. Dwijosubroto memohonkan pertolongan kepada Ayahnya, di dalam batinnya/hatinya sekalian mencoba kemampuan Ayahandanya apakah bisa mengatasi masalah tersebut, karena orang banyak menganggap Beliau sebagai Kyai yang benar-benar Kyai, hingga menjadi terkenal. Ayahandanya memerintahkan supaya diberi sesaji Jajan Pasar (makanan kecil yang biasa dijual di pasar), setiap harinya harus diganti selama satu minggu. Setelah perintah Beliau dilaksanakan, rumah tersebut selanjutnya dapat dihuni lagi dengan baik, dapat hidup dengan tenteram tanpa diganggu oleh jin/makhluk halus lagi. Sudah barang tentu hal itu membuat R.B. Dwijosubroto  dan  temannya takjub dan merasa senang.

6.      Selain itu  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo sering bertindak aneh, lebih-lebih bagi orang yang tidak mengerti Alam Batin, yang tidak bisa melihat dengan mata batin. Pernah Beliau memberikan syarat yaitu berupa: katak pohon (Jawa: bencok) yang diikat dengan tali kemudian dibuang di lapangan Yogyakarta, merendam tembakau enak ke dalam air kemudian disebar di jalan raya, anjing Herder kesayangan Beliau digantung, mencari ayam jantan (jago) yang kedua matanya buta untuk diadu, dan sebagainya, yang sebenarnya, semua ini dilakukan untuk tujuan yang sangat penting. Demikian juga bila memberi obat atau tumbal seringkali  bila dicocokkan dengan pengetahuan duniawi/logika sangat jauh selisihnya, orang yang sudah sakit parah, yang sudah kebal dengan obat, sudah ditolak oleh dokter-dokter, dukun-dukun, banyak yang sembuh karena pertolongan Beliau, padahal obat yang diberikan wujudnya aneh-aneh, ada yang hanya disuruh menanam pohon singkong, menanam pohon ubi, menanam pohon tebu. Ada yang disuruh mengunjungi kuburan ibunya, disuruh memelihara  burung, disuruh memelihara ayam jantan/jago yang warnanya sudah ditentukan. Ada yang menurut dokter harus dioperasi, tetapi dengan tanpa operasi dapat sembuh, yaitu disuruh membelah ikan wader berwarna merah kemudian digoreng.

7.      Ketika sedang gegap gempita jalannya revolusi kemerdekaan, perang di kota Semarang sedang berkobar sangat dahsyat, lurah kampung Kintelan, Semarang, mengungsi ke kota Yogyakarta. Ketika secara kebetulan sedang bersilaturahmi di rumah Pawirodikrama, yaitu kadang golongan yang bertempat tinggal di kampung Jambu, melihat foto Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang dipasang di dinding rumah sebagai penghormatan dan pengingat, bila melihat fotoNya kemudian ingat kepada Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Lurah kampung Kintelan tersebut selalu memandang foto tersebut tanpa berkedip, kelihatan sekali rasa ketertarikannya, dan nampaknya sambil mencocokkan mimpinya ketika melihatNya, kemudian ia bertanya:”Foto siapa ini mas, disumpahpun saya mau, bahwa Beliaulah yang saya saksikan dalam mimpi sedang menyiksa Hitler. Waktu itu menjelang runtuhnya Jerman!” Kemudian dijelaskan bahwa Beliau adalah Guru kadang golongan O.M.M. Kemudian ia menyatakan:”Kalau masih hidup dan diperkenankan, saya ingin ikut berguru, tetapi kalau tidak, saya hanya ingin menemui Beliau saja, karena kalau bisa melihat Beliau saja sudah merupakan keberuntungan bagi saya!” Kemudian ia minta diantar untuk menghadap. Akhirnya terlaksana, ia dapat menghadap Beliau, selanjutnya belajar sampai katam. Sayangnya belum sampai membalas budi ikut menyebarkan Ilmu Tuhan Allah, beberapa bulan kemudian ia mendahului meninggal dunia.


***A***



BAB  XIV
AGRESI BELANDA KEDUA TANGGAL 19 DESEMBER 1948
PERANG YANG TERJADI KARENA ADANYA SERANGAN DARI SERDADU BELANDA


1.  Rama Panutan memberi perintah agar memohon keterangan dari Tuhan Allah: apa yang akan terjadi dalam waktu empat puluh hari ke depan? Kemudian disusul perintah lainnya lagi: sebelas hari lagi akan ada kejadian apa? Dan supaya kuat pikirannya, agar mencari Juru Selamat (Istilah mencari dalam konteks ini berarti: memohon kepada Tuhan Allah untuk bertemu dengan Juru Selamat). Apa yang diperintahkan Rama Panutan benar-benar terjadi, para ketua kelompok di Gunungkidul, Yogyakarta, Sleman dan Kedhu, termasuk juga anak menantu Panutan yaitu Martaasmara ditahan oleh pemerintah waktu itu. Ketika berperang melawan Belanda, Rama Panutan dikabarkan telah ditangkap dan dibunuh oleh aparat pemerintah, yang menjadikan anak cucu  dan para murid Beliau bingung dan merasa sangat sedih, sehingga ada yang berusaha menghadap dan membuktikan kebenaran berita tersebut, setelah mengetahui bahwa Beliau masih hidup, mereka bertangisan karena begitu gembiranya. Beliau juga mendengar berita bahwa ada beberapa muridNya yang ditahan oleh Belanda. Waktu itu hubungan telpon antara Yogyakarta dengan Muntilan putus. Pada pagi harinya, camat Muntilan sudah terlanjut mengadakan rapat Pamong Praja yang dihadiri oleh Bupati Magelang, wakil camat, lurah dan carik se kecamatan Muntilan. Panutan juga hadir, karena Beliau menjabat sebagai carik desa Jagalan. Semua pada tidak tahu keadaan di Yogyakarta, kecuali hanya Panutan sendiri yang sudah mengetahui. Oleh karena itu Panutan (carik desa Jagalan) mengatakan:”Rapat ini akan membicarakan apa? Saya memberitahu bahwa Yogyakarta sudah diduduki oleh Belanda, Bung Karno dan Bung Hatta sudah dibawa, saya akan mengungsi, nanti siang Belanda akan kesini, silahkan saja kalau akan melanjutkan rapat!”Kemudian Panutan pulang ke rumah, rapat dibubarkan, karena mereka percaya kepada Beliau, sudah mengamati puluhan tahun lamanya. Untuk menenteramkan anak cucuNya, dan agar jangan sampai ada anggapan yang bermacam-macam dari para pemuda dan alat-alat kekuasaan negara, Panutan sekeluarga pada mulanya mengungsi ke desa Keron, langsung datang ke rumah Mulyorejo, murid Beliau yang terhitung setia. Ketika berangkat dari rumah, Panutan mengenakan celana pendek yang ujungnya ketat (Jawa: lancingan cekak) dan baju lengan pendek (Jawa: klambi kuthungan) berwarna hitam, mengenakan kain jarik yang disilangkan, memakai ikat kepala (Jawa: destar) ala Madura, menggendong layang-layang yang bentuknya seperti pesawat terbang (Jawa: layangan bapangan) yang ukurannya sangat besar. Tentu saja keadaan tersebut membuat orang-orang yang melihatNya pada heran karena kelihatan sangat aneh. Di tengah perjalanan kepergok oleh serdadu Belanda, karena jalan yang dilalui hanya berupa jalan setapak di tengah sawah (Jawa: galengan). Dari antara para serdadu tersebut satupun tidak ada yang menyapa Beliau, semuanya hanya tersenyum merasa lucu saja terhadap Beliau. Setelah pertempuran terjadi di sekitar daerah Muntilan, desa Keron mengalami kerusakan yang sangat parah karena terkena sasaran peluru besar kecil yang tidak terhitung banyaknya. Rumah Mulyorejo menyambung sebelah menyebelah dengan rumah saudaranya yang beragama Katolik. Rumah saudaranya tersebut terkena sasaran peluru dan diobok-obok oleh serdadu Belanda. Sedangkan rumah dimana Panutan tinggal tidak ada yang rusak karena tidak terkena sasaran peluru. Ketika Panutan sedang duduk di tempat duduk yang panjang dan lebar, bisa untuk tempat tidur (Jawa: amben) dikelilingi oleh para muridNya yang duduk dengan badan gemetaran dan jantung berdebar-debar kencang, karena melihat serdadu-serdadu Belanda yang banyak berseliweran di halaman rumah, Panutan berkata:”Jangan takut dan gemetaran, karena Saya tidak melihat mereka, Saya kira mereka juga tidak melihat kita!” Serdadu Belanda tersebut tidak masuk ke dalam rumah, mereka cuma celingak celinguk, lalu pergi. Berhubung anak Beliau, Rr. Wening, isteri dari Martaasmara sedang hamil tua, hampir tiba saatnya untuk melahirkan, maka untuk menenangkan hatinya, Panutan sekeluarga kemudian pindah ke desa Bandung Paten, di lereng gunung Merapi sebelah barat daya, langsung menuju ke rumah Pak Ali, muridNya yang setia. Ketika berada di pegunungan, Panutan selalu memberikan latihan kebatinan kepada murid-muridNya di desa Tlatar, Banyutumumpang, Kragawanan, Sawangan, Sewukan, Srumbung dan sebagainya, demikian juga selalu membantu alat-alat pemerintah yang sedang melaksanakan tugas mengusir musuh. Di tempat-tempat/kota-kota manapun yang diduduki Belanda, S.M.H. Sirwoko dan Darmawasita mengendap-endap, menerobos, selalu mencari dimana Panutan berada. Dengan mendasarkan pada ayat/perintah Tuhan, dapat terlaksana menghadap Panutan di pengungsian, di desa Bandung Paten, seperti tersentak hatiNya, Panutan menangis dan tentu saja semuanya pada menangis. Baru reda tangisannya setelah pak Ali memohon dan mempersilahkan untuk mencuci muka di pancuran, selanjutnya mengatur tempat duduk dan berdialog dengan dada yang masih terasa sesak. Setelah hilang rasa rindunya, S.M.H. Sirwoko meneruskan perjalanannya. Di dalam masa perang, Rama Panutan memperoleh perintah dari Tuhan Allah, diberitahu mengenai pengikutNya yang selalu bersama sejak dunia diciptakan dan untuk selama-lamanya. Pengikut itulah yang di dunia pewayangan/seni pedalangan digambarkan sebagai burung Manyar yang berwarna putih bersih yang disebut Manyar Seta, sedangkan yang satunya lagi adalah harimau putih yang mata sebelah kirinya buta yang disebut Ditya Ganggaskara. Sedangkan Panutan, di pewayangan disebut Resi Bratanirmaya, pendeta di padepokan Sonya Gumuruh. Menjelang ditariknya serdadu-serdadu Belanda dari kota-kota di Indonesia, Rama Panutan mengarang/membuat gending “Lompong Keli”, dengan tambahan iringan musik Angklung. Ketika Bung Karno akan kembali dari pengasingannya di Prapat, Sumatera Utara,  Rama Panutan menerima perintah dari Tuhan Allah yang segera disebar-luaskan kepada para muridNya, berwujud tembang dandang gula, demikian bunyinya:Kemanisen den nira mres budi, budi daya supadya kinarya, karya panglipur brantane, branta ingkang mamreskung, ruming kongas pujo-pinuji, puji kang pari purna, nyirnaken sekayun, kayun kang kautaman, utamane mangrengga sesa­ma-sami, sesamining ngagesang."(terjemahan:mohon bantuan kadang golongan untuk menerjemahkan dandang gula ini, matur nuwun)

2.  Setelah di alam batin Rama Panutan memperolah pengikut Manyar Seta dan Ditya Ganggaskara, tidak lama kemudian ada calon murid dari golongan Tionghoa yang bernama Ong Sioe Gien. Sebelum menjadi murid Rama Panutan, ia senang berguru, terutama mengenai ilmu kebatinan. Segala macam ilmu kebatinan yang diterimanya tidak ada yang memuaskan hatinya, karena selain kurang jelas dan pasti, kebanyakan tidak dapat membuktikan kebenarannya dan hanya berhenti pada kata-kata saja. Hal yang sangat mempengaruhinya untuk jadi murid Rama Panutan adalah karena temannya satu perguruan yang sudah dianggap sebagai murid yang terbaik itu datang dan bergabung menjadi murid Rama Panutan. Ong Sioe Gien segera katam, diuji oleh Rama Panutan bisa mengerti apa yang dimaksud/dikehendaki oleh Rama Panutan di alam batin, kemudian diberikan penjelasan mengenai segala hal yang berhubungan dengan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat (Jawa: didunungake). Semenjak Ong Sioe Gien katam, banyak saudara-saudaranya yang ikut belajar hingga  katam. Kepada murid-murid yang berasal dari golongan Tionghoa, Rama Panutan  memerintahkan:”Carilah (mohonlah kepada Tuhan untuk bertemu dengan) suksma Kong Hu Cu, dan kalau sudah bertemu bandingkan dengan diri Saya, adakah perbedaanNya, tinggiNya, jenggotNya sekalipun, selisih seberapa?” Setelah mereka menyaksikan sendiri di alam batin bahwa  Kong Hu Cu itu sebenarnya adalah Beliau (Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo) sendiri, maka mereka memiliki kesetiaan lahir barin yang sungguh-sungguh kepada Rama Panutan. Murid-murid yang dari golongan Tionghoa tadi sering sekali  menghadap Rama Panutan dan kalau mempunyai keperluan (hajatan) apapun, selalu mohon doa restu dan mengundang Rama Panutan.

3. Ketika Ong Sioe Gien menyelenggarakan sunatan massal (sunatan bersama beberapa keluarga), Kyai-kyai mantan gurunya dan kenalannya diundang untuk memberi berkah; demikian juga yang lebih diharapkan dan diutamakan yaitu Rama Panutan juga diundang, Beliau berkenan hadir supaya tidak mengecewakan yang mengundang. Sebelum anak-anak itu disunat, oleh para orang tuanya disuruh mohon doa restu/berbakti dengan cara mencium tempurung kaki (Jawa: dengkul) para Kyai Guru tadi, satu dua Kyai sudah terlaksana, setelah tiba giliran Rama Panutan, Beliau berkata:”Kalau berbakti dan menyembah itu kepada Tuhan Allah saja, jangan kepada Saya, karena Saya sendiri manusia biasa, yang dilingkupi/ditempati/menyandang sifat celaka, bodoh, melarat dan lupa, sedangkan Saya sendiri saja menyembah kepada Tuhan Allah!”. Semua yang mendengar perkataanNya menjadi bengong, anak-anak jadi terhenti, yang sangat mengherankan orang banyak tadi secara spontan pada menghadap Beliau seperti disedot oleh suatu kekuatan yang tidak kelihatan. Di malam berikutnya diadakan pagelaran wayang kulit, tamu-tamunya dari kalangan pejabat dan bangsawan, serta para ahli pedalangan. Dalangnya bernama Joyowiyoto dari Borobudhur. Lakon yang dipagelarkan berjudul Pandhawa racut, karangan/gubahan dari Rama Panutan sendiri. Beliau duduk ikut menonton disertai/diikuti oleh para muridNya termasuk juga Darmawasita yang memberikan penjelasan segala sesuatu yang berkaitan dengan ceritera Pandhawa racut. Yang sangat mengagetkan banyak orang yaitu ketika Werkudara/Bimasena racut (rohnya keluar dari badan fisiknya kemudian masuk ke Alam Halus/Alam Kasuksman), Dewa Ruci kok dianggap musuh, padahal menurut para ahli pewayangan menentukan/berpendapat bahwa Dewa Ruci yang wujudnya sama dengan Werkudara/Bimasena tetapi ukurannya kecil, itu adalah Guru dan Tuhan Allah dari Werkudara, lebih jelasnya Tuhan Allahnya  semua manusia, yaitu yang berwujud seperti dirinya sendiri dengan ukuran yang kecil. Mengenai hal ini Darmawasita memberikan penjelasan bahwa pendapat seperti itu salah, tidak hanya mengenai besar-kecilnya (ukurannya) saja tetapi karena dianggap Tuhan Allah, kalau begitu kan Tuhan Allah itu banyak, bisa laki-laki bisa perempuan. Dewa Ruci itu adalah peralihan/perubahan wujud dari Naga Tasik, padahal Naga Tasik adalah musuh dari Werkudara, buktinya mereka saling berkelahi. Kalau musuh, berubah seribu wujud (apa saja) tetap musuh, dan selalu  membawa budi pekerti/karakter musuh. Kalau itu dianggap Tuhan Allah kok berkelahi, tentu saja sifat Tuhan Allah itu hanya cinta kasih dan selalu memberi pertolongan. Tuhan Allah itu hanya satu, Allah itu Maha Esa. Allahnya orang sedunia (umat manusia) itu ya hanya satu, tidak berbeda-beda, dan tidak ada yang lain, kenyataanNya hanya suksma suci Resi Bratanirmaya. Setelah itu Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo memerintahkan kalau mengadakan pagelaran wayang kulit agar diiringi (menggunakan)  dua jenis musik yaitu gamelan dan drum (musik band), demikian pula setelah selesai gara-gara (episode dalam ceritera wayang, dimana para punakawan/Semar, Gareng, Petruk dan Bagong bercanda dan bertingkah lucu) berhenti dulu pagelarannya dan semua orang yang ada makan bersama, setelah itu baru pagelaran dilanjutkan lagi. Perintah tersebut dilaksanakan; para murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo pada bertanya-tanya dalam hati:”Akan ada kejadian apa ini?”. Hal itu akhirnya dapat diketahui setelah terlaksananya Konferensi Meja Bundar (KMB), perjanjian perdamaian antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia yang berlangsung selama beberapa hari. Setelah itu Beliau memberikan perintah lagi yaitu kalau mengadakan pagelaran wayang kulit agar melantunkan gendhing emplek-emplek ketepu pada saat keluarnya sahabat Resi Bratanirmaya yang bernama Bratararas, Bratanirlolka dan Bratatriloka, kemudian dilanjutkan gending: "re, re, re, nandur pare, marambat ngetan parane."(terjemahan: re, re, re, menanam pare merambat ke arah timur). Ketika ada salah seorang murid yang bertanya mengenai maksudknya, Beliau menjawab:”Pare itu baik pohonnya, daunnya, bunganya bahkan buahnyapun semua pahit rasanya, dimasak apapun rasanya tetap pahit, meskipun pahitnya berkurang tapi tidak seberapa, meskipun demikian ada orang yang sangat suka, hati-hati lho carilah (mohonlah kepada Tuhan Allah supaya bertemu dengan) Juru Selamat, akan merambat ke arah timur lho!” Apa yang dikatakan Beliau terjadi, tidak lama kemudian timbul pemberontakan 426 Batalion Munawar, Darul Islam muncul di Jawa Tengah yang akhirnya dapat diatasi dan dihentikan, karena memang sudah diketahui bahwa tidak ada pohon pare yang merambat-rambat hingga memenuhi halaman.
***A***

BAB  XV
PEMBANGUNAN  ASTANA WAJA  DAN   BALE SUCI  PRAN-SOEH


1.      Ketika Panutan sedang duduk di hadapan para siswaNya yang banyak sekali jumlahnya, Beliau berkata demikian:”Saya ini sudah sangat tua lho, nanti tanggal 30 September 1953 umur Saya sudah genap 85 tahun, ibumu juga sudah enam puluhan tahun umurnya, kalau tidak salah perhitungan, pada tanggal tersebut Saya sudah menjadi Carik Desa selama 56 tahun”. Mendengar perkataan  seperti itu, para murid yang sangat dekat dengan Beliau sudah mengerti apa yang dikehendaki-Nya, oleh karena itu setelah selesai  pertemuan (Jawa: pisowanan) tersebut, maka beberapa hari  kemudian, para murid mengadakan musyawarah yang menghasilkan kesepakatan yang merupakan keputusan dari kelompok/organisasi, yaitu segera melaksanakan dan memulai pembangunan makam Rama Panutan dan Ibu (isteri Rps. Sastrosoewignjo), yang direncanakan pelaksanaan peletakan batu pertama pada hari Rabu Pahing, tanggal 30 September 1953, yaitu pada perayaaan hari kelahiran/ulang tahun Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang ke 85 (delapan puluh lima), yang dalam istilah bahasa Jawanya disebut tumbuk yuswa 85 tahun. Artinya tumbuk disini adalah bahwa baik hari (Rabu), pasaran (Pahing) dan tanggal (30) serta bulan (September) di tahun 1953 tersebut sama dengan hari, pasaran, tanggal dan bulan saat   Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo lahir di tahun 1868. Karena tumbuk yuswa itu hanya terjadi satu kali selama hidup, serta bersamaan dengan keperluan memulai pembangunan makam Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dan ibu, maka direncanakan untuk mengadakan perayaan yang agak besar-besaran, yaitu menyelenggarakan pentas wayang kulit dengan mengundang para pejabat tinggi dan semua teman dekat dan kenalan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, sedangkan segala keperluan disediakan dari gotong-royong para murid, dan rumah Beliau dimohon untuk dijadikan tempat perayaan. Segala rencana tersebut disampaikan kepada Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang semua itu berkenan di hati Beliau dan menyetujuinya, dan Beliau bersedia membantu apa saja yang diperlukan, bahkan tanah untuk membangun makam dan Bale Suci Pran-Soeh diberikan sekalian, yaitu tanah sawah milik Beliau.
2.      Sawah yang akan menjadi tempat makam Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dan Bale Suci Pran-Soeh tersebut terdapat genangan air (telaga kecil) dan beberapa gundukan tanah, yang oleh Rama Panutan telaga kecil tadi dinamai Tlaga Maharda (telaga nafsu maha besar) tentu saja diselaraskan dengan keadaan telaga tadi di alam Kasuksman. Sedang yang dimaksudkan dengan tlaga maharda/maha-harda itu berarti hawa nafsu yang besar, induknya hawa nafsu, yaitu Wahyu Sejatining Putri/Wahyu Sejatining Kakung, yang juga merupakan hawa nafsu Panutan. Telaga tadi menjadi tempat bersemayamnya hawa nafsu, karena meskipun hanya berupa telaga kecil, tetapi kalau di Alam Halus/Alam Kasuksman telaga tersebut terlihat sebagai lautan yang luas yang tak bertepi, yang juga merupakan laut Pantai Selatan, disebut juga Samudera Mati (Jawa: laya) yaitu yang menjadi wahana (sarana prasarana)  Alam Maut. Tlaga Maharda itulah yang menjadi tempat kerajaannya segala jenis jin/makhluk halus, yang juga menjadi tempat manusia yang mati penasaran (tidak bisa kembali kepada asalnya/Tuhan Yang Maha Esa). Tlaga Maharda diurug untuk dijadikan makam dan Bale Suci Pran-Soeh; Hal itu mengandung arti menekan/mengendali-kan gejolaknya hawa nafsu, berupaya selalu menjaga dan melaksanakan perilaku yang suci agar dapat menyatu kepada Tuhan Yang Maha Esa (kembali ke asalnya) melalui perantaraan Panutan. Makam Rama Panutan disebut Astana Waja (Istana Baja) yang mengandung arti makam yang kuat, yang dapat menjadi Pusaka (warisan yang sangat berharga) yang dapat diturunkan ke anak-cucu-cicit dan seterusnya. Sedangkan Bale Suci Pran-Soeh, yang nama lengkapnya sebenarnya adalah "Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh Tlaga Maharda", dengan kata Agung dimaksudkan karena disitulah tempat sebesar-besarnya kesucian, yaitu tempat tinggal dan berkumpulnya  para manusia yang dapat mati sempurna.  Tlaga Maharda diikut sertakan sebagai nama, karena kenyataan dari lahir sampai kenyataan batin, Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh itu tempatnya di atas urugan dari Tlaga Maharda.

3.      Semua yang direncanakan dapat terlaksana secara memuaskan, rumah Panutan sampai dengan Tlaga Maharda yang terletak di sebelah utaranya, dihias dengan berbagai macam hiasan. Para tamu dari pejabat tinggi pemerintah setempat, para wartawan/pers, tamu dari Universitas Gajah Mada yang diwakili oleh Prof. Djojodiguno dan para mahasiswanya, juga banyak tamu-tamu lainnya yang hadir. Murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo banyak berdatangan tiada henti yang membuat banyak orang takjub/heran. Perayaan dimulai dengan acara sembahyangan/ doa, penjelasan-penjelasan dari S.M.H. Sirwoko, panembrama yang menyanyikan gen­dhing Tri Pusara Mudha, pemaparan sejarah  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo oleh Darmowasito, menyampaikan pujian Puji Langgeng, setelah itu dilanjutkan dengan pagelaran wayang kulit dengan lakon/judul    Lahirnya "Bambang Gunung Rama Pran-Soeh" yang menceriterakan lahirNya Rama Panutan/Raden Gunung yang dalam ceritera pewayangan Raden diganti dengan Bambang. Hal itu terlaksana pada hari Selasa Legi malam tanggal 29 September 1953. Hari berikutnya yaitu hari Rabu Pahing, tanggal 30 September 1953, Rama Panutan dan Ibu dihantar oleh para ketua kelompok/organisasi, yaitu para murid Panutan dan para tamu serta anak-cucu menuju ke Tlaga Maharda. Setelah selesai acara sembahyangan, Panutan melakukan peletakan batu pertama, didahului dengan melakukan semedi/meditasi lebih dahulu, untuk mengawali pembangunan makam Astana Waja, diteruskan oleh murid-murid terdekat bergantian hingga akhirnya diserahkan kepada pelaksana pembangunan. Jangan sampai disalah-artikan mengenai arti pentingnya Panutan melakukan sendiri peletakan batu pertama untuk memulai pembangunan Astana Waja,   makam yang akan dipakaiNya sendiri, karena kalau dipikir secara dangkal malah menjadi kurang wajar; Agar diingat bahwa arti pentingnya Astana Waja bukan hanya sekedar sebagai tempat Panutan dan ibu disemayamkan nantinya, namun yang paling penting adalah sebagai pusaka (warisan yang sangat berharga/penting) bagi dunia/jagad raya, lebih-lebih bagi anak-cucu dan murid-muridNya. Maka peletakan batu pertama yang dilaksanakan sendiri oleh Panutan berarti Panutan memberikan pusaka/jimat kepada kita semua.  Sesuai dengan acara yang sudah disusun, setelah itu sebenarnya Panutan akan memberikan sambutan, tetapi setelah melihat para murid yang sedemikian banyaknya (ribuan jumlahnya), Beliau mengangis tersedu tidak bisa bicara, padahal sesuai adat kebiasaan Beliau, kalau bicara bisa berjam-jam, mengenai sasaranNya, relevan, mencakup segala hal, sedangkan pada saat berhadapan dengan Presiden landraad sekalipun tidak pernah grogi. Panutan sampai tidak bisa bicara tersebut dikarenakan Beliau ingat pada semua peristiwa yang sudah berlalu dan sudah mengetahui peristiwa-peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Melihat keadaan itu, para anak-cucu dan murid-murid Panutan pada meneteskan air mata, terlebih bila mengingat bahwa Panutan dan ibu sudah lanjut usia bahkan makamNyapun sudah disediakan. S.M.H. Sirwoko diperintahkan untuk mewakili Panutan memberikan kata sambutan, yang pada prinsipnya Panutan sangat berterima kasih menerima cinta kasih dari para muridNya yang mau membuatkan tempat/makam Beliau. Panutan akan berusaha membalas cinta kasih anak-cucu/para murid. Sambutan/kalimat yang demikian itu membuat sedih para murid karena mereka menyadari bahwa mereka belum bisa membalas dan belum dapat berbuat sesuatu (pengorbanan) yang seimbang dengan cinta kasih lahir dan batin yang diberikan Panutan kepada mereka. Selanjutnya, Darmawasita mewakili para murid dan anak cucu menyampaikan terima kasih kepada Panutan, serta menyerahkan dua vulpen kepada S.M.H. Sirwoko dan Martosudarsono sebagai tanda pengharapan agar buku pedoman mengenai Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat dapat segera terwujud, agar dapat ditanda-tangani oleh Panutan.

4.      Peristiwa perayaan tersebut tersebar luas kemana-mana yang membuat semakin mantap keyakinan para murid dan juga semakin bertambah banyak jumlahnya, sebaliknya juga terjadi semakin banyaknya penelitian yang dilakukan oleh  berbagai pihak.  Semakin banyak jumlah murid berarti menambah semakin banyaknya kerepotan ibu (isteri Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo), karena setiap ada para murid yang menghadap Panutan, berapapun jumlahnya, selalu diberi makan. Panutan sering berkata:”Saya dapat menyebarluaskan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat ini, sampai sedemikian banyak/luasnya, kuat menyebarluaskan kesucian,  itu karena kesetiaan ibumu yang selalu sanggup Saya ajak mengurus anak-cucu (para murid) yang ribuan banyaknya dari dulu sampai sekarang!.” Memang ibu mempunyai pemikiran dan sikap/karakter yang berbudi, karena memikirkan anak-cucu (para murid) dibela-belain dengan berdagang dan sangat berhati-hati menggunakan uang hasil panen. Oleh karena itu dalam cerita pewayangan dengan lakon/judul Bratalaya jan­ji (karangan S.M.H.Sirwoko yang sudah diperiksa dan diperkenankan oleh Panutan), nama ibu diganti dengan Sri Siwengsih, yang mengandung arti Sri yang mencintai siwi (anak). Yang sangat mengherankan, kadang-kadang ibu itu sering menyangkal (tidak mengakui) peristiwa yang dialami Panutan yang dipilih oleh Tuhan Allah untuk menyebarluaskan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat  (nimbulake lakon nengahi para lakon). Hal tersebut memang ada hubungan-nya dengan kodrat batin, tetapi karena semua yang dikatakan Panutan semua terbukti, tidak ada yang meleset/tidak terjadi, maka penyangkalan tersebut semakin lama semakin berkurang yang pada akhirnya ibu menjadi setia dan percaya kepada Panutan.

***A***

BAB  XVI
GUNUNGKIDUL DILANDA KEGELAPAN


1.      Gunungkidul yang sering mendapat pujian dari Panutan, waktu itu dilanda kegelapan, daerah tersebut dilanda paceklik (kekurangan pangan) karena pertanian gagal tidak bisa panen, tanaman diserang hama, kekurangan air dan keadaan buruk lainnya. Dampak dari kekurangan pangan tersebut mengakibatkan para murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo banyak yang lupa akan kewajibannya berorganisasi/mengurus perkumpulan, karena mereka lebih berkonsentrasi mencari makan untuk bertahan hidup, keadaan itu semakin menambah gelapnya pikiran dan akal budi mereka. Para murid yang mengikuti pertemuan/ikut hadir berkumpul semakin berkurang jumlahnya, mereka kurang bersemangat untuk menyampaikan ayat (mimpi) yang mereka terima kepada para penyuluh untuk diteliti. Sedikit sekali/tersendat-sendat tambahnya kataman (perayaan sebagai ucapan syukur karena seorang murid telah berhasil mencapai katam) yang dilaksanakan. Untuk menggugah semangat para murid yang dilanda kegelapan dalam batinnya, Panutan memberi berbagai macam tumbal. Panutan minta burung perkutut dari daerah Trawana, bagaimanapun keadaannya dan berapapun harga burung tersebut supaya dibeli. Atmawiharja dan Darmajadisastra segera mencari burung tersebut. Karena kasih dan kuasaNya, maka hal yang tidak terpikirkanpun terjadi yaitu ada orang yang sudah tua umurnya membawa burung perkutut dan mau menjual dengan harga murah, maka setelah burung tersebut dibeli segera dibawa ke hadapan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di desa Jagalan, Muntilan. Sedangkan makna berdasarkan penelitian di alam batin/alam halus, desa Trawana saat itu menjadi pusat jin/makhluk halus yang berada di Gunungkidul.  Panutan memerintahkan agar para penganut (murid-muridNya) mengadakan pertemuan yang dimulai dari Semanu berpindah-pindah sambil mementaskan musik gamelan (klenengan dan gegerongan) dengan alat musik yang tidak lengkap yaitu tanpa Gong. Yang diperintahkan untuk main alat musik Gendang diawali oleh Sastropuro, yang untuk selanjutnya boleh dimainkan oleh siapa saja. Sedangkan murid yang harus ada/hadir dalam pertemuan tersebut adalah Nyi. Karyasukarwa, Dibyapuspita (beliau-beliau adalah ibu dan adik S.M.H.Sirwoko) dan Nyi Kartahudaya (ibu dari Sastropura). Lagu/gending yang utama/pokok untuk dinyanyikan adalah Srikaloka dengan sisipan (sahut-sahutan) lagu leh olehe lontong. Untuk seterusnya dapat dilanjutkan dengan lagu/gending yang lain seperti Sriwidada  dan Lombo Eling-eling yang diawali (intro) Sinom Logondang. Setiap mengadakan pertemuan demikian itu, Darmawasita diperintahkan untuk selalu hadir menunggui. Perlu diketahui bahwa lagu sisipan leh olehe lontong mengandung pengertian kerohanian (kasuksman) yang sangat dalam yaitu yang disebut mati sempurna itu kalau sudah bisa melepaskan lontongnya atau bungkusnya, bungkus dari suksma yang adalah hawa nafsu/nyawa, jadi maksudnya adalah suksma dapat melepaskan diri dari Hawa Nafsu/Nyawa dan meninggalkan Hawa Nafsu/Nyawa di Alam Antara. Semakin sedih hati Panutan setelah menyaksikan banyaknya Suksma/Roh Halus murid-murid wanitaNya di Gunungkidul yang terpikat dan dikuasasi makhluk halus/jin dan dimasukkan ke dalam Goa tempat kawah di gunung-gunung dan hampir ditutup dengan batu. Oleh karena itu Panutan segera pergi ke Gunungkidul disertai oleh Ong Sioe Gien langsung menuju ke rumah anakNya di desa Jeruk. Panutan ingat pengorbanan murid-murid wanitaNya yang menjadikan suami mereka dapat bersikap setia dan dapat melaksanakan kewajibannya dengan baik, selama isteri mereka mendukung/membantu secara lahir maupun batin, dari segi kelahiran yaitu membantu menyumbangkan harta benda dan dari segi batin mereka merasa ikhlas menderita apa saja karena ditinggalkan suami mereka melaksanakan tugas kewajiban menyebarkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat. Mengenai hal tersebut, Panutan ingat akan pengorbanan isteriNya, oleh karena itu cinta kasih Beliau kepada anak-cucu, para muridNya, tidak membeda-bedakan antara murid wanita dan murid laki-laki. Untuk tumbal agar dapat melepaskan murid-murid wanitaNya dari cengkeraman jin/makhluk halus, Panutan membawa dan memegang tongkat milikNya, memerintahkan kepada para murid wanitaNya supaya berpegangan pada ujung dari tongkat tersebut dan murid-murid wanita lainnya pada memegang tangan murid yang berpegangan pada ujung tongkat tersebut. Panutan mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh SMH Sirwoko, mewakili para murid wanitaNya tersebut. Sesudah itu, sambil menangis karena ingat apa yang disaksikan dalam mimpiNya dan merasa bersyukur dan beruntung karena hal tersebut ketahuan oleh Beliau:”Disini ini kan bukan desa Trawana?”. Dijawab oleh SMH Sirwoko:”Bukan,  Ini bukan desa Trawana, melainkan desa Semanu!” Panutan berkata:”Ya, sekarang pada keluar dari sana, ayo saya pandu/tuntun dengan tongkatKu!” Setelah tumbal (syarat) tersebut dilaksanakan, kemudian Panutan menjelaskan berbagai macam hal yaitu bahwa Jin/Makhluk Halus itu memang pandai sekali memikat/menggoda hati manusia, yaitu dengan berbagai cara yang rumit (complicated) hingga manusia tidak menyadari bahwa ia telah tergoda oleh bujukan Jin. Manusia yang terbujuk oleh rayuan Jin tersebut biasanya ditempatkan di kayu-batu, di goa-goa, di tepian jurang, di rumah-rumah yang tanpa tiang, dan lain sebagainya. Bagi orang yang tidak mengerti tentang kerohanian/batin, dan pengetahuannya hanya terbatas pada yang bisa ditangkap oleh panca-indera (indera badan fisik/raga) saja, maka hal tumbal sebagaimana dilaksanakan oleh Panutan tersebut hanya dianggap/dipandang seperti anak-anak yang sedang bermain saja yang melakukan hal-hal yang aneh dan tidak masuk akal. Tetapi bagi orang yang sudah sangat paham akan kerohanian (dunia roh), ia yakin bahwa apa yang disaksikan di alam roh/alam mimpi/alam sasmita maya, itu pasti akan terjadi selama tidak ada usaha untuk menghindarinya/menggagalkannya. Juga, sebenarnya ada tanda/indikator mana yang bisa dihindari/digagalkan dan mana yang tidak, yaitu bagi orang yang sudah katam (orang yang sudah bertemu dan menyaksikan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat), orang  yang sedang terang akal budinya (karena dilingkupi Cahaya Tuhan),   bisa menyaksikan dan mengetahui dimana calon tempat tinggal di masa yang akan datang bagi Suksma orang yang saat ini masih hidup di dunia.

2.      Setelah selesainya perayaan ulang tahun ke-85, dan sedang memulai pembangunan Astana Waja, Panutan sering berkata:”Kalau seperti ini, mending Saya tidak menerima perintah Tuhan Allah, perintah tahun ini hanya selalu mengecewakanKu terus menerus. Tetapi kalau Saya pikir-pikir, apalagi kalau tidak mengetahui perintah Tuhan lebih  dahulu pasti akan lebih besar lagi kecewa Saya; jadi lebih baik mengetahui perintah Tuhan lebih dahulu daripada tidak!”. Murid-murid Panutan jarang yang mengerti apa maksud perkataan Panutan tadi. Tidak lama setelah itu, menantu Panutan yaitu isteri dari  R. Yasir meninggal dunia, pasti saja hal itu mengejutkan para murid Panutan. Tidak lama kemudian cucu Beliau yaitu anak dari Martaasmara juga meninggal dunia.  Rama Panutan dan Ibu (isteri Panutan) pergi ke Gunungkidul dan tinggal untuk sementara waktu disana, Dalam pembicaraan Beliau terungkap bahwa sepertinya Beliau tidak mau menerima perintah Tuhan. Anak-cucu (para murid) yang menghadap yang sudah katam dapat menangkap makna dari situasi itu, yaitu masih ada hal-hal lain yang membuat Panutan sedih, mengingat/menandai perkataan Beliau yang lalu dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang dialami sesudahnya:”Apalagi yang akan terjadi?” Prasangka akan terjadinya hal yang buruk tersebut memunculkan rasa sedih bagi murid-murid Panutan. Menjelang kembalinya Panutan ke rumahNya di desa Jagalan, Muntilan, SMH Sirwoko mempunyai seekor burung perkutut yang suaranya sangat bagus, demikian juga Martosoewito mempunyai dua ekor burung pekutut yang tidak mengecewakan, semuanya diberikan kepada Panutan untuk menghibur hati. Panutan bersabda sebagai berikut:”Nabi Sulaeman, demikian juga Prabu Angling Darma,  semuanya dapat mengerti dan berbicara dengan para hewan. Dalam buku Layang Menak menyebutkan bahwa Nabi Muhammad dapat berbicara dengan Gunung Kud, demikian juga Madalam Buku Pustaka Raja Purwa, Sunan Kalijaga dapat berbicara dengan Tugu Baja. Anak-cucuKu, murid-muridKu harus bisa berbicara dengan burung perkutut ini. Makanya Aku ikut saja pada Darmawasita, dari tiga burung ini, burung yang mana yang harus saya bawa, yang mau ikut Saya, besok Saya pulang jam sembilan pagi. Meskipun para murid yang sudah katam sudah mengalami berbagai macam ujian dari Beliau, contohnya: disuruh menanyai batu kerikil yang sudah dipandang dan dibawa oleh Panutan dan lain sebagainya, ujian untuk berbicara dengan ketiga burung perkutut tersebut dirasa berat oleh Darmawasita, karena ujian tersebut diberikan secara mendadak dan waktunyapun hanya semalam sudah harus mendapat jawaban, padahal bagi orang katam yang diuji biasanya waktunya tidak terbatas, sampai mendapat jawaban, meskipun harus berbulan-bulan lamanya. Karena kemurahan Tuhan Allah, Darmawasita mendapat jawaban yang sangat jelas yaitu burung perkutut SMH Sirwoko yang harus dibawa oleh Panutan sebab burung tersebut memang milik Beliau, hal ini ada hubungannya dengan saat SMH Sirwoko memohonkan  kesembuhan anaknya yang bernama Susatsi kepada Panutan. Saat itu, Susatsi yang tinggal di Jakarta menderita sakit parah/kritis, yang mana dokter-dokter sudah tidak sanggup untuk mengobatinya.   Sedangkan salah satu burung perkutut milik Martosoewito dibawa boleh, kalau tidakpun, juga tidak apa-apa, tapi lebih baik dibawa saja agar yang memberi lega hatinya. Tetapi burung perkutut milik Martosoewito yang lain tidak boleh dibawa dan harus ditinggal karena tidak kuat menjadi milik/kesayangan Panutan. Mimpi yang diterima Darmawasita yang merupakan perintah dari Tuhan Allah tersebut kemudian disampaikan kepada Panutan dan berkenan di hatiNya, karena sebelum memberi perintah Beliau sudah tahu jawabannya dan perintah tersebut hanya untuk menggugah/memberi semangat agar lebih jelas lagi pengetahuan muridNya tentang kemakrifatan.

3.      Sekitar dua bulan setelah peristiwa itu, Ibu (isteri Panutan)  mengalami sakit pinggang seperti keseleo/terkilir, sehingga seharian Ibu hanya tiduran saja. Para ahli pijat/dukun pijat dan ahli kesehatan banyak didatangkan untuk mengobati Ibu, tetapi semuanya tidak ada yang dapat menyembuhkan Ibu. Panutan sendiri mengatakan memang Ibu sedang menerima hukuman dari Tuhan Allah, hanya yang mengherankan, Ibu terkadang untuk sementara waktu sembuh dari sakitnya setelah memohon pengampunan kepada Tuhan Allah dengan bimbingan Panutan. Sakit Ibu tersebut berlangsung berbulan-bulan lamanya yang tentu saja membuat lengang dan sepinya keadaan rumah Panutan, berkurang suasana gembira tidak seperti biasanya, namun para murid (anak-cucu) banyak yang berkunjung untuk menjenguk Ibu yang sedang sakit dan ada juga yang memohon berbagai macam pertolongan kepada Panutan, tidak ada hentinya, yang mana semua itu diterima dengan senang hati dan lapang dada. Yang dangkal pemahamannya sering mempertanyakan karena tidak percaya: isteriNya sendiri sakit tidak sembuh-sembuh, kok malah memberi pertolongan kepada orang lain. Orang yang berpikiran seperti itu karena ia tidak tahu mana yang sudah menjadi kodrat Tuhan Yang Maha Kuasa (Tuhan Allah), mana yang merupakan perbuatan (begalan/rampokan) jin/ijajil, mana yang sudah tidak dapat di ubah/diperbaiki, dan mana yang masih bisa diubah/diupayakan. Karena Ibu hanya sakit pinggang saja, maka terkadang Ibu sembuh (tidak merasa sakit), sehingga untuk sementara waktu dapat berjalan-jalan dan menemui para tamu dan murid Panutan.

4.      Pada saat itu sudah tiba saatnya memulai perletakan batu pertama pembangunan Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh Tlaga Maharda, karena pembangunan Astana Waja sudah hampir selesai tinggal menghaluskan saja (finishing). Untuk acara peletakan batu pertama direncanakan akan diadakan upacara kecil-kecilan saja secara sederhana yang dirasa memadai, lebih-lebih kalau mengingat Panutan baru saja kehilangan menantu dan cucuNya, apalagi Ibu sendiri sedang sakit. Pada saat tiba waktunya mengadakan upacara peletakan batu pertama, malam sebelumnya diadakan tirakatan, para murid begadang di Tlaga Maharda, pagi harinya Panutan sendirian, tidak didampingi ibu karena ibu sedang sakit, diikuti oleh para murid yang terdekat, para pemuda dan sebagainya, diantar ke Tlaga Maharda. Peletakan batu pertama dila-kukan oleh SMH Sirwoko dan Martaradana sebagaimana diperintahkan oleh Panutan, yang harus mengenakan pakaian adat Jawa Mataraman (pakaian adat Yogyakarta), sedangkan Panutan sendiri mengenakan ikat kepala yang dihias kain yang melintang (dhestar caplangan) yang masih baru, mengenakan jas tutup warna hitam, memakai kain dan menyelipkan keris yang dihias dengan untaian bunga melati yang diujungnya diakhiri dengan bunga kanthil. Hal ini yang menjadikan tanda tanya dalam hati bagi para murid yang melihatnya. Setelah upacara peletakan batu pertama selesai, SMH Sirwoko yang menghadap Panutan dengan disertai tangis memohon kepada Panutan dengan suara gemetar agar Panutan memohonkan kepada Tuhan Allah dengan kuasaNya, agar segera menyembuhkan ibu dan agar Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh Tlaga Maharda  memberikan manfaat bagi dunia, jagad Raya, khususnya bagi anak-cucu, murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo.

5.      Panutan memberikan perintah agar Astana Waja segera diselesaikan, tentu saja perintah tersebut segera dilaksanakan hingga Astana Waja selesai dengan sempurna seratus persen. Pembangunan Astana Waja terlaksana karena gotong royong, sumbangsih dan darma bakti para murid Panutan yang dilakukan dengan ikhlas menurut kemampuan, ketrampilan sesuai dengan kekuatan masing-masing orang. Ada yang mengumpulkan batu kerikil, ada yang mengusung membawa pasir, ada yang memecah belah batu, ada yang menumbuk halus batu bata, yang semua itu dilakukan baik oleh para pemuda maupun orang tua, baik oleh laki-laki maupun perempuan dengan hati yang tulus dan ikhlas lahir dan batin. Semua murid merasa beruntung karena memperoleh kesempatan untuk ikut berpartisipasi membangun warisan, tinggalan (petilasan) yang sangat besar manfaatnya bagi anak cucu/keturunan di belakang hari kemudian. Keadaan sakit ibu semakin parah yang membuat anak-cucu, murid-murid Panutan sedih hatinya. Tekad anak-anak Panutan, agar ibu dirawat dengan sebaik-baiknya dan semestinya menurut tata cara pengetahuan kedokteran yang sempurna, sehingga ibu dirawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Untuk membuat puas dan lega hati anak-anakNya dan agar tidak dinilai bahwa Panutan tidak menghargai Ilmu Pengetahuan yang bersifat fisik (Ilmu Kedokteran), maka Panutan mengijinkan sehingga akhirnya ibu dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta untuk menjalani rawat inap selama beberapa waktu. Setelah beberapa waktu ternyata tidak ada perkembangan membaik (sakit ibu tidak berkurang), maka kemudian ibu dibawa pulang kembali ke rumah di desa Jagalan Muntilan untuk dirawat seperti biasanya. Pada hari Kamis Legi, tanggal 23 Desember 1954, jam 13:00 ibu meninggal dunia, dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Seketika kabar tersebut tersebar luas kepada anak cucu, para murid panutan, lebih-lebih kepada sanak saudara, handai taulan, kenalan-kenalan dan sebagainya. Jenazah segera ditangani, ya, mulai saat inilah Panutan memerintahkan untuk mengubah peraturan penanganan jenazah, yaitu mengenai: posisi pengaturan tangan jenazah, mengenai bungkus dan apa saja yang dipakai/dikenakan oleh jenazah, serta panjangnya batu nisan. Penanganan jenazah ibu tidak mengecewakan, setelah jenazah dimandikan kemudian dikenakan pakaian yang menjadi kesukaan ibu pada saat masih hidup, dibungkus dengan kain putih rangkap sembilan selanjutnya dimasukkan dalam peti mati yang dihias dengan hiasan bunga yang sangat indah. Panutan selalu  menangis terus, lebih-lebih bila ada  murid-murid terdekatNya yang datang menghadap Beliau, membuat para murid juga merasa sedih dan ikut menangis. Yang dapat menyiram kesedihan Panutan sehingga lega perasaanNya adalah pada saat Beliau melihat begitu banyaknya anak-cucu, murid-murid Panutan yang datang melayat ikut berbela sungkawa atas meninggalnya ibu, sehingga secara spontan Beliau berkata:”Sedemikian besarnya cinta kasih anak-cucu, murid-muridKu kepada ibunya, ya, memang ia adalah ibunya yang biasa mengurus mereka, kalau Saya besuk malah belum tentu!”  Setelah upacara sembahyangan, SMH Sirwoko kemudian berpidato beberapa saat lamanya. Jenazah kemudian diangkat oleh putra-putra Panutan dan diterima oleh para ketua/sesepuh organisasi serta diberangkatkan ke Astana Waja, yang berjalan tertib dan teratur. Barisan paling depan adalah barisan para pemudi yang membawa rangkaian bunga, demikian juga di sebelah kanan kiri jenazah. Di belakang jenazah adalah barisan putra-putri dan kerabat Panutan, para ketua/sesepuh organisasi, para pemuda dan para murid Panutan yang jumlahnya banyak sekali, ikut mengantarkan jenazah sampai di tempat pemakaman. Setelah jenazah dimakamkan, kecuali yang tinggal untuk tuguran (begadang sambil berdoa, berjaga), yang lainnya pada pulang kembali ke rumah masing-masing dengan hati yang berat dan sedih merasa kehilangan, karena ibu sudah tiada dipanggil oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada hari Sugengan ibu, banyak juga anak cucu, murid-murid Panutan yang hadir, dan pada hari itu dipasanglah batu nisan ibu yang bertingkat sembilan. Ibu memang besar sekali/banyak sekali sumbangsih, bantuan dan pengorbanannya untuk ikut mendukung dan membantu penyebaran Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat.

6.      Pemerintah Pusat membentuk Panitia Penyelidikan Aliran Kepercayaan Masyarakat yang disingkat Panitia Pakem yang lebih berfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan keyakinan/kepercayaan/kasuksman, oleh karena itu Panutan tanpa sungkan-sungkan memberikan keterangan apa adanya. Hal ini terbukti pada saat Beliau berbicara tentang kerohanian. Panutan mengatakan demikian:”Mengenai rohani, dunia tidak ada yang melihat/mengerti kenyataan  rohani, demikian juga tentang kenyataan Tuhan Allah, kecuali murid-murid Saya. Kalau perkataan saya ini tidak benar, Saya bersedia dipotong-potong leher Saya!” Sudah menjadi dasar kepribadianNya, Panutan selalu menghargai siapa saja yang memang benar-benar menghargai Beliau, tetapi sebaliknya bila menyepelekan Beliau, siapapun juga akan disepelekan oleh Beliau, apalagi kalau punya keberanian tidak pernah disisakan. Beliau sering memerintahkan demikian:”Murid-muridKu, kalau berani jangan takut, jadi tidak terbebani oleh rasa sungkan, tetapi kalau takut jangan berani agar supaya selamat!”. Ketika para tamu memuji betapa bagusnya Astana Waja (makam yang disediakan untukNya), yang menyatakan bahwa Nabi, Wali maupun raja sekalipun belum tentu punya makam sebagus Astana Waja, Panutan menjawab:”Lha... Orang Saya, katanya Saya ini  Sastrosoewignjo, Carik Desa Jagalan!” Setelah Panutan ditanyai berbagai macam hal, Beliau mempersilahkan Panitia Pakem untuk menanyakan hal-hal lainnya kepada SMH Sirwoko dan teman-temannya di Gunungkidul. Benar juga, dua hari setelah kejadian ini, bertempat di Pendopo Kabupaten Gunungkidul, rombongan Panitia Pakem yang didampingi oleh wakil dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul mengadakan pertemuan dengan SMH Sirwoko, Darmawasita, Sastropuro dan Amrinta. Wawancara berlangsung sekitar empat jam, penjelasan dan jawaban disampaikan oleh SMH Sirwoko dan Darmawasita.  Tidak lama setelah itu, serombongan dari Kepolisian Negara RI Pusat tanpa memberitahu terlebih dahulu datang ke rumah Panutan di desa Jagalan, Muntilan, padahal Panutan sedang tidak ada di rumah sehingga tidak dapat menemui. Karena menyatakan bahwa besuk paginya akan kembali berkunjung ke Jagalan, maka setelah tiba di rumah pada malam harinya, Panutan memanggil dengan telpon interlokal kepada Darmawasita dan teman-temannya. Besuk pada pagi harinya, Darmawasita, Martosudarsono dan Martosoewito menghadap Panutan, dan terlaksana menemui rombongan dari Kepolisian Negara RI, Jakarta. Untuk selanjutnya apa yang diperlukan dapat dipenuhi.

***A***
BAB  XVII
PERINTAH MELAKSANAKAN TUMBAL DAN SYARAT-SYARAT


1.      Sepeninggal ibu, Panutan selalu mohon kepada Tuhan Allah dengan sepenuh hati dan segenap jiwa (Jawa: nggrantes), bertapa-brata diam di rumah, agar Suksma ibu dapat segera kembali ke Alam Kesempurnaan (menyatu dengan Tuhan Allah). Panutan sering bersabda bahwa mencintai anak-isteri itu harus sampai ke dasar lubuk hati yang paling dalam (menembus sampai ke Alam Halus). Suami/isteri yang dari pemberian (atas kehendak) Tuhan Allah itu, menjadi kodrat yang akan saling berhubungan, selalu berpisah dan berkumpul bersamaan dengan diciptakanNya dunia. Setiap Panutan tidur, ibu selalu diruwat, sehingga tidak lama kemudian Suksma ibu dapat segera berhasil kembali ke Alam Kesempurnaan (perlu dijelaskan disini istilah diruwat merupakan kata pasif dari meruwat, ini berasal dari bahasa Jawa yang pengertiannya adalah: membantu suksma orang yang sudah meninggal untuk melepaskan diri dari hawa nafsu/nyawanya dan mengantarkan suksma yang sudah lepas tadi ke hadapan Tuhan Allah). Ketidak-mampuan ibu meruwat Suksmanya sendiri, karena beliau  belum katam, sering menyangkal dan tidak percaya kepada Panutan, jadi sedikit banyaknya menanggung dosa. Ketika Panutan meruwat Suksma ibu (memisahkan Nafsu dari Suksma Suci ibu), yang selanjutnya mengantar Suksma Suci ibu menghadap Tuhan Allah, pada saat itu Panutan melihat bahwa pecahan Nyawa ibu berwujud wanita lain yang dalam rasa batinNya itu adalah milikNya. Untuk selanjutnya Panutan memohon petunjuk kepada Tuhan Allah, apa sebenarnya yang dikehendaki Tuhan Allah. Perintah Tuhan Allah bahwa itu sebenarnya adalah wujud yang satu, ibarat beras itu adalah menir, katul dan sari patinya.  Jadi, menurut perintah Tuhan Allah mengharuskan Panutan menikah lagi dengan wanita yang menjadi pecahan Nyawa (Hawa Nafsu) mendiang/almarhumah  Ibu, meskipun jadi bahan tertawaan, perintah Tuhan Allah harus dilaksanakan, karena sesungguhnya wanita tersebut memang milik Panutan, dan juga sangat penting bagi Panutan dalam menjalankan tugas kewajibanNya mencari tunggal (murid-murid Panutan) yang belum diketemukan. Sedangkan wanita yang tergambar dalam perintah Tuhan Allah tersebut bernama Ny. Dasinah, janda tua yang sudah berumur enam puluh tahun, tinggi dan besarnya mirip dengan almarhumah/mendiang ibu. Ketika maksud untuk menikahi Ny. Dasinah tersebut disampaikan kepada anak-anakNya, semuanya tidak setuju serta memohon kepada Panutan agar berkenan/bersedia/menerima saja dilayani oleh anak-cucuNya, karena Beliau sudah berumur (tua), kalau menikah lagi malah menjadi lebih banyak yang  membebani pikiranNya. Namun kemauan Panutan sudah bulat karena setia melaksanakan perintah Tuhan Allah. Anak-anak Panutan meminta bantuan para sesepuh organisasi/kelompok agar Beliau mau mengurungkan niatNya. Para sesepuh kelompok/organisasi menghadap Panutan menyampaikan banyak hal, namun Panutan berkata:”Saya ini kan hanya melaksanakan perintah Tuhan Allah, kenapa kok tidak pada mengerti? Kan sudah lama Saya mengenakan destar caplangan dengan hiasan kain menyilang warna merah muda, Saya kan berdandan keren supaya tampan! Ketika peletakan batu pertama Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh, Saya kan memakai rangkaian bunga melati, bagaimana kok tidak ada yang paham bahwa akan ada pengantin baru? Lagi pula Saya ini kan bekerja mengabdi kepada negara, tamu Saya banyak dari pegawai pemerintah, siapa yang akan mengurus? Sejauh yang Saya ketahui, sewaktu orang tua sakit, anak belum tentu bersedia dan telaten merawat seperti isteri, lebih-lebih bila harus membuang kotoran/tinja. Apalagi bila mengingat anak-cucu, murid-muridKu yang jumlahnya ribuan, jika ada anak cucu, murid-muridKu yang perempuan datang, siapa yang harus menemui mereka? Kalau Aku yang menemui mereka kan tidak pantas, apakah Aku harus menolak tamu-tamuKu yang datang? Saya jadi serba salah dan tidak tahu bagaimana yang benar itu? Pada waktu itu belum ada penyelesaian, anak-anak Panutan dan para sesepuh kelompok/organisasi belum ada kesepakatan, masih melarang Panutan untuk melaksanakan niatNya.

2.      Ketika Panutan berkunjung ke Gunungkidul, menginap di rumah Martosoewito, Semanu, di hadapan para muridNya yang banyak sekali jumlahnya, Panutan memberikan berbagai macam pengetahuan lahir maupun batin seperti biasanya. Di tengah malam para murid Panutan sudah banyak yang pada pulang, tinggal beberapa sesepuh kelompok/organisasi saja yang masih menemani dan melayani Panutan mengobrol sampai pagi dini hari menjelang matahari terbit. Sesepuh kelompok/organisasi menyampaikan pendapat mereka bahwa hanya bermanfaat/ beruntung bagi kebutuhan fisik saja tetapi akan merugikan bagi batin/rohani kalau Panutan sampai menikah lagi, yaitu mengenai nama baik, kemashuran/ketenaran dan sejarah, lebih-lebih yang berhubungan dengan anak-anak Beliau. Panutan berkata:”Saya mencari isteri itu tidak seperti kebutuhan orang muda, Saya kasih tahu ya, laki-laki itu kalau sudah berumur tujuh puluh lima tahun ke atas tidak membutuhkan kepentingan itu (hubungan sexual), Saya ini sudah lebih dari sepuluh tahun tidak melakukan hal itu. Kalau tidak percaya, coba cari dan saksikan kebenarannya di Alam Kasuksman/Alam Halus/Alam Sasmita Maya, sedangkan bagi wanita, kalau sudah berumur lima puluh tujuh sampai enam puluh tahun, juga sudah tidak membutuhkan hal itu lagi. Saya doakan anak-anakKu memiliki umur yang panjang seperti diriKu, agar dapat menyaksikan sendiri perkataanKu ini benar atau dusta. Entah itu benar atau salah, menguntungkan atau membuat celaka, untung atau rugikah kalau orang itu sudah melaksanakan perintah Tuhan Allah?. Dan apa ada Tuhan Allah itu membuat sengsara manusia? Memeritahkan agar manusia menderita rugi? Apa dapat dikatakan buruk kalau ada orang tua yang ingin berumah tangga, hidup rukun dengan cara yang sah sesuai tatacara yang diatur oleh (peraturan) Agama? Sekarang ini Saya hanya mengikuti Darmawasita dan teman-temannya, Saya ini harus bagaimana menurut kehendak Tuhan Allah. Awak-awak! Ketika mengatakan hal itu, Panutan tidak dengan perasaan sedih atau tertekan, melainkan dengan tersenyum sambil melenggang-lenggokkan leherNya, sehingga menarik perhatian dan menghilangkan rasa mengantuk bagi sesepuh kelompok/organisasi yang menemani Beliau. Setelah para sesepuh kelompok/organisasi memperoleh perintah yang sangat jelas dari Tuhan Allah yang disaksikan sendiri di Alam Halus/Alam Kasuksman/Alam Sasmita Maya, bahwa pernikahan Panutan dengan Ny. Dasinah harus dilaksanakan, tidak boleh dihindari, karena ada masalah batin yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban Panutan, apalagi kalau mengingat bahwa Panutan sanggup menanggung derita apapun untuk melaksanakan perintah Tuhan Allah, contohnya seperti pada saat Panutan melaksanakan tumbal untuk mengatasi/menghentikan wabah penyakit ayam, maka para sesepuh kelompok/organisasi dan para murid Panutan yang dimintai pendapat, semuanya sepakat, dengan bulat hati  mendukung niat Panutan untuk menikah lagi. Menantu Panutan, Martaasmara sendiri sudah menerima perintah yang jelas di Alam Halus, oleh karena itu ia mengantar Panutan kembali ke rumah di desa Jagalan, Muntilan, dan menemui anak-anak Panutan untuk memberikan penjelasan hingga mereka dapat memahami, tidak menghalangi dan dapat menerima serta menyerahkan semua ini pada kehendak Panutan. Karena memang sudah menjadi kehendak Tuhan Allah, wanita yang dimaksud juga bersedia dan keluarganya juga membantu. Hasil pembicaraan dengan keluarga akhirnya diputuskan untuk segera dilaksanakan, apalagi sudah tidak ada penghalang apapun, karena para murid Panutan juga sudah menyaksikan bahwa Suksma ibu sudah kembai ke Alam Kesempurnaan (menyatu dengan Tuhan Allah), jadi tidak perlu menunggu ketentuan waktu cerai mati yang menurut ketentuan peraturan pelaksanaan pernikahan orang baru boleh menikah lagi setelah lewat waktu tiga ratus tiga puluh hari sejak meninggalnya isteri/suami. Bahkan untuk selanjutnya Panutan memerintahkan bahwa untuk ruwat (membantu Suksma orang yang meninggal agar dapat memisahkan diri dari hawa nafsunya dan kembali ke Alam Kesempurnaan) itu hanya cukup selama seratus sepuluh hari saja, karena lewat dari itu sudah sulit untuk dibantu/berhasil, tinggal menyerahkan saja kepada kemurahan Tuhan Yang Empunya Tanggungan. Meskipun demikian, Panutan sendiri meruwat suksma AyahandaNya sudah lebih dari empat puluh tahun masih diteruskan, hal itu sering dibicarakan/dikatakan oleh Panutan. Pernikahan Panutan rencananya diselenggarakan oleh para sesepuh kelompok/organisasi, oleh karena itu pada saat tiba hari pernikahan, Panutan diiringi Martaasmara dan Harjasudarma (menantu dan besan) yang mewakili keluarga/ahli waris Panutan, Ny. Dasinah dan keluarga yang masih terhitung kakaknya, pada datang di rumah SMH Sirwoko, Semanu, yang selanjutnya diterima oleh para sesepuh kelompok/organisasi.  Di rumah SMH Sirwoko, Semanu, inilah Panutan dinikahkan secara sah dengan Ny. Dasinah disaksikan oleh para murid Panutan yang terdekat. Pernikahan Panutan diselenggarakan secara sederhana sekali yang penting sudah memadai, semua murid Panutan diberitahu dari umulut ke mulut saja setelah terlaksananya pernikahan tersebut. Malam berikutnya, Panutan hendak mencoba dalang baru yang katam bersih/jelas, sekalian menyempurnakan cerita wayang/lakon Bratalaya Janji, yaitu sebuah  cerita wayang yang sangat penting karena akan dialami oleh semua ciptaan Tuhan, beruntung atau celaka, lahir maupun  batin. Sastrabusana, seorang dalang yang dipandang sudah cukup katam, sehingga ia sering diperintahkan untuk mementaskan wayang di rumah salah seorang murid Panutan.

3.      Kembali ke Jagalan, Panutan langsung menuju dan tinggal di rumah ibu, yang letaknya di sebelah utara rumah Panutan yang lama, sering juga Beliau pergi dan tinggal di rumah sebelah Selatan. Dimanapun Panutan berada selalu dicari dan diikuti oleh para muridNya, banyak murid yang menghadap Beliau. Ibaratnya seperti tawon tawon madu  yang selalu mengikuti ratunya kemanapun ia pergi. Panutan itu memang mengherankan sekali, yang mana selalu dicintai dan dikerumuni oleh para muridNya. Beliau berkunjung di desa Logantung, Semin, Ngenep, Semanu, Ngleri (Playen) Tebon, Nglahar, Sumbersari (Godheyan), Batang (Sleman), Ngluwih (Tempel), Prambanan, Sawangan dan di tempat pengungsian sekalipun, para muridNya, laki-perempuan, tua-muda pada datang silih berganti menghadap Beliau, ada yang menggendong anak, keperluannya hanya ingin melihat Beliau, kalau sudah mendengar perkataanNya, lebih-lebih kalau sudah melihat wajah Beliau, semua merasa puas dan sangat lega hatinya. Untuk dapat melihat Beliau itu, mereka bersedia dengan ikhlas berjalan kaki puluhan kilometer jauhnya, siang-malam, tidak takut panas dan hujan serta rintangan apapun dijalani oleh mereka. Ibu mempunyai kesetiaan yang besar dan sangat berbakti kepada Panutan, hal itu terlihat/terbukti  dari tidak hanya melakukan apapun yang diperintahkan oleh Panutan, tetapi juga ikut menyertai melaksanakan keprihatinan (tapa brata) yang dilakukan oleh Panutan. Karena kesetiaan dan berbakti kepada Panutan serta kesungguhan hati dalam melakukan tapa brata, ibu segera katam. Keberhasilan ibu mencapai katam meringankan beban yang ditanggung oleh Panutan, karena segala macam permohonan pertolongan diserahkan kepada ibu dan ternyata ibu dapat melaksanakan semua tugas yang diserahkan Panutan kepadanya. Tidak hanya cukup sampai disitu saja, bahkan para murid wanita yang sudah bertahun-tahun tidak mencapai katam, diperintahkan Panutan untuk mendekati dan mohon doa restu kepada ibu, sehingga banyak murid wanita yang ikut ibu dan setelah diberikan berbagai macam syarat/tumbal/petunjuk tidak lama kemudian dapat dengan lancar mencapai katam. Murid wanita yang mencapai katam semakin bertambah banyak, membuktikan bahwa apa yang diperintahkan Tuhan Allah tidak dusta dan  memang benar adanya serta sudah mulai menampakkan kenyataannya/hasilnya/buktinya. Hal itu semakin menambah cinta kasih dan rasa hormat yang mendalam para murid Panutan, lebih-lebih bagi murid-murid yang berhasil mencapai katam semakin cinta dan hormat kepada ibu. Banyak yang menyaksikan di Alam Halus bahwa ibu selalu mengikuti Panutan kemanapun Beliau mengunjungi para muridNya. Demikian pula para murid yang menghadap Panutan di Alam Halus bertempat di rumah Panutan, kebanyakan ditemui Panutan dan ibu. Murid yang seperti itu yang disebut katam yang jelas, sebab sudah saling menyaksikan dan saling mengakui. Keadaan seperti itu sering dikatakan Panutan demikian:”Kamu sudah tercatat dalam Stambuk (Buku Catatan Rama), itu dalam pengertian lahiriah”. Setelah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo menikah dengan ibu (Ny. Dasinah), semakin bertambah banyak murid-murid Beliau, sehingga rumah Panutan/ibu perlu diperluas. Ajaibnya, sebelum hal itu dibicarakan oleh para sesepuh kelompok/organisasi, ada beberapa murid Panutan di desa Kaliangkring dan Bandungpaten yang menerima perintah Tuhan Allah agar memikirkan hal tersebut, maka segeralah diupayakan sehingga dapat terlaksana memperluas rumah Panutan/ibu, rumah jadi lebih luas sehingga dapat dengan longgar menampung murid-murid Panutan yang semakin banyak jumlahnya. Setelah ibu ikut membantu Panutan dalam hal kebatinan, Panutan tinggal memikirkan hal-hal yang penting antara lain: tentang suasana jagad  raya (dunia) dan tentang peraturan-peraturan mengenai penyebaran Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat.

4.      Mengenai masalah batin Panutan pasti mengetahui keadaan para muridNya yang sedang mengalami kegelapan batinnya, yang bertindak jujur, yang menyeleweng dan yang melanggar larangan sebagaimana ditetapkan dalam Angger-angger sebelas. Kalau ada anak-cucu, murid-murid yang tidak ikut berkumpul membicarakan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat di Alam Halus, hal itu membuktikan bahwa murid-murid tersebut sedang dalam kegelapan batinnya lalai melaksanakan tingkah laku jujur dan suci (kebenaran). Meskipun secara lahiriah sering datang menghadap Panutan di alam fana, tetapi kalau di Alam Halus tidak terlihat, atau terlihat tetapi  kalah dari hawa nafsunya, murid yang seperti itu adalah murid yang tidak setia lahir batinnya (hanya berhenti di tataran lahiriah saja). Sebaliknya meskipun secara lahiriah tidak pernah datang menghadap Panutan, tetapi di Alam Halus terlihat sedang menghadap Panutan, hal itu membuktikan bahwa ia murid yang setia yang selalu berkenan di hati Panutan. Yang penting itu mengenai hidup, mengenai rohani, yaitu mengenai kasuksman, yang tentu saja tidak meninggalkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat, dan mengenai hal-hal lain seperti: penasaran, hukuman/siksaan, reinkarnasi, Kesempurnaan Suksma, dan Alam Kesempurnaan. Agar lancar dan cepat mencapai katam, agar para murid memperoleh sinar terang (Cahaya Tuhan), Panutan memberikan berbagai macam perintah disesuaikan dengan apa yang Beliau saksikan di Alam Halus seperti:
a.       Pernah memerintahkan kepada para muridNya yang ingin cepat mencapai katam agar mendekati dan meminta syarat kepada Martaradana, Ngleri.
b.      Demikian juga pernah memerintahkan kepada para murid yang belum mencapai katam, lebih-lebih yang belum bertemu dengan Nyawanya (Hawa Nafsunya) agar meminta syarat kepada Darmawasita, Kranon, Wonosari, bahkan syarat yang harus diberikannyapun sudah diberitahukan oleh Panutan kepada Darmawasita, apa yang harus digunakan dan bagaimana cara menggunakannya. Menerima perintah seperti itu, para murid yang sedang belajar Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat datang silih berganti ke rumah Darmawasita untuk meminta syarat melaksanakan perintah Panutan. Karena sangat banyaknya yang pada datang, apalagi pada siang maupun malam hari, hal itu mengejutkan para polisi yang menjaga keamanan, sehingga mereka datang melakukan konfirmasi ke rumah Darmawasita dan menunggui. Setelah diberi penjelasan bahwa keperluan para murid Panutan itu adalah meminta syarat agar cepat mencapai katam, dan bahwa yang datang itu melulu hanyalah murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo agar selalu setia kepada Tuhan Allah, baik watak, budi pekerti dan tingkah lakunya serta agar lebih sungguh-sungguh dalam melaksanakan tapa brata, para polisi itu tidak lagi mempunyai kecurigaan.
c.       Dengan kuasa Tuhan Allah, Panutan menyatakan bahwa pekarangan rumah Martosoewito, Semanu sebelah barat, dapat digunakan sebagai syarat untuk meditasi tidur agar cepat terkabul permohonannya. Demikian juga sebelah barat sumur Poedjosoewito, Jeruk Kepek, Wonosari, yang sudah pernah digunakan untuk petak (meditasi dan menyampaikan permohonan kepada Tuhan Allah) oleh Panutan, sehingga dapat digunakan untuk syarat bagi orang yang membutuhkan ketenteraman hidup. Oleh karena itu tidak mengherankan bila tempat-tempat tersebut digunakan sebagai tempat petirakatan (untuk bertapa brata) bagi murid-murid Panutan yang ingin cepat/segera mencapai katam.
d.      Ketika ada salah seorang murid Panutan yang melakukan dosa besar dari sudut pandang batin/kerohanian (berzina), padahal murid tersebut sangat disayangi oleh Panutan sehingga Panutan sampai menangis. Setelah murid tersebut menyerahkan hidup-matinya kepada Panutan, Panutan segera memerintahkan agar murid tersebut mandi di sungai yang dekat dengan jalan, mengenakan pakaian basahan yang bertumpuk tidak teratur (Jawa: sruwal) dan kain. Kainnya supaya dijemur dipinggir jalan yang jauh dari tempat mandi sampai dicuri oleh orang yang lewat di jalan itu, sedangkan kalau malam hari, kain yang basah tidak boleh diperas dan langsung digunakan untuk selimut tidur hingga kering. Kalau kehilangan kain karena dicuri dan berselimut kain basah sampai kering tersebut telah berulang kali terjadi, diperintahkan agar sedapat mungkin ganti/pindah rumah, dan selanjutnya menyerahkan diri kepada S,M.H.Sirwoko dan Ong Sioe Gien serta dibantu bertapa brata ( tirakat) oleh Ihsan (Tho­glengan /Ngijon), itu termasuk murid yang setia tetapi juga baru menerima hukuman. Semua perintah Panutan tersebut dilaksanakan dengan hati ikhlas dan sungguh-sungguh, yang membuat ia dapat memperoleh pengampunan. Sedangkan kenyataan diperolehnya pengampunan tersebut selain berupa perkataan Panutan yang memberi pengampunan di dunia fana ini, juga di Alam Halus Suksma murid tersebut dapat menghadap/bertemu Cahaya Tuhan atau menghadap/bertemu Utusan Tuhan.

e.       Panutan memerintahkan bagi orang yang ingin memperoleh terang batinnya, supaya mencuci muka dengan air dan di Sumur Jalatunda yang terletak di dekat Astana Waja. Kalau ingin segera bertemu wujud aseli hawa nafsunya (nyawanya), diperintahkan agar mandi di Tlaga Maharda, sedangkan bila ingin bertemu dengan Utusan Tuhan supaya menghafalkan lagu pangkur yang menggambarkan pertemuan antara Prabu Rama Wijaya dengan Senggana (Hanoman) yaitu Utusan Tuhan dengan Sahabat yang setia, sebagai berikut:
Kawula Bambang Senggana,
Prabancana nenggih Rama Dayapati,
Anjani ingkang sesunu,
Wangsul teja-leksana,
Radyan kalih sinten sinambating arum,
Yen sira takon maring wang,
Dyan Legawa aran mami

f.        Selain dari itu, masih ada tempat-tempat untuk melaksanakan tapa brata (tirakatan) yang sifatnya terlokalisasi (plaatselyk), contohnya bagi anak-cucu, murid-murid yang berada di sebelah barat kota Yogyakarta, agar melaksanakan syarat berupa berjalan mengelilingi pasar Godeyan, murid-murid yang berada di kota Yogyakarta supaya melaksanakan syarat di lapangan (alun-alun) utara di sebelah barat daya, murid-murid yang berada di Semanu supaya melaksanakan syarat di halaman rumah SMH Sirwoko di sebelah barat daya, di Sungai Prangkah turun sampai di Sungai Suci. Dalam melaksanakan tapa brata (tirakat) harus selalu mengingat pesan Panutan yaitu tapa ngrame ing guwa samun (bertapa di tengah masyarakat yang melaksanakan aktivitas seperti biasanya namun tersamar/tidak diketahui oleh orang lain), jadi jangan sampai diketahui oleh orang banyak/umum, oleh karena itu supaya mencari waktu saat sepi yaitu pada malam hari.
g.       Manusia itu ada kalanya sedang terang batinnya, namun ada kalanya juga sedang gelap batinnya, kadang ingat pada Tuhan kadang pula lupa. Hal itu juga dialami oleh orang yang sudah katam sampai para sesepuh kelompok/organisasi. Oleh karena itu Panutan memerintahkan:”Yang boleh menentukan orang itu sudah katam atau belum, boleh menerima dunungan atau belum yaitu Darmawasita, menantuku Martaasmara, Martowiyoga, dan Martosoewito!”. Bahkan Panutan memerntahkan untuk seluruh daerah karesidenan Kedu yang boleh memberikan dunungan hanyalah Kamil dan Pujiya. Untuk kota Yogyakarta, yang boleh memberikan dunungan, kalau laki-laki Ong Sioe Gien (Pak Brata), kalau wanita Nyonya Ong Sioe Gien (Bu Brata). Untuk murid wanita di Gunungkidul, yang boleh memberikan dunungan hanyalah Ny. Poedjosoewito dan Ny. Martosoewito. Perintah-perintah tersebut dipandang jelas dari sudut batin dan Panutan sendiri sudah menyaksikan di Alam Halus bahwa mereka memperoleh terang Tuhan (dilingkupi Cahaya Tuhan) pada saat itu. Sesungguhnya sudah banyak orang yang katam dan murid yang dekat dengan Panutan yang sudah bisa menentukan seseorang itu sudah katam atau belum, sudah dapat menerima dunungan atau belum serta sudah mampu pula untuk memberikan dunungan. Meskipun sudah berkali-kali dipercaya dan ditunjuk/ diperintahkan oleh Panutan untuk melakukan tugas apapun, kalau batinnya sedang gelap harus menyadari, jangan terus nekad memberikan dunungan atau menentukan katam/belum katamnya seseorang, karena itu akan merugikan orang lain dan untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan/tidak semestinya, misalnya orang yang menerima dunungan menjadi gila dan lain sebagainya yang merugikan orang lain. Ingatlah bahwa hal itu merupakan tugas yang sangat gawat/riskan dan benar-benar sangat penting!

5.      Orang-orang yang sudah diberi anugerah Tuhan mencapai katam lagi pula juga sudah menerima dunungan, ibarat anak kecil yang sudah disapih, tidak lagi boleh hanya selalu mengandalkan bantuan Penyuluh atau Panutan, di dalam batin jangan selalu menjadi beban Panutan. Panutan sering berkata:”Orang yang sudah bisa mencapai katam itu berarti orang yang berbelas kasih kepadaKu!” Panutan tidak pernah berhenti dan tidak pernah bosan mengingatkan, menggugah/memberi semangat, dan memberi cinta kasih lainnya agar para muridNya dengan sungguh-sungguh selalu melaksanakan/menjalankan kewajibannya.

6.      Perhatian dan pelayanan ibu kepada anak-anak Panutan sudah seperti kepada anak-anaknya sendiri, lebih-lebih cinta kasihnya kepada Panutan. Ketika Panutan menikahkan putri bungsuNya yang bernama Rr. Tun dengan Kardana, putera dari Secaharjana, Tebon, Godeyan, Yogyakarta, Ibu dan Rama Panutan sendiri yang menangani dibantu oleh anak-anak, keluarga dan anak-cucu, murid-murid Panutan hingga terlaksana secara besar-besaran yang menakjubkan semua orang. Mulai dari memasang/membuat panggung, memasang hiasan (tarub), hingga banyaknya tamu yang selama satu minggu hadir silih berganti banyak sekali. Perayaan/resepsi itu sendiri berlangsung selama tiga hari, selama dua malam diadakan pementasan wayang kulit/wayang purwa dan selama satu malam diadakan pementasan sandiwara. Pementasan wayang kulit/wayang purwa pada malam pertama dengan ceritera/ lakon Pernikahan Gatot Kaca, dan pada malam kedua dengan ceritera/lakon Pernikahan Wisanggeni (gubahan/karangan Darmawasita dan SMH Sirwoko) yang sudah diperkenankan dan disahkan oleh Panutan.  Ceritera tersebut berisi pedoman untuk mencari jodoh yang sesuai dengan kodrat kehendak Tuhan Allah. Sedangkan pementasan Sandiwara dengan ceritera yang berjudul Wiropati yaitu pahlawan bangsa ketika jaman terjadinya perang Diponegoro melawan penjajah serdadu/Kumpeni Belanda, yang dimaksudkan untuk mendidik anak-cucu agar mencintai dan berbakti kepada Tanah Tumpah Darah, Tanah Kelahiran, sekalian mengarahkan ingatan kepada leluhur Rama Panutan yang bernama Kyai Wiropati. Panutan menikahkan para putera-puterinya pasti mendasarkan pada perintah Tuhan Allah. Besan Panutan berjumlah enam pasangan, yang mana empat pasangan berasal dari murid-murid Beliau, yaitu:  Jayawiyana (Lahar, Sumbersari), Harja­sudarma (Temanggung), Secaharjana (Tebon, Godeyan, Yogyakarta)  dan Suwitawar­daya (Sudagaran, Yogyakarta). Orang menjadi besan Panutan, kalau memahami masalah batin/kerohanian, pasti merasa sangat beruntung sekali, karena diperkenankan  memelihara serta mengasuh anak keturunan Beliau. Merasa beruntung karena di  belakang hari kemudian, jika sudah mempunyai cucu, akan selalu mempunyai hubungan dan tidak akan terpisahkan lahir dan batin dari Panutan.

***A***



BAB  XVIII
ISTILAH TUHAN ALLAH DIGANTI DENGAN RAMA-PRAN-SOEH
SERTA PENJELASAN MENGENAI TERPISAH-PISAHNYA KEDUDUKAN ANTARA RAMA PRAN-SOEH, RAMA RESI PRAN-SOEH DAN  RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO (TRITUNGGAL)


1.      Pada suatu hari Panutan menerima sabda Tuhan Allah bahwa Tlaga Maharda itu sesungguhnya ada tembusannya  bernama Sendang Nirmayasandi yang letaknya di pekarangan/halaman rumah Panutan dekat jembatan Sungai Lamat, desa Jagalan, Muntilan. Rencananya halaman rumah tadi akan diberikan/diwariskan kepada putraNya yang bernama R. Wenang. Panutan menjelaskan bahwa Sendang Nirmayasandi itu dalam ceritera pewayangan sama dengan Cibuk Cangkiran, padepokan tempat tinggal Dewi Anjani yaitu ibunda dari Hanoman, padahal sebenarnya Hanoman itu adalah seorang pendeta yang sedang menerima hukuman Tuhan. Oleh karena itu, di belakang hari kemudian, Sendang Nirmayasandi dapat digunakan oleh para murid panutan yang sedang menderita gelap batinnya untuk melakuakan tapa brata (tirakat) agar dapat memperoleh sinar terang Tuhan (Cahaya Tuhan) tetapi hanya khusus untuk murid wanita saja yang ingin cepat mencapai katam. Wanita yang sudah katam tetapi sedang gelap batinnya (memperoleh peringatan), diperkenankan untuk melakukan tirakatan (tapa brata) di Sendang Nirmayasandi. Panutan berkeinginan membangun rumah di tempat tersebut untuk tempat tinggal putraNya, R. Wenang. Oleh karena rasa cinta kasih lahir batin yang besar para murid kepada Panutan, karena mereka juga merasa telah menerima cinta kasih yang sangat besar tidak terukur dari Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, apalagi selalu ingat sabda Panutan mengenai Sendang Nirmayasandi, sehingga berharap bahwa mungkin pada suatu hari kemudian dapat memperoleh manfaat dari tempat yang telah dijelaskan oleh Panutan tersebut, sehingga para murid sadar bahwa hal itu memang menjadi/merupakan kewajiban dan kebutuhan mereka sendiri. Para murid Panutan, khususnya kaum wanita, dari kesadaran hati yang sangat dalam ikut bekerja bakti, gotong royong mengusung pasir,  batu dan kerikil untuk meratakan tempat tersebut. Keberadaan orang banyak tidak terhitung jumlahnya yang bergotong-royong, kerja bakti, sangat menyenangkan dan melegakan hati Rama Panutan dan ibu, namun sedikit banyak juga menambah kerepotan ibu, pagi sampai sore selalu berada di dapur untuk menyediakan makanan dan minuman bagi semua orang yang bekerja. Panutan memerintahkan agar  Pertapaan Cibuk Cangkiran (Sendang Nirmayasandi) dan Bale Suci dapat segera diselesaikan pembangunannya, karena merupakan tempat yang sangat penting, dua tempat yang sebenarnya menyatu, makanya dapat dikatakan bahwa itu adalah satu tempat. Mengenai hal itu Panutan menyatakan:”Yang dapat  menyelesaikan pembangunan tersebut adalah anak-anakKu, murid-muridKu kaum wanita!” Yang dimaksud oleh Panutan bukan harus wanita yang langsung mengerjakan pembangunan Bale Suci Pran-Soeh, tetapi selesainya pembangunan Bali Suci Pran-Soeh itu memerlukan biaya yang mana pada umumnya penghasilan para suami itu diberikan seluruhnya kepada/dikuasai oleh isteri-isteri mereka, jadi kalau para isteri yang mengelola keuangan keluarga itu tidak sadar/insyaf dan tidak rela/ikhlas menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk pembangunan Bale Suci Pran-Soeh (pada umumnya secara alami manusia itu sering merasa tidak rela/ikhlas menyumbangkan sebagian penghasilannya kepada pihak lain) maka tentu saja penyelesaian pembangunannya akan berjalan lambat. Oleh sebab itu  para isteri harus dapat mengalokasikan pengeluarannya untuk mendukung kelancaran pembangunan tersebut, sebaliknya kalau tidak bisa dan tidak ikhlas/rela menyumbang, maka selesainya pembangunan Bale Suci Pran-Soeh pasti akan memakan waktu yang lama. Bale Suci Pran-Soeh itu akan menjadi rumah banyak orang, digunakan oleh banyak orang, secara lahir maupun batin, maka apabila ada satu atau dua orang yang mau dan mampu membangunnya sendirian, Panutan tidak  mengijinkannya; Agar adil, siapa saja yang akan ikut menggunakannya harus ikut berpartisipasi dalam pembangunannya, entah itu berupa harta-benda/uang, tenaga maupun ide/pemikiran/pendapat.  Panutan dan ibu sendiri banyak sekali memberikan bantuan yang berupa ketiga hal tersebut, agar pembangunannya cepat selesai.

2.      Selain masalah kerohanian/kasuksman, Panutan juga sering berbicara berbagai macam hal yang berhubungan dengan  kesusilaan, budi pekerti dan tata krama yaitu sebagai berikut:
a.       Tidak diperkenankan mengenakan pakaian yang norak, bergambar/bermotif yang tidak pantas/berlebihan, lebih-lebih yang melanggar kesusilaan yaitu bagian tubuh yang seharusnya tertutup rapat sampai kelihatan. 
b.      Tertawa terbahak-bahak yang melampaui kepantasan, kalau difoto jangan sampai kelihatan giginya (jangan tertawa), kalau giginya ompong tidak boleh berganti-ganti gigi palsu sampai berkali-kali yang tidak disesuaikan dengan keadaan/kepantasan.
c.       Untuk makan dan minum tidak diperkenankan menggunakan tangan kiri terkecuali kalau tangan kanannya buntung/diamputasi, makan sambil berjalan-jalan dan jajan makanan disembarang tempat juga tidak diperkenankan.
d.      Jangan sampai mengucapkan kata-kata yang kasar, jorok dan cabul.
e.       Harus selalu menjaga kebersihan diri, kalau berpakaian yang lengkap dan sederhana (tidak berlebihan), pada saat akan tidur agar menggosok gigi dan berkumur. Bagi anak muda kalau bersolek jangan berlebihan, karena pasti mempunyai tujuan yang tidak pantas yang akan membuat perlu waktu yang lama untuk mencapai katam.
f.        Tidak diperkenankan menginjak-injak tempat tidur; Tidak dapat menangkap arti kata kiasan/peringatan dengan bahasa halus dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan waktu, tempat serta keadaan itu juga merupakan hal yang tidak diperkenankan oleh Panutan.

3.      Panutan selalu mendidik agar para muridNya giat dan rajin bekerja. Perjudian yang menjadi hobi sampai masuk kedalam hati menjadi kesenangan/ketagihan, apalagi menjadi sumber mata pencaharian atau menjadi pekerjaan, Panutan sangat tidak memperkenankan hal demikian itu. Mengenai candu/madat (Jawa:nyeret), lebih-lebih narkotika/ganja/sabu-sabu (narkoba) yang dilarang oleh Pemerintah, tidak diperkenankan oleh Panutan karena merusak kesehatan badan, membuat orang tidak bertanggungjawab pada kewajibannya, dan pada umumnya membuat watak/sikap yang tidak ksatria, malahan sering membuat orang bertindak nista. Mengenai semangat kerja yang tinggi, rajin, tidak kenal lelah dan bertanggungjawab, Panutan sendiri memberikan contoh yang baik. Banyak para muridNya yang melihat/menyaksikan: pada jam satu siang Beliau baru pulang dari mengolah sawah, di siang (tengah) hari bolong, Beliau membolak-balik tembakau yang sedang dijemur, Beliau sendiri yang mengangkati papan tempat menjemur tembakau (Jawa: rigen/idhik). Sabda Beliau:”Orang hidup itu harus mengurus orangnya yaitu harus bekerja sekuat tenaga untuk dapat mencukupi kebutuhan akan sandang, pangan dan perumahan/tempat tinggal serta untuk dapat mencukupi kebutuhan seluruh keluarga yang menjadi tanggungannya!”. Sedangkan bila waktunya tidur, harus mengurus kebutuhan rohani/suksmanya, mohon pengampunan segala dosa dan kesalahan serta menyerahkan diri secara total (berpasrah diri) kepada Tuhan Allah, juga mohon petunjuk, bimbingan dan pertolongan kepada Tuhan agar memperoleh sinar terang Tuhan (Cahaya Tuhan), hingga esok harinya pada saat bangun tidur tidak melakukan kesalahan dalam bertindak. “Contoh bekerja mengabdi kepada negara itu, Saya sudah selama enam puluh tahun bekerja untuk negara tidak pernah melakukan kesalahan. Nanti kalau Saya sudah tidak bersedia lagi bekerja untuk negara dan minta pensiun, Saya akan segera kembali, pekerjaanKu sudah selesai dan tugas kewajibanKu sudah banyak yang akan meneruskan!” Mendengar perkataan tersebut yang mengisyaratkan bahwa setelah Panutan pensiun akan segera kembali (wafat), para murid Panutan yang sedang menghadap Beliau hatinya tersentak seperti kehilangan daya, merasa sedih dan bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi dikemudian hari setelah  Panutan wafat? Panutan mengetahui kekhawatiran hati para muridNya memikirkan apa yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang (mengkhawatirkan masa depan), maka Panutan menyampaikan sabdaNya demikian:”Kalau Saya pulang (wafat) anak-cucu, murid-muridKu jangan khawatir, kalian kan hanya tidak bisa menemui/menghadap Saya di Alam Fana, untuk hari besuk dan seterusnya kalian dapat menemui Suksma Suci Saya di Alam Halus. Kalian semua kan sudah pada punya alat/sarana/cara untuk menemui Saya di Alam Halus. Ketahuilah bahwa meskipun Saya sudah wafat, Saya akan selalu berkeliling ke seluruh Alam Antara untuk melindungi semua anak-cucuKu, kalian kan masih ingat ceritera Bratalaya Janji, Saya sudah mengatakan bahwa Utusan Tuhan Allah itu mempunyai Hidup Abadi, tidak dapat rusak, itulah yang harus kalian cari/temui, jangan menyembah batu nisan dan jangan menyembah foto/gambar, yang penting carilah hidupnya gambar/foto, Saya jamin pasti dapat bertemu. Selalu ingatlah bahwa Saya telah membuat Resi Bratanirmaya yang muka/wajahnya berwarna merah, Dialah yang akan mengadili seluruh umat, jangan keliru ya karena kalau keliru hidupmupun akan keliru juga. Sabda yang demikian itu diterima oleh para murid dengan hati yang sunyi dan kosong, lebih-lebih bagi para murid yang sudah katam disertai harapan dan doa semoga batinnya selalu ingat kepada Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Selain itu juga merasa beruntung bahwa mereka telah ikut menjadi murid-murid Panutan dan dapat mengetahui perjalanan hidup Beliau lahir dan batin. Sewaktu ditinggal wafat, murid-murid Panutan hanya bisa menghadap/menemui Beliau di Alam Halus/Alam Kasuksman, karena di Alam Kasuksman itulah yang paling utama/penting dan berguna untuk selama-lamanya.

4.      Bebarapa bulan setelah adanya perintah mengubah isi dan istilah dalam teks sembahyangan, dihilangkannya istilah Adam Suci Utusan Tuhan Allah diganti dengan istilah Rama Resi Pran-Soeh, Panutan kemudian memerintahkan kepada anak-cucu, murid-muridNya termasuk juga kepada murid yang dekat dengan Beliau yang sudah katam supaya mencari "Dhalang Meng­ger kang duwe getih putih." (Dalang Mengger yang memiliki darah yang berwarna putih). Setelah itu bila para murid telah dapat menyaksikan, diperintahkan lagi untuk mencari Roh Suci yang telah ada sebelum dunia diciptakan dan sebelum nabi Adam diciptakan di dunia (turun ke dunia), Tidak lama kemudian diperintahkan untuk mencari Siapa yang menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya, Siapa yang menjadi asal muasal (bibit) dari umat manusia, asal muasal (bibit) dari binatang darat, binatang laut, kutu, bakteri, asal muasal (bibit) dari tanaman dan gunung-gunung yang semua itu harus dicari dan ditemukan di Alam Halus/Alam Kasuksman, jadi harus dengan cara olah kasuksman. Selanjutnya Panutan memerintahkan agar mencari Tuhan Allah dan siapa sebenarnya yang memiliki Cahaya itu? Satu dua murid yang dekat dengan Panutan sudah dapat menemukan jawaban dan menyaksikan sendiri di Alam Halus/Alam Kasuksman semua yang diperintahkan oleh Panutan, sehingga dapat memahami apa sebenarnya maksud Panutan memberikan cobaan/berbagai macam perintah tersebut. Setelah para murid Panutan dengan sungguh-sungguh dan dengan sepenuh hati melaksanakan perintah tersebut, maka terdapat banyak murid yang berhasil menemukan dan menyaksikan sendiri jawabannya di Alam Halus/Alam Mimpi/Alam Kasuksman/Alam Sasmita Maya/Alam Ghaib, jadi tidak menyandarkan pada kata orang, kata si A atau kata si B tetapi kataku (sebagai saksi yang melihat, mendengar, merasakan dan mengalami sendiri). Para murid yang sudah berhasil menyaksikan sendiri jawabannya di Alam Halus/Alam Kasuksman, kemudian pada datang menghadap Panutan. Kepada para murid yang pada datang menghadap, Panutan bertanya:”Sudah pada ketemu semua kan? Kan tidak pada pangling to? Apa ada yang bertemu Tuhan Allah?  Hanya bertemu siapa? Siapa yang memiliki Cahaya itu? Apa Tuhan Allah, atau siapa-siapa?” Semua yang menghadap dan sudah menyaksikan sendiri di Alam Halus/Alam Kasuksman menjawab:”Kenyataan yang kami saksikan Di Alam Akhir, Alam Kesucian, ternyata tidak bertemu dengan yang bernama Tuhan Allah, Disana kami tidak bertemu siapa-siapa kecuali hanya bertemu dengan Suksma Suci Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo, kami berani bersumpah atas hal ini!” Mulai saat itu juga diperintahkan untuk mengganti sebutan Tuhan Allah dengan RAMA PRAN-SOEH disesuaikan dengan kenyataan yang disaksikan di Alam Halus/Alam Kasuksman. Panutan bersabda:”Kalau kalian berkumpul dengan Saya seperti sekarang ini di Alam Fana (dunia), kalian menghadap saya yang berkedudukan sebagai Panutan yaitu Rama Resi Pran-Soeh Sastrasoewignjo; jika hal ini terjadi di Alam Halus/Alam Kasuksman, Suksma kalian menghadap Suksma Saya yang berkedudukan sebagai Utusan Rama Pran-Soeh yaitu Rama Resi Pran-Soeh, sedangkan bila hal ini terjadi di Alam Akhir/Alam Kesempurnaan/Alam Kesucian, Suksma Suci kalian menghadap Rama Pran-Soeh, bahkan bisa menyatu (manunggal) dengan Rama Pran-Soeh, hal itu dapat terjadi kalau kalian memang benar-benar sangat suci dan berkenan di hati Rama Pran-Soeh. Di Alam Antara dan Alam Kesucian kan juga memakai sebutan Rama-Rama seperti di Alam Fana (dunia)? Rama Pran-Soehlah yang memiliki Cahaya itu! Utusan itu ya UtusanNya Rama Pran-Soeh, Kalau Panutan itu ya Panutan dari cucu-cucuKu dan juga Panutan dari siapa-siapa, tetapi hanya bagi yang pada mau, Saya tidak menyuruh lho. Mendengar sabda Panutan seperti itu, para murid jadi semakin jelas dan terang pemahamannya, menambah semakin mantap keyakinannya, karena dari pengalaman sebelumnya banyak yang malah membingungkan, istilahnya saja dibuat yang muluk-muluk, yang canggih-canggih yang malahan membuat sulit dipahami.

5.      Menurut sabda Panutan setelah Beliau meneliti dengan seksama, nabi-nabi (rasul) mulai saat diciptakannya alam semesta sampai dengan saat Beliau dilahirkan ke dunia, selain Beliau hanya ada tiga nabi yang memahami kenyataan yang berhubungan dengan Tuhan Allah, Utusan dan Panutan. Pengetahuan ketiganyapun belum sempurna, belum memahami dengan jelas dan terang sampai Alam Akhir/Alam Kesempurnaan/Alam Kesucian. Hanya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo saja yang dikaruniai pemahaman, pengertian dan penyaksian yang lengkap semua hal seperti: Wahyu Sejatining Kakung/Putri, Wahyu Roh Suci sampai dengan Alam Akhir/Alam Kesempurnaan/Alam Kesucian.
Ketiga nabi dimaksud adalah:
1)      Nabi Khong Hu Cu: Beliau sudah mengetahui bahwa Alam Kesucian itu bulat (lingkaran), selanjutnya memerintahkan agar batu nisan untuk orang mati itu dibuat bulat (lingkaran).
2)      Nabi Isa Al Masih (Tuhan Yesus Kristus): mempunyai dasar/konsep Allah Tri Tunggal, Allah satu yang berpribadi tiga yaitu Allah Bapa (yang dimaksudkan berkedudukan sebagai Utusan), Allah Putra (yang dimaksudkan berkedudukan sebagai Nabi/Panutan)  dan Allah Roh Kudus (berkedudukan sebagai Tuhan Allah).
3)      Nabi Muhammad S.A.W: sebab ada istilah Allah-Muhammad-Rasul, Allah itu adalah Tuhan Allah, Muhammad di dunia ini berkedudukan sebagai Nabi/Panutan, sedangkan Rasul berarti Utusan.

Hanya sayangnya, menurut sabda Panutan, yang mengetahui pasti mengenai hal itu hanya Nabinya  sendiri, sedangkan para umatNya/murid-muridNya tidak pada tahu/paham bahwa Tuhan Allah itu sebenarnya adalah Suksma Suci Sang Nabi yang bertahta di Alam Akhir/Alam Kesempurnaan/Alam Kesucian, dikira dalam pemahaman mereka itu ada wujud yang lain, menurut anggapan mereka Suksma Suci Nabi itu wujudnya tidak apat digambarkan. Padahal sebenarnya ketiganya (Tuhan Allah, Utusan dan Nabi) itu adalah satu, yang saling berhubungan dan selalu berpisah maupun berkumpul. Kalau berada didunia (berkedudukan sebagai Panutan/Nabi), ketiganya menyatu, Kalau di Alam Antara/Alam Kubur/Alam Api Penyucian/Kandhawaru, hanya tinggal dua, dan di Alam Akhir/Akherat/Alam Kesempurnaan/ Alam Kesucian, tinggal satu saja. Hal ini cocok dengan kata-kata kiasan yang sering disampaikan oleh Panutan ketika  Beliau menyebarkan Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat di tahun 1921 sampai dengan 1937, Setiap kali Panutan melagukan gendhing sebagai berikut:”Sontoloyo angon bebek ilang loro, kari siji sing putih kang­go ing Gusti, ireng-ireng dhewe, kuning-kuning dhewe, putih-putih dhewe."(terjemahan:Sontoloyo, menggembala bebek hilang dua, tinggal satu yang putih yaitu untuk Tuhan, hitam-hitam sendiri, kuning-kuning sendiri, putih-putih sendiri). Yang dimaksud tidak lain adalah apa yang dialami sendiri oleh Panutan, yang juga ditularkan kepada seluruh murid-muridNya, yaitu pada saat sampai di Alam Akhir Suksma tinggal satu yang putih berkedudukan sebagai Tuhan, di Alam Hitam (dunia) masih ada tiga yang menyatu (sebagai Panutan/Nabi), di Alam Kuning masih ada dua yang menyatu yang berkedudukan sebagai Utusan, sedang yang putih tinggal sendirian di Alam Akhir/Alam Kesempurnaan.

6.      Panutan bersabda demikian:”Murid-muridKu harus bisa seperti Aku, kalau Aku bisa mi’rad, menembus ke langit ke tujuh, murid-muridKu harus juga bisa. Kalau Aku bisa menerima sabda/perintah Tuhan Allah, murid-muridKu juga harus bisa. Kalau Aku bisa dan sanggup berbuat suci karena sudah melihat dan mengalahkan hawa nafsuKu, murid-muridKu juga harus bisa melihat dan mengalahkan musuh dari suksma masing-masing, jadi dapat selalu berbuat suci!”.
Selain dari itu Panutan juga bersabda tentang Angger-angger Sebelas (Sebelas Perintah Tuhan) bab Larangan yaitu:”Jangan pada melanggar laranganKu yaitu jangan pada berbuat zinah, itu konsekuensinya dapat menerima hukuman/siksaan, Suksmanya bisa tanpa busana (telanjang bulat), kalau diturunkan lagi ke dunia (reinkarnasi) enggak bisa menjadi manusia lagi, tetapi menjadi binatang, Ingatlah ketika Nabi Adam mendapat hukuman, alat vital Beliau hanya ditutupi dengan dedaunan, karena Beliau melanggar larangan Tuhan, oleh karena itu, mengenai Ijab Roh (pernikahan yang mana si wanita sedang mengandung) yang berarti mengakui kandungan yang tidak sah, itu tidak boleh, karena hal itu memberi jalan/peluang/kesempatan kepada Jin/Ijajil/makhluk halus/setan, padahal setan itu melalui lubang jarumpun dapat menerobos/masuk menggoda, jadi melanggar sedikit saja larangan (lupa sedikit saja kepada) Tuhan, setan akan cepat-cepat menerobos untuk menggoda. Lagi pula dulu Saya pernah bilang:”kalau membangun rumah, misalnya bisa membangun rumah gedung sekalipun harus ada tiangnya, meskipun hanya satu atau dua, sedangkan bila yang dibangun bukan gedung tetap harus ada tiangnya dengan bahan seperti umumnya, karena coba mohonlah pada Tuhan, rumah yang tidak ada tiangnya itu siapa yang menempati? Orang yang mati dan suksmanya tidak dapat kembali kepada Tuhan (kesasar), di tempat hukuman itu, ada yang menempati rumah yang tidak ada tiangnya! Di kamar tidur, di atas pintu masuk kamar tidur, pasanglah simbol: anak panah yang berjumlah tujuh yang mengarah ke setengah lingkaran yang di dalamnya berisi huruf “A”. Apa yang diperintahkan oleh Panutan tersebut jangan hanya dibiarkan berhenti dalam tulisan atau buku ini saja atau hanya dibaca, tetapi benar-benar laksanakan, pasanglah simbol tersebut terbuat dari apapun, entah itu dari kayu, seng, besi, alumunium dan sebagainya di tempat sebagaimana diperintahkan oleh Panutan tersebut.
Simbol yang dimaksud adalah sebagai berikut:








***A***

BAB  XIX
MENJELANG WAFATNYA RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO


1.      Perintah Panutan untuk mengganti istilah sesembahan Tuhan Allah diganti dengan RAMA PRAN-SOEH segera dapat tersebar luas, sehingga sembahyangan juga diubah, istilah sesembahan Tuhan Allah diubah menjadi sesembahan Rama Pran-Soeh dan menjadi sebutan sehari-hari hingga menjadi kebiasaan. Mengenai istilah Tuhan Allah, Tuhan Yang Manon, Yang Suksma Kawekas, Kang Murbeng Dumadi, Yang Maha Kuasa, Hyang Widhi Wasa, Yahwe, Yehovah, dan lain-lainnya, beda bangsa beda sebutannya/istilahnya/bahasanya, hal itu hanya untuk memenuhi kebutuhan kesusasteraan serta untuk memberi tambahan keterangan  agar jelas yang dimaksudkan. Tentu saja hal itu (penggantian sebutan Tuhan Allah dengan Rama Pran-Soeh) pada mulanya selalu menjadi pertanyaan masyarakat, bahkan menimbulkan berbagai macam kecurigaan. Tetapi setelah digunakan setiap hari, lagi pula sering diberikan penjelasan berulang kali, sehingga sesembahan Rama Pran-Soeh tidak lagi menjadi pembicaraan di masyarakat, maka apa yang diperintahkan oleh Panutan dapat terlaksana dengan lancar. Perubahan sembahyangan tidak hanya mengenai istilah sesembahan saja, tetapi belum masuknya nama Panutan, belum masukknya kalimat: Saya/hamba menyaksikan dan mengakui dalam sembahyangan dan tentang kata mimpi, yang semuanya itu juga harus diakomodasi dalam sembahyangan, karena semua berdasarkan perintah dari Panutan. Selanjutnya sembahyangan segera disempurnakan. Panutan pernah mengatakan bahwa ketika Beliau meneliti keadaan anak-cucu, murid-murid Beliau di Alam Halus/Alam Kasuksman, Beliau melihat/mengetahui bahwa murid-murid yang berada di sekitar Godeyan pada terpikat/terbujuk dan dikuasai Jin/Makhluk Halus/Setan diangkut dan dibawa dengan kereta api dalam banyak gerbong, akan dibawa ke Gunung Himalaya. Untungnya ketahuan dan dilihat oleh Panutan, sehingga kereta api tersebut dapat dihentikan dan para murid yang berada di dalam gerbong dapat diselamatkan semua. Kemudian Panutan memerintahkan agar diadakan pementasan wayang kulit di daerah Godeyan, Beliau juga hadir disana dan memberikan nasehat sebagai berikut:”Anak-cucuKu pada memberi upah/imbalan apa kepadaKu, yang mempunyai pangkat Saya jaga pangkatnya, yang pada punya anak Saya pelihara dan Saya asuh anaknya, yang pada punya ternak Saya jaga ternaknya, ternyata tidak pada mencintai Saya, lupa kepada Saya, buktinya pada terpikat dan dikuasai oleh Jin dan akan dibawa ke Gunung Himalaya, untung ketahuan oleh Saya. Makanya sampai terjadi peristiwa seperti itu, karena anak-cucuku banyak yang belum menyaksikan dan mengakui di Alam Batin/Alam Kasuksman dengan benar-benar jelas mengenai Saya!” Oleh karena itu sembahyangan harus ditambah dengan kalimat (menggunakan kalimat)  menyaksikan dan mengakui.

2.      Panutan memanggil murid-muridNya yang terdekat untuk menghadap Beliau secara bergantian/bergiliran. Setelah pada menghadap, mereka diuji dengan berbagai macam perta-nyaan, diberi berbagai macam pesan, yang belum paham dijelaskan sampai benar-benar mengerti mumpung Beliau masih hidup, ilmu/pengetahuan lahir maupun batin yang dimiliki Panutan semuanya diberikan/disampaikan kepada para muridNya, jangan sampai ada keraguan apabila Beliau wafat, jangan sampai murid-muridNya pada ragu-ragu ketika mereka ditinggal wafat oleh Panutan. Sabda Panutan kepada murid-murid terdekatNya:”SMH Sirwoko dan Broto (Ong Sioe Gien) terlihat selalu mengikuti Saya kemana saja, juga selalu mengikuti ibu, makanya diminta fotonya untuk dipasang oleh ibu disana, sedangkan kalau Saya terdesak oleh musuh (menghadapai bahaya) di alam batin selalu diikuti oleh Martaradana, lha kalau Saya menyerbu musuh yang ikut Martowiyogho. Orang Jawa itu jangan lupa pada adat Jawanya, Kalau berpakaian adat Jawa yang lengkap di Alam Kasuksman/Alam Halus itu harus siap dengan senjatanya/mengenakan keris. Ada murid baru yang sedang belajar Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat dari bangsa Tionghoa, Sioe Han namanya, mencapai katam dengan jelas setelah  diberi petunjuk oleh ibu. Ia berniat belajar Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat karena ia baru saja ditinggal mati oleh ibunya dan  saudara-saudaranya; Ia sendiri juga sedang menderita sakit. Setelah mencapai katam, ia sangat setia kepada Panutan dan ibu. Setiap malam ia sering menghadap Panutan melayani berbagai macam hal layaknya seperti seorang hamba. Setiap Panutan bangun tidur di malam hari maupun di pagi hari, Sioe Han menghampiri, menuntun Panutan yang sudah berumur/tua naik turun tangga untuk pergi ke belakang (kamar mandi). Panutan berkata:”Sioe Han itu sangat memperhatikan saya, kesetiaannya di dunia ini ibarat Sirwoko dua”. Ketika ada muridNya yang sudah katam menghadap Beliau, menyela memohonkan untuk kesembuhan saudaranya yang sakit parah, Panutan marah:”Apa kamu tidak tahu, orang yang sakit itu sedang dihukum oleh Rama Pran-Soeh, lebih-lebih kamu orang yang sudah katam. Ia dihukum itu karena telah melakukan kesalahan, kamu membela orang yang salah karena kamu sejenis dengan orang yang berdosa!” Panutan sendiri jarang-jarang kambuh sakitnya, apalagi kalau kambuh hanya sebentar, paling hanya pusing beberapa jam, batuk hanya kadang-kadang saja. Hal itu adalah hal yang biasa dialami oleh orang yang umurnya sudah lebih dari 85 tahun. Kalau Panutan mengetahui ada murid-muridNya yang melanggar peraturan-peraturan/perintah Rama Pran-Soeh (Angger-angger) pasti memarahi mereka dan mereka tidak diperkenankan menghadap Beliau. Kalau ada yang memaksa untuk menghadap, Beliau tidak mau menemui dan malah sering ditinggal pergi. Beliau selalu dapat merasakan dan mengetahui jika ada muridNya yang selingkuh, berbuat tidak suci, melanggar angger-angger. Mengenai hal ini Panutan mempunyai dasar yang jelas dan akurat. Ketika pada siang hari Ong Sioe Gien, Darmawasita dan Pudjosoewito menghadap Panutan untuk membicarakan mengenai perintah Beliau mengubah sembahyangan dengan menambah kalimat menyaksikan dan mengakui, Panutan bersabda:”Maksud yang paling penting dari itu adalah agar semua pada menyaksikan, dan setelah menyaksikan baru pada mengakui!”

3.      Panutan menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pemerintah, mengajukan pensiun, minta berhenti menjabat sebagai Carik Desa Jagalan, karena merasa sudah tua, kalau sampai tidak dapat menyelesaikan pekerjaanNya akan merugikan orang banyak satu desa. Dua bulan setelah pengajuan pensiun, Pemerintah mengabulkannya. Panutan memberikan perintah yang khusus mengenai Astana Waja dan Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh Tlaga Maharda  demikian:”
a.       Halaman Astana Waja itu disebut Asmara Data, yang boleh masuk kesana hanyalah orang yang sudah katam, sedangkan yang belum katam tidak diperkenankan.
b.      Orang laki-laki tempatnya di sebelah kanan lurus dengan tempat calon makamKu, sedangkan untuk  perempuan di sebelah kiri lurus dengan makam ibumu.
c.       Di Asmara Data, tujuannya hanya untuk bersembahyang, jangan sampai pada menyembah/ berbakti kepada  batu nisan yang ada di makam.
d.      Pot tanaman yang dipasang oleh Ong Sioe Gien di sebelah kiri supaya ditanami bunga yang berwarna putih, sedangkan pot tanaman yang dipasang oleh SMH Sirwoko di sebelah kanan supaya ditanami bunga yang berwarna merah muda/pink/merah.
e.       Pada pintu Astana Waja sebelah atas, di bawah simbol anak panah berjumlah tujuh yang mengarah pada setengah lingkaran yang berisi huruf A, ditulis kalimat kiasan (Jawa: sengkalan) yang menunjukkan/mempunyai arti tahun dilaksanakannya peletakan batu pertama pembangunan Astana Waja, yang bunyi kalimatnya adalah:”Katon Sumare Jawata Luwih”, artinya Tahun 1957.
f.        Panutan bernubuat (Jawa: paring pameca) kalau tiang utama Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh yang empat akan berasal dari satu pohon yang sama.
g.       Di atas pintu Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh supaya dipasang arca/patung burung Manyar Seta, yang menjadi lambang ketenteraman/kesucian.
h.       Di kolam yang terletak di depan Bale Suci Agung Gedung Pran-Soeh, yang di sebelah kiri supaya dipasang arca/patung  Ditya Ganggaskara yaitu arca seekor harimau yang mata kirinya buta, sedang yang di sebelah kanan agar dipasang arca/patung Naga Wasesa yaitu patung seekor naga. Maksud dipasangnya patung Ditya Ganggaskara yaitu sebagai tempat bagi orang yang ingin memperoleh kedudukan/jabatan, sedangkan Naga Wasesa yaitu sebagai tempat bagi orang yang ingin memperoleh kekayaan/harta-benda.
i.         Diperintahkan dalam membuat Bale  Suci yang terutama mendesign menentukan bentuk arsitektur dan cara pembuatannya harus dilakukan oleh Martadimeja dan Sayuti. 


***A***



BAB  XX
WAFATNYA  RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO


1.      Ketika itu, setiap kali Panutan duduk di hadapan anak-cucu, murid-muridNya sering berkata bahwa duniaNya sudah terang, mengenai masalah lain-lainnya itu  terserah pada kehendak Rama Pran-Soeh. Beliau bersabda demikian:”Ibarat tanaman tembakau, Saya ini kan tinggal kelap-kelip (menunggu ajal saja)!” Semuanya sekarang ini sudah sesuai/benar, mulai dari sesembahannya, ilmunya dan sembahyangannya sudah selesai. Hanya sembahyangan nomor lima yang masih kurang sesuai/pas sedikit, diubah agar lebih sesuai/pas juga baik, tetapi seandainya tidak diubahpun juga tidak apa-apa, karena yang tahu kan hanya kita sendiri!” Setelah itu Panutan menceriterakan berbagai macam hal, dan yang berkenan di hatiNya adalah cerita/lakon Bratanirmaya Racut. Nanti kalau sudah tiba saatnya lakon Bratanirmaya Racut pasti akan banyak yang menangis. Panutan bersabda agar anak-cucu, murid-muridNya sering menghadap ibu, karena beliau sering sekali bertemu (jumbuh) dan dekat dengan Rama Pran-Soeh. Mengenai kejelasan pemahaman ibu tentang kasuksman, yaitu seberapa jauh ibu telah menyaksikan dan memahami Alam Kasuksman, Panutan sering mengatakannya baik kepada murid-muridNya maupun kepada orang lain yang datang menghadap Beliau, Panutan dengan jelas dan tegas merasa bahwa ibu lebih ahli dalam hal kerohanian/kasuksman dibandingkan para muridNya. Pada waktu itu adanya pentas wayang kulit yang membawakan ceritera/lakon Bharatayuda yang digelar di Sasono Hinggil, lapangan Kraton/Kerajaan Yogyakarta sedang hangat menjadi pembicaraan umum/masyarakat, Panutan bersabda:”Aku ini kan  sudah mulai bharatayuda!”, Para anak-cucu, murid-murid yang sedang menghadap Panutan belum/tidak dapat menangkap apa maksud Beliau menyampaikan sabda tersebut, yang sangat mengherankan bahwa Panutan sekali-sekali hanya melihat ke bawah saja tidak mau melihat kepada anak-cucu, murid-muridNya yang sedang menghadap, lebih-lebih kepada anak-anakNya sendiri. Murid-murid-dekatNya yang bertempat tinggal jauh dari desa Jagalan, Muntilan, semua dipesan untuk menghadap, dan setelah datang menghadap diberitahu berbagai macam hal/dinasehati dan dipandang sebentar, juga sering melihat ke bawah dengan suara yang berat, susah keluar, sangat berbeda dengan adat kebiasaanNya.

2.      Sebenarnya para murid-dekat Panutan sudah banyak yang menerima sabda/tanda dari Rama Pran-Soeh bahwa Panutan akan segera wafat, hal itu tergambar di Alam Halus/Kasuksman. Ong Sioe Gien di Alam Halus melihat Panutan kembali ke rumah lama. Martaasmara menyaksikan Panutan kemana-mana sudah bersama ibu almarhumah, Martaradana dipamiti (menerima ucapan selamat tinggal), Martosoewito merasa sudah mengangkat jenazah Panutan,  Darmawasita menuntun, menyertai Panutan pulang yang kemudian Panutan menghilang, Pak Madhul dan temannya diperintahkan menunggu kalau Panutan sudah tiba waktunya pulang, dan masih banyak lagi yang menerima tanda/gambaran yang mempunyai makna/arti bahwa Panutan akan segera wafat. Bahkan SMH Sirwoko sendiri mengumumkan dalam rapat: Panutan jangan sampai merasa kecewa mengenai masalah apa saja, perintahNya harus dilaksanakan. Mengenai hari Raya/Besar, setelah melalui diskusi yang intens, yang serius dan ramai, ditentukan ada empat, yaitu:
1)    Hari kelahiran Panutan
2)    Hari Turunnya/Diterimanya Wahyu Sejatining Putri
3)    Hari Turunnya/Diterimanya Wahyu Sejatining Kakung dan Wahyu Utusan/Wahyu Roh Suci
4)    Hari WafatNya Panutan (hal ini akan ditentukan kemudian karena pada saat itu Panutan masih hidup.
Mengenai keputusan Hari Raya/Hari Besar, hal itu sudah disampaikan oleh Pudjosoewito ketika datang menghadap karena dipanggil oleh Panutan, kemudian juga sudah diulangi oleh Ong Sioe Gien, yang semua itu disetujui dan berkenan di hati Panutan. Panutan menyampaikan sabda penting yang berhubungan dengan kejadian yang dialami oleh orang tua dari muridNya yang disayangi (karena memang besar pengorbanannya) yang mati gantung diri/bunuh diri. Panutan dengan sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh perhatian/kekuatanNya, meneliti hal tersebut (orang mati bunuh diri), kemudian bersabda:”Orang mati bunuh diri itu di Alam Batinnya memang memiliki kekotoran yang mendasar (Jawa: tetimbrah), selama belum dibersihkan, keturunan orang tersebut juga akan memiliki kekotoran yang mendasar juga. Untuk membersihkan kekotoran yang mendasar tersebut, orang harus belajar Ilmu Tuhan Tiga Perangkat hingga mencapai katam, kalau orang sudah katam, maka kekotoran yang mendasar tersebut sudah hilang hingga keturunannya tidak memiliki kekotoran yang mendasar lagi. Tetapi kalau orang tersebut belum katam, maka keturunannya tetap akan memiliki kekotoran yang mendasar. Oleh karena itu bagi murid-muridKu yang mempunyai leluhur yang tercemar kekotoran yang mendasar, mohonlah kepada Rama Pran-Soeh untuk bertemu dengan induk/sumber/rajanya tidak terkena mati bunuh diri, makanya kalau menjodohkan anak itu periksalah dengan teliti, apakah calon menantu kita itu keturunan dari orang yang memiliki kekotoran mendasar atau tidak (pertimbangkan dengan benar bibitnya). Mengenai tetimbrah, bukan saja hanya mati bunuh diri, tetapi masih banyak yang lainnya yaitu: penyakit gila, penyakit ayan, dan penyakit lepra/budhug.
 Ketika ada gempa bumi di tahun 1957, Panutan memerintahkan kepada murid-muridNya agar memohon keterangan kepada Rama Pran-Soeh: gempa bumi itu terjadi karena pengaruh siapa dan kejadiannya bagaimana?
 
3.      Pada Malam Minggu Pon, terdapat banyak sekali para murid yang pada datang menghadap Panutan, jumlahnya kurang lebih tigaratus orang, karena pada waktu itu ada murid yang baru mencapai katam dan ada duapuluh murid katam yang akan menerima dunungan.  Sebelum dan sesudah dunungan Panutan memberi penjelasan mengenai banyak hal yang intinya para murid agar selalu ingat dan setia kepada Rama Pran-Soeh, jangan berkecil hati, karena Utusan Rama Pran-Soeh akan selalu menyertai, melindungi, menuntun dan membalas segala pengorbanan kadang golongan (murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo). Pada pagi harinya Panutan pergi ke sawah, pulangnya siang seperti adat kebiasaan Beliau menyelesaikan memanen tembakau agar jangan sampai kehujanan. Pada sore harinya, Beliau berkata kalau badanNya  terasa gerah (kepanasan), ibu akan memanggilkan tukang pijit tetapi Panutan tidak memperkenankannya. Pada pagi berikutnya Panutan menunggui anak-cucu yang sedang merajang/mengiris-iris daun tembakau di rumah sebelah selatan, sabdaNya:”Cepat diselesaikan merajang persediaan daun tembakau yang sudah matang, nanti hari Kamis dan Jum’at saja berhenti dulu karena akan banyak kedatangan tamu, Saya sedang punya hajat.” Para murid yang sedang mengiris-iris daun tembakau menyanggupi sambil bertanya dalam hati mereka:”Akan ada kejadian apa kok Panutan berkata seperti itu?”Ibu yang juga sudah menerima gambaran/tanda/pemberitahuan dari Rama Pran-Soeh di Alam Halus, dan mengetahui cara Panutan bersembahyang menjelang tidur yang berbeda dengan kebiasaan Beliau, yaitu mendengar berkali-kali Panutan menyampaikan: “Mari Rama Pran-Soeh, Saya hantarkan pulang!” Setelah selesai sembahyang, ibu menyela bertanya:”Panutan, maunya bagaimana?” JawabNya:”Tidak apa-apa, kamu isteriKu, yang memang sejak dulu setia kepadaKu. Kamu jangan sedih kalau Saya tinggal, kan sudah dibuatkan rumah oleh anak-cucu, meskipun kecil tetapi semuanya sudah terbuat dari batu, sehingga awet dan tidak mudah rusak. Dan kamu jangan khawatir, Saya sudah mewariskan begitu banyak murid-murid, tolong semua Kamu urus!” Panutan dipersilahkan tidur dan disarankan untuk tidak banyak berfikir, karena badan Beliau sedang sakit. SabdaNya:”Aku tidak apa-apa, hanya merasa gerah saja, kalau mengenai batuk itu soal biasa karena memang sudah tua!” Hari Selasa dan Rabu, Panutan tidak keluar dari rumah, anak-anak Panutan diberitahu kemudian pada datang menghadap, dipandang sebentar/sekejap, Panutan terus melihat ke bawah saja. Hanya kepada anakNya yang bernama R. Wenang Panutan mengatakan kalau hidup di dunia ini tidak mudah dan memang berat, sedangkan kepada anakNya yang bernama R. Mukri Panutan berpesan agar  saat Beliau wafat supaya dikenakan pakaian Jawa Deles (Mataraman) lebih dulu, setelah itu dikenakan jubah, baru boleh dibungkus dengan kain kafan yang hanya ditutupkan saja (covered), jadi tidak diikat.  Ibu memanggil Pak Madhul dan teman-temannya disuruh tuguran (begadang sambil berdoa) karena ibu menerima perintah Rama Pran-Soeh yang sama seperti yang diterima Pak Madhul dan teman-temannya, semua segera melaksanakannya. Meskipun Panutan agak sakit, Beliau melakukan pantang garam (mutih), tidak makan makanan yang asin, mengambil nasi putih saja ditempatkan pada sebuah cawan/lepek, akan ditempatkan pada piring saja Beliau tidak berkenan, lagi pula makannya hanya pada siang hari saja, seperti adat kebiasaanNya. Ibu sering menawarkan berbagai macam makanan, malahan dimarahi oleh Panutan karena jadi godaan bagi Beliau sehingga disuruh menyingkir supaya istirahat saja. Panutan berkata bahwa diriNya tidak apa-apa hanya badanNya  terasa gerah saja. Pada Malam Kamis Pahing, tanggal 24 Oktober 1957 atau tanggal 30 bulan Maulud tahun 1889 kurang lebih jam 01:00 WIB Panutan wafat kembali ke Alam Keabadian dengan tenang dan damai, membuktikan sikap pasrah dan ikhlas hatiNya. Pada waktu itu, setelah pada tenang hatinya bagi para murid yang melakukan tuguran pertama-tama yang harus dilakukan adalah memberi/mengirim  kabar kepada putra-putri Panutan yang jauh tempat tinggalnya, para keluarga, kenalan, handai taulan dan kepada seluruh murid Panutan dimanapun mereka berada. Menjelang wafatNya Panutan, sudah selama tiga hari para kadang golongan (murid-murid Panutan)  merasa tidak tenteram hatinya, tidak enak badan, tidak enak makan dan tidak enak tidur, badan terasa meriang, gerah dan panas. Ketika menerima kabar tentang wafatNya Panutan, meskipun sebelumnya telah menerima gambaran/tanda di Alam Kasuksman, para murid merasa sangat terkejut karena tidak mendengar kabar sakitNya Panutan, lebih-lebih bagi murid-murid yang menghadap Beliau pada hari Malam Minggu Pon. Yang pada terima gambaran/tanda di Alam Halus pada menyesal kenapa tidak segera menyempatkan waktu berkunjung menghadap Panutan, maksud hatinya mohon diundur siapa tahu Rama Pran-Soeh berkenan/mengijinkan. Murid-murid lainnya ada yang baru tahu bahwa dalam waktu empat puluh hari diperintahkan untuk menanam pohon Bestru ternyata itu merupakan perintah kiasan yang mengandung arti jangan kabesturon (jangan ketiduran/lupa pada Panutan), dan ketika beberapa hari sebelum wafatNya Panutan terjadi gempa bumi yang mana para murid diperintahkan untuk bertanya pada Rama Pran-Soeh: dari pengaruh siapa terjadinya gempa bumi tersebut dan bagaimana kejadiannya. Ternyata semua itu pengaruh dari akan wafatNya Panutan. Semuanya pada menyesal, sepertinya Panutan memang  ingin pergi/wafat diam-diam agar tidak ditahan/dipegangi/dihalangi  oleh murid-muridNya. Semuanya itu memang mengherankan, saling mengabari, saling bersurat, menelpon, mengirim telegram, mengumumkan lewat Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta melalui berita keluarga, sehingga berita wafatNya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo cepat sekali tersebar. Oleh karena itu banyak sekali orang yang datang melayat, ikut berbela sungkawa, Taksi, bis dan kereta api yang menuju Muntilan, penumpangnya membludak tidak muat semuanya, karangan bunga tidak terhitung jumlahnya, anak-cucu, keluarga, handai taulan dan masyarakat lainnya, lebih-lebih murid-murid Panutan seperti ditumpahkan semua memenuhi halaman-halaman di sekitar rumah Panutan, di jalan-jalan desa Jagalan hingga sampai Astana Waja. Penanganan jenazah tidak mengecewakan, setelah dimandikan kemudian dikenakan pakaian sebagaimana pesan Panutan kepada putraNya, R. Mukri. Yang mengherankan, jenazah Panutan hanya seperti orang tidur saja, wajahNya bersinar, tubuhnya lemas, sehingga dengan sangat mudah dikenakan pakaian Jawa Deles (Mataraman), kemudian dikenakan jubah, setelah itu baru dibungkus dengan kain putih rangkap sebelas yang hanya ditutupkan saja (tidak diikat), kemudian dimasukkan ke dalam peti. Jenazah diinapkan karena menunggu datangnya putra-putra Beliau yang tinggal di Blitar dan Jakarta. Untuk membuat senang putera-puteri Panutan, setelah jenazah disembahyangkan di rumah sebelah utara kemudian dibawa ke rumah lama di sebelah Selatan. Para sesepuh kelompok/organisasi yang mengatur bagaimana tata tertib jalannya jenazah nanti. Jalannya jenazah dari rumah sampai tiba di Astana Waja sudah diatur demikian: di sebelah kanan jalan berdiri kaum laki-laki, di sebelah kiri jalan berdiri kaum wanita yang berbaris empat jalur tanpa jarak dan tidak diperbolehkan pindah dari tempatnya berdiri, agar semua dapat melihat jenazah Panutan. Setiap jarak dua puluh meter, disediakan pemuda yang mengenakan pakaian serba putih enam orang banyaknya yang akan bertugas memikul jenazah. Setelah yang dinanti-nanti tiba dan segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan teratur dan rapi, maka peti jenazah yang dihias dengan sangat indah diangkat oleh para putra Panutan diterima oleh  para sesepuh kelompok/organisasi, digotong untuk dibawa ke halaman, seterusnya dipanggul berganti-ganti oleh para pemuda  menuju Astana Waja. Yang mengantar jenazah diatur berbaris dengan mengenakan pakaian serba putih, lagi pula tidak ada pemandangan yang tidak semestinya, sehingga menciptakan suasana yang sejuk dan prihatin, ikut berbelasungkawa bagi yang wafat dan untuk keluarga yang ditinggalkan. Di Astana Waja sudah diatur rapi, sehingga untuk selanjutnya jenazah segera disemayamkan dengan hati-hati dan dengan penuh hormat, hingga selesainya upacara tidak ada halangan sedikitpun, kecuali hanya melayangnya rasa hati ditinggal pergi yang membuat tubuh tanpa daya lagi. Perlu diketahui bahwa di sawah-sawah, di atas genting rumah-rumah di sekitar Astana Waja dipenuhi masyarakat umum yang ingin melihat jenazah Panutan; Ada juga sebagian orang yang  berniat ingin memperoleh berkah/anugerah.
Selain para murid yang ditugaskan untuk melakukan tuguran, tentu saja hanya beberapa orang, yang lainnya pada pulang ke rumah masing-masing dengan hati yang berat, sedih dan patah karena ditinggalkan oleh pujaan hati mereka. 




***A***

BAB  XXI
SETELAH  WAFATNYA RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO


1.      Para sesepuh kelompok/organisasi mengumumkan bahwa sejak tanggal wafatNya Panutan hingga hari ke sebelas, para murid Panutan dianjurkan supaya lebih intens/giat lagi melakukan tapa/brata, melakukan tuguran di Astana Waja dan di rumah ibu/Panutan bahkan tuguran tersebut dilanjutkan sampai akhir hari sugengan Panutan. Meskipun secara lahiriah merasa ditinggal Panutan dimana Kadang Golongan sudah tidak bisa lagi berbicara dengan Panutan di dunia, tetapi di Alam Halus/Alam Mimpi/Alam Kasuksman/Alam Sasmita Maya, kalau benar-benar berusaha/intens, bertindak jujur dan suci, dan melakukan tapa brata dengan sungguh-sungguh, maka pasti akan dapat bertemu (Jawa: jumbuh) dengan Suksma Suci Panutan yang berkedudukan sebagai Utusan yang bernama Rama Resi Pran-Soeh. Hal demikian itu tidak selalu setiap memohon untuk bertemu dengan Suksma Suci Panutan (Utusan)  kemudian dapat bertemu, tergantung budi pekerti orang yang memohon tersebut.  Ibarat timbangan, kalau barang yang ditimbang beratnya satu kilogram, maka ukuran anak timbangan (Jawa: bandul)-nya juga harus satu kilogram; Ibarat harga barang, kalau harga satu kilogram beras misalnya delapan ribu rupiah, dan kita hanya punya uang tujuh ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah, maka kita tidak akan bisa mendapatkan beras tersebut, meskipun hanya kurang satu rupiah. Sejak ketika mulai menyebarkan ilmuNya untuk  pertama kalinya, Panutan bersabda kepada para muridNya  bahwa Utusan Rama Pran-Soeh itu memiliki Suksma Abadi/langgeng yang tidak dapat rusak dan tidak terkena hukuman dari Rama Pran-Soeh (bebas hukuman).

2.      Mulai hari Sugengan yang pertama sampai dengan hari Sugengan yang terakhir, wujud sembahyangan hanya berupa menghaturkan terima kasih kepada Rama Pran-Soeh, yang telah mengirim Panutan ke dunia hampir sembilan puluh tahun lamanya yang membuat umat manusia yang percaya kepada Beliau lalu ingat dan menyembah kepada Rama Pran-Soeh. Bersamaan dengan hari Sugengan yang ke sebelas, batu nisan Panutan dipasang sekalian, tingkatnya/lapisannya berjumlah sebelas, itu merupakan tingkat/lapisan yang paling banyak. Di bawah Panutan lapisannya hanya sembilan tingkat seperti yang dipasang pada batu nisan almarhumah ibu.

3.      Sepeninggal Panutan, tidak ada satupun harta warisanNya yang jadi masalah, lebih-lebih yang menjadi rebutan,  sengketa ataupun pertengkaran. Semua anak dan ahli waris Beliau talah memperoleh bagian dengan tertib dan adil tanpa harus dibuat adil. Sawah dan pekarangan (tegalan) sudah dibagi-bagikan lebih dahulu sebelum Panutan wafat, yaitu sewaktu Beliau masih hidup. Warisan yang berwujud pusaka dilestarikan sebagaimana perintah Beliau yang telah disampaikan sebelumnya. Oleh karena itu, mengenai warisan, apa yang dilakukan Beliau perlu digunakan sebagai contoh untuk menjaga jangan sampai terjadi pertengkaran/sengketa/rebutan warisan antar saudara/keluarga, lebih-lebih jangan sampai berperkara di pengadilan, sampai diatur oleh pemerintah, diupayakan agar dapat diatur/diselesaikan sendiri yang seadil-adilnya. Perlu diingat kalau akan membagi warisan supaya jangan dibagi semua, harus masih  disisakan rumah atau tanah untuk tempat tinggal orang tua (bapak atau ibu), karena meninggalnya suami isteri itu pada umumnya tidak bersamaan waktunya, entah suaminya lebih dulu atau isterinya yang lebih dulu.
  
4.      Ibu menerima perintah dari Rama Pran-Soeh agar pembangunan Bale Suci Pran-Soeh diselesaikan secepatnya, karena Astana Waja sudah dipakai untuk tempat bersemayamnya mendiang Panutan dan ibu. Tentu saja para kadang golongan segera mengadakan gerakan untuk mengumpulkan dana sebagai biaya untuk dapat segera menyelesaikan pembangunan Bale Suci Pran-Soeh menunaikan perintah Rama Pran-Soeh. Tidak lama setelah perintah tadi diterima, tiang utama (Jawa: saka guru) Bale Suci Pran-Soeh didirikan dengan upacara sembahyangan dan tirakatan. Yang sangat mengherankan empat tiang utama dibuat dari kayu yang berasal dari satu pohon, persis seperti nubuat Panutan sebelumnya. Pada saat tibanya hari sugengan Panutan yang terakhir yaitu hari yang ke tiga ratus tiga puluh dari saat wafatnya Panutan, Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh sudah teduh (seluruh atapnya sudah terpasang), dapat digunakan untuk upacara dengan tenang dan tenteram meskipun di musim hujan sekalipun dimana banyak turun hujan dengan deras.
































***A***
BAB  XXII
ARTI PENTING (TUJUAN) RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO
 TURUN (LAHIR) KE DUNIA


Kalau kita mengingat sejarah perjalanan hidup Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, lebih-lebih bila dihubungkan dengan Wahyu-wahyu yang diterima oleh Beliau serta perintah-perintah Rama Pran-Soeh, juga tapa brata (berpuasa, pantang memuaskan hawa nafsu dan menjaga perilaku agar selalu suci, jujur dan benar) dan kesengsaraan yang dialami Beliau sejak kecil hingga menjelang wafatNya, yang semua itu dijalani karena membulatkan tekad untuk melaksanakan perintah Rama Pran-Soeh agar dapat melepaskan/membebaskan seluruh umat manusia yang percaya kepadaNya dari kesengsaraan.
Arti penting (tujuan) Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo turun (lahir) ke dunia ini adalah sebagaimana tersebut di bawah ini:
1.      Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo lahir di dunia ini dari keluarga yang rendah jabatannya dan susah hidupnya, bila dibandingkan dengan ketika Beliau lahir ke dunia di zaman dulu  sebelum dilahirkan saat ini.
2.      Beliau melaksanakan tapa brata menjalankan perintah Rama Pran-Soeh  saja selama tiga puluh satu tahun yaitu mulai dari tahun 1890 sampai dengan tahun 1921 Masehi, itupun terus dilanjutkan hingga menjelang wafatNya (tahun 1957), hanya untuk memperjuangkan keselamatan dan ketenteraman seluruh umat manusia yang percaya kepadaNya.
3.      Beliau selalu menyerahkan seluruh hidup dan matiNya kepada Rama Pran-Soeh (ikhlas kalau sampai meninggal dunia), dan juga selalu terancam bahaya kematian. Ikhlas kalau sampai mengalami kematian itu ditunjukkan pada saat Beliau menghadapi/ingin mencapai sesuatu yang sangat penting seperti misalnya: saat turunnya (diterimaNya) Wahyu Sejatining Putri, Wahyu Sejatining Kakung, dan pada saat membela para muridNya yang sedang ditimpa masalah berat atau terancam kematian. Seperti halnya peristiwa di desa Tanabaya di sebelah barat kota Magelang, di desa Tingal, Borobudur, dan di rumah Beliau sendiri di tahun 1948 dan 1952. Panutan selamat dalam menghadapi semua peristiwa tersebut, karena memang Suksma Suci Beliau yang berkedudukan sebagai induk/sumber dari segalanya ya sumber/induk keselamatan, kesehatan, ketenteraman hidup dan sebagainya. Kesengsaraan dan kematian yang disebabkan oleh perbuatan jin/ijajil/setan tidak dapat menyentuh pribadiNya, kecuali kesengsaraan dan kematian yang berasal dari kodrat kehendak Rama Pran-Soeh. Keadaan di dunia ini hanya ada dua macam seperti: adanya dorongan /kehendak untuk berbuat baik atau jahat, ada kaya dan miskin, ingat dan lupa, demikian seterusnya. Pada umumnya manusia membutuhkan keselamatan dan ketenteraman baik lahir maupun batinnya, sedangkan di dunia itu ada berbagai macam keadaannya seperti adanya bencana alam, perang dan wabah berbagai macam penyakit. Keyakinan/kepercayaan manusia di dunia sekarang ini: banyak yang sudah percaya kepada Tuhan (Rama Pran-Soeh), ada yang masih menyembah berhala, ada yang masih percaya pada takhayul, dan ada juga yang tidak percaya kepada (adanya) Tuhan. Bagi manusia yang menyembah Tuhan, ada yang menggunakan cara-cara tertentu menurut keyakinan masing-masing orang, tetapi ada juga yang lupa menyembah Tuhan karena hanya lebih mementingkan mencari harta benda/kekayaan. Sedangkan manusia yang tidak percaya kepada Tuhan, hanya mendasarkan pada keadaan duniawi yang dapat ditangkap dengan panca indera melalui bantuan alat ataupun tidak. Orang yang tidak percaya kepada Tuhan tentu saja juga tidak memikirkan bahwa orang yang sudah mati itu akan masuk ke alam/dunia lain, atau tidak peduli apakah suksmanya akan beruntung atau celaka nantinya, asal di dunia dapat hidup berkecukupan dan dapat memenuhi semua kesenangannya (menuruti hawa nafsunya). Rama Resi Pran-Soeh sering bersabda:”Rama Pran-Soeh itu tidak membutuhkan apa-apa dari para umat, kecuali hanya karena cintaNya kepada Umat. Saya turun (lahir) ke dunia ini hanya menagih cinta-kasih dari para umat, agar pada ingat mencintai Rama Pran-Soeh. Makanya saya dijadikan manusia yang paling rendah, menderita kemiskinan itu agar banyak yang berani menemui  dan dekat dengan Saya, yang berarti akan banyak pula orang yang mencintai Rama Pran-Soeh.  Sampai Saya menjalani berteriak-teriak dari dulu hingga sekarang, sepeti akan pecah gendang telinga Saya, itu semua Saya lakukan karena begitu besar cinta Saya kepada anak-cucu, murid-muridKu, agar jangan sampai salah jalan (kesasar) suksmanya, lebih-lebih dihukum atau disiksa. Saya bertapa brata terus itu untuk siapa kecuali hanya untuk anak-cucuKu! Saya bela-belain di tengah-tengah hari kepanasan berkeringat mengolah sawah, yang untuk Saya sendiri seberapa sih! Yang Saya pikirkan kan anak-cucuKu, supaya sewaktu datang ke rumahKu tidak kelaparan. Makanya kadang Saya menangis itu kan karena cinta dan belas-kasihKu, karena Saya dikodratkan oleh Tuhan dapat menyaksikan/mengetahui suksma siapa saja yang kesasar, yang sedang kena hukuman atau disiksa.  Saya melulu hanya cinta saja kok kepada anak-cucuKu, tidak punya maksud lain, kalau Saya sampai mempunyai maksud jahat/membohongi atau  menipu-daya anak-cucuKu, biarlah Suksma Saya diganti menjadi Nyawa Tokek saja!” Menurut sabda-sabda dan perkataan-perkataan Beliau tadi, dan melihat keadaan serta segala macam yang dialami dan dirasakan dalam hati para murid Panutan, secara sangat jelas menyatakan/memberitahukan bahwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo turun/lahir ke dunia ini untuk melaksanakan/menjalankan perintah Rama Pran-Soeh mengingatkan para umat agar dapat mencintai Rama Pran-Soeh. Hanya orang yang bebal/ketiduran lupa pada Rama Pran-Soeh saja yang tidak percaya dan tidak mau merespon/menanggapi cinta kasih Rama Pran-Soeh dan tidak mempedulikan turunNya/ lahirNya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosowignjo  ke dunia. 
















***A***
BAB  XXIII
KEWAJIBAN RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO
TIMBUL (LAHIR) DI DUNIA


1.      Kewajiban menolong  dan melindungi
Berlindung itu dapat diperoleh kalau dekat dengan Yang Melindungi, yaitu Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Sewaktu mengalami kesulitan, sakit dan rintangan, bagi orang yang belum katam Ilmu Tuhan Allah Tiga Perangkat, datang menghadap Panutan memohon pertolongan agar dapat keluar dari kesulitan/persoalan apapun yang sedang dihadapi. Beliau bersedia dengan tulus dan ikhlas lahir dan batin memohonkan kepada Rama Pran-Soeh. Bagi orang yang sudah katam Ilmu Tuhan Allat Tiga Perangkat, bisa memohon sendiri, selama permohonannya sungguh-sungguh dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, dan hanya berfokus kepada apa yang dimohonkan, di Alam Halus dapat bertemu menghadap Suksma Suci Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, itu berarti memperoleh perlindungan atau pertolongan.

2.      Kewajiban menebus dosa, menghibur, mengajar/mendidik dan memberi contoh
Orang yang belajar Ilmu Tiga Perangkat dan sudah bisa mencapai katam, itu berarti dosa bawaan dan dosa yang dibuat sejak kecil sampai orang tersebut mencapai katam, seluruhnya telah ditebus, diampuni, dibersihkan. Tetapi berhubung manusia hidup itu mempunyai hawa nafsu/Nyawa/Musuh/Perintang Suksma/Penggoda sejak di dunia hingga di Alam Kubur, yang mana Nyawa itu selalu mengajak berbuat terkutuk, dusta, berbuat nista, intinya dorongan untuk berbuat jahat itu adalah dorongan dari si Nyawa/setan. Nyawa dicari hingga ketemu dan melihat wujud aseli dari sumber dorongan untuk berbuat jahat itu, atau yang selalu merasa was-was itu, tidak untuk dibunuh, tetapi cukup dikalahkan saja sokur kalau bisa dikuasai mau diperintah. Nyawa itu jangan dibunuh, karena kalau dibunuh si raga (badan fisiknya) juga akan bisa mati. Nyawa, kalau didunia menjadi pembantu tetapi jpada saat ajal tiba/sewaktu meninggal jadi musuh/perintang/penghalang/penjajah. Bagi kadang golongan (murid-murid Panutan) yang sedang mengalami kesulitan/gelap batinnya/masalah apa saja, jasmani/pribadi Rama yang masih hidup di dunia ini  dapat memberikan pertolongan dengan cara mendidik/mengajar/memberikan pengetahuan lahir maupun batin. Bagi murid-murid Panutan yang dapat bertemu Suksma/Roh Panutan di Alam Halus/Alam Kasuksman/Alam Mimpi, itu berarti  lepas dari kegelapan batin/kesusahan dan kesulitan lainnya. Intinya tidak ada pertanayaan apa, bagaimana, dimana, karena semua masalah telah selesai/berakhir.
Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo memberi contoh atau tauladan kepada para muridNya, seperti:
a.      Kesetiaan Beliau kepada Rama Pran-Soeh yang bersedia dengan rela menanggung beban/derita apapun untuk melaksanakan perintah Rama Pran-Soeh.
b.      Keteguhan tekad, hati yang suci/bersih, budi pekerti yang luhur, sikap sabar memberi dan menerima, baiknya watak dan perbuatan, selalu membuat enak hati para muridNya,  konsisten menerapkan keadilan.
c.       Besarnya keprihatinan (selalu melakukan tapa brata), dengan sungguh-sungguh (dengan segenap jiwa dan sepenuh akal budi) dalam melaksanakan tapa brata, rajin bekerja baik dalam melaksanakan jabatanNya sebagai Carik Desa maupun dalam mengolah pertanian/sawah. Rama memberikan contoh/tauladan tidak hanya di dunia fana ini tetapi menembus sampai di Alam Halus/Alam Kasuksman, yaitu Suksma Suci Beliau.

3.      Kewajiban mencarai tunggal
Ilmu yang dibawa oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo berdasarkan KeTuhanan dan percaya akan adanya hukum karma serta reinkarnasi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo timbul/turun/lahir ke dunia ini sudah berkali-kali, beda tempatNya, beda namaNya dan beda pula jabatan/kedudukanNya. Setiap kali turun/lahir ke dunia, Beliau memiliki murid-murid yang banyak sekali jumlahnya, namun para murid tersebut banyak yang terpisah dariNya, dan kebanyakan adalah murid yang terpisah pada zaman Nabi Nuh (ketika Beliau lahir ke dunia sebagai Nabi Nuh). Setelah itu, setiap kali Beliau turun ke dunia, para murid tersebut selalu dicari hingga saat ini. Mencari murid yang terpisah inilah yang diistilahkan disini sebagai mencari Tunggal.





































***A***
BAB  XXIV
ANGGER-ANGGER SEBELAS YAITU PERATURAN/PEDOMAN/PERINTAH
RAMA PRAN-SOEH UNTUK MENJAGA AGAR PARA MURID RAMA RESI
PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO SELALU BERTINDAK  JUJUR DAN BENAR
MEMILIKI BUDI PEKERTI YANG LUHUR


Semua murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang akan iktu belajar ilmu yang dibawaNya, pasti diberitahu mengenai Angger-angger Sebelas yang digunakan untuk mengatur budi pekerti hidup bermasyarakat di dunia, lebih-lebih untuk mencapai Ilmu Tiga Perangkat. Angger-angger Sebelas menjadi pegangan yang tidak boleh lepas sebab menjalankan/mematuhi Angger-angger Sebelas berarti memberikan tanda bukti kesetiaan para murid kepada Rama Pran-Soeh dan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, untuk menggapai (berusaha mencapai) ketenteraman hidup lahir dan batin.
Angger-angger Sebelas dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian kewajiban terdapat tujuh macam  kewajiban dan Bagian larangan terdapat empat macam  larangan.

Isi dari Angger-angger Sebelas seperti tersebut di bawah ini:
BAGIAN A (KEWAJIBAN)
1.      Setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan kepada UtusanNya
2.      Setia dan taat kepada pemerintah kita dan kepada para wakilnya
3.      Cinta kasih kepada ayah dan ibu beserta yang lebih tua dari kita
4.      Cinta kasih kepada suami/isteri beserta seluruh keluarga yang menjadi tanggungannya
5.      Cinta kasih kepada sesama makhluk
6.      Rajin bekerja dan menepati janji/kewajiban
7.      Berbudi luhur, bertindak  adil dan berbelas kasihan

BAGIAN B (LARANGAN)
1.      Berbuat zina
2.      Bersuami/beristeri lebih dari satu (poligami dan poliandri)
3.      Berbudi nakal dan nista
4.      Melakukan hal yang bertentangan dengan kewajiban tujuh macam di atas.

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Angger-angger sebelas dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian kewajiban dan bagian larangan.
Kewajiban merupakan kesanggupan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, dan memang harus benaf-benar dilaksanakan, karena kalau tidak dilaksanakan ada daya pengaruh/akibat yang tidak baik.
Larangan adalah segala sesuatu yang harus dihindari, tidak boleh dilanggar, tidak boleh dilakukan. Orang yang menghindari larangan berarti melaksanakan Angger-angger  Sebelas bagian kewajiban.
Orang yang melanggar Angger-angger Sebelas bagian larangan itu sudah berarti tidak memenuhhi/melaksanakan kewajiban tujuh macam.
Kewajiban dan larangan ditulis dengan nomor urut. Semua yang bernomor urut satu itu lebih penting dibangingkan dengan  nomor urut di bawahnya, tetapi semua harus dipatuhi tidak boleh diabaikan.
Larangan yang bernomor satu, berbuat zina, itu hukuman batinnya paling berat kalau dibandingkan dengan pelanggaran lain-lainnya.
Agar lebih jelas, Angger-angger Sebelas perlu diuraikan satu per satu sebagai berikut:
1.      Kewajiban nomor 1: Setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan kepada UtusanNya.
Setia dan taat berarti datang dari kesadaran, dari gerak hati/dorongan hati yang suci, tidak dipaksa, tidak ikut-ikutan, dengan sungguh-sungguh setia lahir dan batin,  tidak menyangkal, tidak menentang, juga tidak ingkar dan menghindar/tidak patuh. Semua ini harus percaya secara utuh (seratus persen) bahwa yang menguasai dan mengelola alam semesta beserta isinya yang terlihat dan tidak terlihat, yang terasa dan tidak terasa oleh indera lahir maupun indera batin manusia, yang menjadi bibit (asal muasal) segala makhluk adalah Rama Pran-Soeh, dan pada saat manusia itu meninggal dunia, yang menepati/melaksanakan kewajiban nomor 1, dapat menyatu pada Rama Pran-Soeh dengan perantaraan UtusanNya.
Kalau orang hidup memohon kepada Rama Pran-Soeh dengan meditasi saat akan tidur hingga mendapat jawaban di Alam Kasuksman, itu melalui perantaraan Utusan Rama Pran-Soeh. 
Rama Pran-Soeh memberikan cinta kasihNya kepada umat manusia dengan cara menurunkan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewigno, Panutan kita  ke dunia, membawa Ilmu Tiga Perangkat, menjadikan kita ingat kepada Rama Pran-Soeh, dapat mengetahui peristiwa yang baik dan buruk, yang benar dan salah, yang membuat hidup kita memperoleh ketenteraman lahir dan batin.

2.      Kewajiban nomor 2: Setia dan taat kepada Pemerintah kita dan kepada para wakilnya.
Penguasa di bawah Rama Pran-Soeh itu adalah pemerintah. Pada zaman modern ini, manusia hidup tidak hanya hidup semau-maunya sendiri saja, tetapi ada yang mengatur, ada yang melindungi/mengayomi, ada yang menjaga, ada yang mengadili. Intinya mengenai sosial, politik, budaya, hukum, pertahanan, keamanan dan ekonomi dikuasai oleh pemerintah. Oleh karena itu orang yang ikut belajar ilmuNya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo harus dapat mencontoh/meneladani apa yang dilakukan/disandang Beliau. Ingatlah apa yang telah diceriterakan dalam sejarah, Rama Panutan mengabdi kepada pemerintah menjabat sebagai Carik Desa Jagalan lebih dari enampuluh tahun, mengajukan pensiun, dikabulkan dan kemudian wafat. Setia dan taat kepada pemerintah kita beserta para wakilnya, yaitu mulai dari Presiden, menteri-menteri, gubernur, bupati, camat, lurah, kepala desa sampai kepada RWdan RT, kita harus setia dan taat, tidak boleh membangkang, harus melaksanakan kebijakan dan rencana kerja mereka. Kita harus memberi contoh kepada yang lainnya mengenai pelaksanaan anjuran pemerintah apa saja, kita harus setia dan taat. Dalam hubungan bermasyarakat, kita harus akrab, punya toleransi, gotong royong, rukun, dan sebagainya.

3.      Kewajiban nomor 3: Cinta kasih kepada Bapak dan Ibu berserta keluarga yang lebih tua dari kita.
Kita wajib mencintai dan mengasihi bapak dan ibu kita berarti kita wajib memiliki sikap tidak rela (bila orang tua kita sakit, hidupnya susah, tidak dihargai orang dan sebagainya) dan sayang kepada bapak dan ibu kita tanpa pamrih (tanpa mengharapkan keberuntungan/imbalan sesuatu apapun dari orang tua kita). Bapak dan ibu menjadi perantara/sarana  kita lahir ke dunia, yang menjaga, memelihara, melindungi, juga bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan kita, serta mengharapkan dan mengusahakan agar kita menjadi manusia yang mapan, benar dan terhormat. Lebih-lebih ibu, yang bersusah payah/menderita kadang sampai harus menghadapi maut yaitu sejak kita masih bayi berupa:  mengandung diri kita selama sembilan bulan,   yang merasakan kesakitan waktu melahirkan kita, yang memelihara dan merawat kita, membersihkan dan membuang kotoran/tinja/air kencing selama berapa bulan/tahun saja hingga kita dewasa.
Anak merasa banyak berhutang budi kepada orang tua yang tidak dapat diukur dengan harta benda. Anak harus menurut kepada orang tua, kecuali perintah yang bertentangan dengan Angger-angger Sebelas; meskipun demikian penentangan/pembangkangan tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak menyinggung perasaan orang tua (tetap mengenakkan hati orang tua). Selanjutnya harus meluhurkan namanya, menghormati/ menghargai, menjaga nama baik mereka dan menghindari larangan yang disampaikan kepada kita. Anak yang sudah dewasa, sudah mempunyai mata pencaharian dan juga sudah berumah-tangga, jangan sampai anak dan isteri/anak dan suami-nya tidak mencintai dan mengasihi nenek/kakek atau mertuanya. Cinta kasih anak kepada orang tuanya harus secara lahir maupun batin, kalau bapak dan ibunya sudah jompo/tua renta harus dirawat dengan sungguh-sungguh, dapat terjadi bapak-ibu yang sudah tua menderita sakit, sakit saja memakan waktu yang lama yang sangat merepotkan anak-cucu, membersihkan dan membuang kotoran/tinja dan air kencing orang tua ya jangan menggerutu, harus  ikhlas, dulu ketika kita masih bayi orang tua kita kan juga membersihkan kotoran/tinja dan air kencing kita dalam waktu yang lama. Bakti dan cinta kasih kita kepada orang tua tidak hanya berhenti hanya sampai pada yang bersifat  lahiriah saja, tetapi ketika orang tua kita meninggal dunia yang mana suksmanya masih terhenti dalam perjalanan menuju Alam Kesempurnaan, suksmanya kesasar/salah jalan, tidak berhasil menghadap Rama Pran-Soeh, harus dibela dengan cara diruwat. Sedangkan yang dimaksud keluarga yang lebih tua dari kita adalah: kakek-nenek dan kakek-nenek buyut ke atas, bapak-ibu mertua, dan keluarga yang dalam hubungan keluarga kedudukannya lebih tua dari kita. Cinta kasih kepada keluarga yang lebih tua tentu saja tidak sama dengan cinta kasih kita kepada orang tua. Selain dari itu kita wajib mencintai dan mengasihi orang yang lebih tua umurnya, pengalamannya, ilmu pengetahuannya, yang dalam kenyataannya telah memberikan petunjuk lahir dan batin. Meskipun telah memiliki jabatan/kedudukan yang tinggi, jangan lupa kepada bapak/ibu guru yang telah memberikan pelajaran/ilmu, walaupun itu hanya guru Sekolah Dasar.

4.      Kewajiban nomor 4: Cinta kasih kepada Suami/Isteri beserta seluruh keluarga yang menjadi tanggungannya.
Sejak dunia diciptakan, manusia itu diciptakan laki-laki dan perempuan/wanita, turun-temurun, berkembang biak. Laki-laki dan perempuan pada berumah tangga, punya anak cucu, cucu buyut, cucu canggah, dan sebagainya, meskipun suami/isteri itu tadinya/sebelumnya bukan sanak bukan saudara, walaupun ada juga yang saudara. Mengenai suami-isteri yang masih mempunyai hubungan saudara, sewaktu hubungan saudara tersebut sangat dekat misalnya: memiliki kakek-nenek yang sama, itu kalau menurut ilmu kesehatan tidak baik, bisa terjadi keturunannya cacat, sebab masih dekat hubungan darahnya.
Di jaman sekarang, jaman modern, orang yang pada berumah-tangga itu harus melalui ijab yang sah menurut agama yang dianut dan harus dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil. Cinta kasih kepada isteri itu jangan berhenti hanya sampai pada yang bersifat lahiriah saja, tetapi harus sampai pada dasar batin kita yang terdalam, jangan sewenang-wenang, jangan mengabaikan/menyepelekan, harus saling mencintai, hidup rukun, gotong royong; Ada masalah apapun harus dibicarakan bersama. Tidak selalu pendapat yang benar itu adalah pendapat dari suami (pendapat laki-laki), pendapat isteri (pendapat wanita)-pun juga banyak yang benar. Untuk mencari rejeki (penghasilan) tidak hanya mengandalkan pada suami saja, tetapi dapat dikerjakan berdua, bersama-sama. Demikian tadi kalau keadaan ekonominya lemah, tetapi kalau kuat juga dapat dilakukan oleh salah satu saja, sebagian besar orang laki-laki (si suami)-lah yang mencari penghasilan/bekerja. Si isteri mengurus rumah tangga dan merawat/mengasuh anak-anak, jangan hanya mengandalkan kepada pembantu saja, itu juga baik untuk memperingan beban kerja, tetapi jika mengurus anak-anak hanya diserahkan kepada pembantu saja, itu kurang baik pengaruhnya kepada anak-anak. Mengenai cara mendidik anak, tentu orang tua lebih paham/tahu daripada pembantu.
Hidup berumah-tangga itu ibarat sehidup semati. Suami/isteri itu menjadi sarana/perantara kita memiliki keturunan, demikian itu kalau dikaruniai oleh Rama Pran-Soeh. Dapat terjadi suami-isteri tidak dapat punya anak, tetapi harus tetap berusaha semaksimal mungkin dengan berbagai macam cara/upaya  yang tidak bertentangan dengan Angger-angger Sebelas agar dapat mempunyai anak. Namun demikian, kalau tetap tidak dapat memperoleh anak, ya harus diikhlaskan, harus dapat menerima keadaan tersebut, jangan malahan dipakai alasan untuk bercerai. Kita harus selalu ingat dan setia melaksanakan Angger-angger Sebelas bagian larangan nomor 2. Suami/isteri tidak boleh lebih dari satu orang, tidak boleh dimadu, istilahnya harus monogami tidak boleh poligami atau poliandri. Jangan sampai mendua hati dalam mencintai, yaitu jangan sampai melanggar larangan nomor 1 berbuat zina. Laki-laki maupun wanita tidak boleh berbuat zina, berhubungan seksual hanya boleh dilakukan dengan suami/isterinya yang sah. Orang berbuat zina itu mempermainkan roh, dapat memperoleh hukuman batin yang sangat berat berupa siksaan. Kalau hukum di dunia ini, perbuatan zina hukumannya ringan malahan ada yang bebas dari hukuman.
Orang berumah tangga harus selalu berusaha membuat senang dan puas hati pasangannya dengan bersedia mengorbankan kesenangannya, kebiasaannya dan maunya sendiri. Harus bisa saling mengasuh, kalau ada yang berbuat menyimpang dari kebenaran harus selalu saling mengingatkan.
Kita wajib mencintai dan mengasihi anak kita, karena anak itu tercipta dari bapak dan ibu, merupakan karunia dari Rama Pran-Soeh, melalui roh dua orang. Mencintai dan mengasihi anak ekuivalen/sama dengan mencintai suami/isteri dan diri sendiri. Anak akan meneruskan sejarah bapak dan ibu untuk seterus-terusnya. Ada peribahasa agar anak dapat mengubur yang dalam dan menjunjung tinggi terhadap orang tuanya, yang berarti anak dapat menjaga nama baik dan meluhurkan nama orang tuanya.
Mencintai dan mengasihi anak itu berarti:
a.    Menjaga keselamatan anak sejak anak berada dalam kandungan ibu sampai dengan dewasa. Minum obat, dengan suntik, dan dengan cara apapun yang tujuannya untuk membunuh janin atau untuk menggugurkan kandungan, itu dilarang.
b.    Mencukupi/memenuhi kebutuhan anak hingga anak berhasil memperoeh mata pencaharian untuk dapat mencukupi kebutuhan dirinya sendiri.
c.     Mendidik/menyekolahkan anak, memberi bekal ilmu pengetahuan dan kepandaian kepada anak sebagai sarana untuk mendukung anak memperoleh mata pencaharian yang  cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau mencapai kehidupan yang lebih baik/makmur, agar di belakang hari kemudian tidak disalahkan oleh anak.
d.    Berupaya dan merencanakan agar anak menjadi orang yang berbudi pekerti luhur, baik dalam pergaulan, hidup secara layak, berguna bagi keluarga, masyarakat, negara, nusa dan bangsa, serta menjadi orang yang setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya. Orang tua jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang kasar/buruk lebih-lebih mengutuk/menyumpahi anak.
Yang dimaksud keluarga yang menjadi tanggungannya adalah:
Semua orang dalam keluarga yang menjadi tanggungan kita, misalnya: anak angkat, anak tiri, adik kandung/ipar, keponakan dan pembantu. Mengenai anak angkat dan anak tiri, perlakuannya harus sama seperti anak kita sendiri, sedangkan kepada pembantu ya jangan diperlakukan dengan buruk, meskipun dia membutuhkan pekerjaan dan gaji sebesar yang disepakati. Jangan berbuat sewenang-wenang kepada pembantu, sebab pembantu itu membantu meringankan beban/melaksanakan pekerjaan rumah tangga, jangan mentang-mentang bisa/mampu membayar dan mencari pembantu lain juga mudah/banyak. Kalau setiap minggu kita ganti pembantu, pandangan masyarakat sekitar kan jadi kurang baik.

5.      Kewajiban nomor 5: Cinta kasih kepada sesama makhluk.
Dari semua makhluk yang dikaruniai hidup di dunia ini yaitu: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan,  dan semua bentuk kehidupan lainnya di dunia ini, yang mempunyai martabat paling tinggi adalah manusia. Bumi yang di dalamnya terhampar daratan, lautan, hutan, gunung-gunung, angkasa, hewan yang hidup di daratan dan di lautan, tumbuh-tumbuhan, semuanya boleh digunakan oleh manusia. Mencintai dan mengasihi sesama makhluk bukan berarti semua makhluk harus dicintai, melainkan kita harus menggunakan perhitungan mana yang merugikan,  mana yang membahayakan keselamatan kita (mengancam jiwa kita), yang mengganggu ketenteraman, yang menyakiti, dan sebagainya yang mana mereka itu harus kita hindari. Pada umumnya hidup bermasyarakat ada yang berlokasi di daerah pedesaan, di kampung-kampung, dan di kota-dota. Hidup bermasyarakat di daeah pedesaan dan di kampung-kampung kebanyakan jiwa sosialnya masih tinggi sehingga gotong royong masih berjalan, sebaliknya keadaan di kota besar, karena jiwanya sudah menjadi jiwa bayaran, maka jiwa sosialnya sudah hampir tidak ada bahkan hilang. Orang yang sedang mendapat karunia Rama Pran-Soeh memperoleh/ mempunyai kekayaan yang berlimpah atau mempunyai jabatan/kedudukan yang tinggi, hidup di masyarakat jangan bersikap mentang-mentang kaya atau punya jabatan/ kedudukan yang tinggi/kekuasaan, terus tidak mempedulikan dan meremehkan orang yang miskin, yang tidak punya jabatan/kedudukan, tetapi harus memelihara keakraban hubungan dengan orang lain, tidak membeda-bedakan antara satu orang dengan yang lainnya, karena bagi orang yang mempunyai jabatan, di belakang hari kemudian setelah pensiun akan kembali kemana? Kan pasti akan kembali bergaul dan berkumpul dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya! Semua orang hidup tidak bisa hidup sendirian, harus saling menolong, gotong royong. Jangan membeda-bedakan golongan, faham, kepercayaan/ keyakinan/agama. Usahakan agar dapat hidup menyatu di masyarakat luas.  Memang ada istilah “hidup di dunia ini tidaklah mudah.” Sepintas lalu istilah ini tidaklah penting, tidak berarti, makanya hanya deremehkan saja dan tidak diperhatikan. Coba kalau dipikir secara rinci dan lebih mendalam, untuk menciptakan kehidupan yang tenteram dalam keluarga, di lingkungan masyarakat sekitar, di kelurahan, lebih-lebih di wilayah negara, itu sulit, apalagi bila memikirkan sewaktu kita meninggal dunia jangan sampai kesasar/salah jalan, agar bisa mati sempurna, itu lebih sulit lagi.

6.      Kewajiban nomor 6: Rajin bekerja dan menepati janji/kewajiban.
a.    Kita harus mencontoh/meneladani Panutan dalam hal apa saja, seperti: mengenai tapa brata Beliau, berani melakukan yang benar, keakraban Beliau, cinta kasih Beliau, disiplin, rajin bekerja baik dalam melaksanakan tugas Beliau di pemerintahan maupun dalam mengolah tanah pertanian/sawah untuk keperluan pribadiNya.
Rajin bekerja dapat meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk hidup di dunia ada lima syarat pokok yang harus dipenuhi yaitu: 1) makan, 2) berpakaian, 3) tempat tinggal, 4) berumah-tangga dan 5) pekerjaan tetap.  Ada kebutuhan lainnya yaitu: hiburan, pendidikan, kesehatan. Mengenai kesehatan bukan hanya kesehatan fisik/badan saja tetapi jiwa/rohaninya juga harus sehat. Jadi jasmani maupun rohani harus sehat. Dapat tercukupinya semua kebutuhan dapat membuat hidup tenteram, tidak menimbulkan/menumbuhkan perbuatan yang menyimpang, atau melanggar Angger-angger Sebelas bagian larangan nomor 3: berbudi nakal dan nista. Orang yang malas, suka menganggur, suka bermain, suka tidur, pasti berkurang/sedikit penghasilannya yang akan mendorong untuk melakukan perbuatan yang menyimpang/ melakukan kejahatan/kriminal, maunya hanya bersenang-senang menuruti hawa nafsunya. Kalau orang hidup hanya mencari/mengejar kepuasan tidak akan ada batasnya, pasti masih akan selalu kurang saja. Oleh karena itu harus dibatasi, harus menerima apa adanya, dapat mensyukuri apa saja yang kita terima/alami. Nasib antara seseorang dengan orang lainnya itu tidak sama, maka tidak boleh iri hati terhadap orang lain. Dalam menjalani hidup ini, kita tidak boleh bersikap masa bodoh, tetapi harus selalu berusaha keras, bersemangat dalam mencapai sesuatu yang kita inginkan. Adanya derajat, pangkat/jabatan/kedudukan dan rahmat itu semua memperoleh wahyu dari Rama Pran-Soeh.

b.    Rama Panutan bersabda demikian:”Kalau mengejar harta dunia/kekayaan itu kita merasa sepertinya tidak akan pernah mati, tetapi ketika akan tidur, sepertinya kita tidak akan mengalami hari esok lagi, yang berarti kita harus memusatkan pikiran, jiwa dan segenap akal budi, bertekad untuk melupakan keduniawian, hanya berkonsentrasi, bertekad sepenuh hati, dan berserah diri serta bersandar menyampaikan permohonan kepada Rama Pran-Soeh agar dapat segera mencapai katam dalam mempelajari Ilmu Tiga Perangkat. Sedangkan bagi yang sudah katam, menyampaikan permohonan agar apa yang dibutuhkan dapat dipenuhi dan mendapat jawaban yang jelas. Semua pekerjaan, kasar dan halus sama saja, menurut bakat dan keahlian/ketrampilan masing-masing. Rajin bekerja itu harus mempunyai batas, jangan sampai merusak badan atau mengganggu kesehatan, lebih-lebih sampai melupakan tidur. Begadang/tidak tidur sampai pagi (semalaman tidak tidur) itu melupakan kebutuhan suksmanya, tidak memohon perintah dari Rama Pran-Soeh yang berarti lupa tidak menyembah kepada Yang Memberi Hidup. Waktu yang tersedia itu harus dibagi, sebagian besar waktu disediakan untuk kebutuhan suksma, sedangkan sebagian kecil lainnya untuk kebutuhan Nyawa/hawa nafsu.

c.     Kita wajib menepati janji, yaitu kesanggupan kita kepada siapa saja termasuk kepada Rama Pran-Soeh dan kepada diri sendiri yang disebut sumpah atau prasetya (kesanggupan untuk setia) bisa dibatin atau diucapkan, bisa tanpa saksi, bisa dengan saksi agar lebih mantap dan kuat. Janji kepada orang lain wajib diucapkan dan disaksikan paling tidak oleh orang yang menerima janji. Menepati janji menjadi ukuran kalau perbuatannya jujur dan setia, dapat dipercaya. Menepati janji menjadi dasar yang sangat penting untuk mencapai/mewujudkan ketertiban dan ketenteraman hidup bermasyarakat, lebih-lebih untuk menjaga hubungan dalam pergaulan, karena tidak ada yang mengecewakan dan yang dikecewakan.
Janji itu harus datang dari gerak hati dan kehendak hati yang suci, bertindak rela dan ikhlas menepati/memenuhi apa yang menjadi kesanggupannya baik yang diucapkan maupun yang dibatin (diucapkan dalam hati). Apabila ada hal-hal yang menyebabkan kita terpaksa tidak dapat memenuhi/menepati janji, harus memberitahu dengan alasan yang sebenarnya. Janji yang diberikan karena dipaksa orang lain, tidak perlu dilaksanakan, karena tidak didasarkan pada gerak/kehendak hati yang suci. Selama bukan untuk hal-hal yang sangat penting, jangan mudah untuk memberikan janji kepada orang lain apalagi disaksikan oleh orang banyak. Jangan memberikan janji kepada siapa saja kalau kita tidak dapat menepati/memenuhinya.

7.      Kewajiban nomor 7: Berbudi luhur,  bertindak adil dan berbelas kasihan.
a.    Kewajiban nomor 7 ini sifat-sifat milik Rama Pran-Soeh sudah menjadi karakter, budi pekerti dan telah dilaksanakan oleh Rama Panutan serta harus dicontoh/diteladani/ dianut meskipun tidak bisa sama persis, tetapi paling tidak mirip.
Berbudi luhur itu adalah budi yang menonjol/utama/pokok melebihi segala macam kebaikan dan keutamaan, melingkupi/mencakup semua sifat-sifat lainnya yang terpuji, seperti jujur, setia, ksatria, berkarakter, sederhana, rendah hati termasuk juga bersikap adil dan berbelas kasihan.
Orang yang berbudi luhur selalu berusaha agar dapat mengayomi dan menolong orang lain, tidak mementingkan/mengedepankan kepentingan diri sendiri, dengan kata lain tidak egois. Meskipun begitu tidak meninggalkan/mengabaikan tanggungjawabnya. Pantang menjadi beban orang lain. Jika menolong tanpa pamrih, kalau menerima pertolongan/bantuan/kebaikan/jasa baik dari orang lain harus selalu diingat dan berusaha untuk membalas budi baik yang lebih banyak daripada yang diterima.
Orang yang berbudi luhur itu tidak mau berbuat nista, dan minta dikasihani, tidak minder, bersikap ksatria dan tidak pelit, selalu murah hati, sederhana, tanpa pamrih, rendah hati sehingga akrab dengan orang banyak, berani karena mempunyai tujuan untuk mengayomi  dan membela orang lain.
b.    Bertindak adil adalah bertindak tidak pilih kasih, tidak membeda-bedakan, tidak memihak, tidak berat sebelah, harus sama. Kita harus bertindak adil dalam hal apapun, misalnya: adil dalam mengurus/memperlakukan anak dan keluarga yang menjadi tanggungannya, adil dalam pembagian warisan, adil dalam memutuskan perkara di pengadilan: yang salah dinyatakan salah dan yang benar dinyatakan benar, dan dalam semua hal lainnya.
Kita bisa bertindak adil dan menegakkan keadilan kalau kita memahami secara jelas mengenai perkara/masalah yang akan diputuskan, hubungannya dengan peraturan-peraturan atau pedoman yang mendasari, juga dapat  memisahkan dengan kebutuhan pribadi/golongan/keluarga. Adil dalam membagi barang tidak berarti harus sama banyaknya, tetapi dapat bermanfaat dan memuaskan semua pihak. Sedangkan adil dalam perkara pidana kalau hukuman yang diterima itu setimpal/seimbang/sama dengan kesalahannya. Bertindak adil itu bila diumpamakan orang yang sedang jual beli, beli mau menjual juga mau, jadi sama-sama mau melakukannya, artinya diterima siapa saja cocok/pas dalam hati, tidak mengganjal. Berbuat adil dalam bermasyarakat akan membuat ketertiban dan ketenteraman, karena menjauhkan rasa iri hati, mendekatkan  rasa menerima.
c.     Berbelas kasihan artinya tidak tegaan, misalnya melihat kesengsaraan orang lain. Orang yang berbelas kasihan selalu ikhlas memberikan pertolongan/bantuan kepada siapa saja, lebih-lebih orang yang berserah diri kepadanya. Berbelas kasihan artinya besar rasa sosialnya, suka menolong/memberikan bantuan baik berupa harta benda, tenaga maupun pikiran/pendapat. Berbelas kasihan harus berhati-hati/waspada, yaitu harus mengingat:
(1)    Jangan sampai menolong siapa saja yang akan membuat/mengakibatkan kesengsaraan.
(2)    Jangan sampai pertolongan yang kita berikan itu malah merugikan orang yang menerima pertolongan tadi.
(3)    Pertolongan diberikan dengan hati yang ikhlas lahir batin serta tanpa pamrih (mengharapkan keuntungan apapun).

8.      Larangan nomor 1: Berbuat zina
a.    Manusia merupakan makhluk yang martabatnya lebih tinggi dibandingkan dengan hidupnya hewan. Maka manusia harus berbuat sesuai perintah Rama Pran-Soeh, mematuhi Angger-angger Sebelas yang terdiri atas tujuh macam kewajiban dan empat macam larangan.
Larangan nomor 1 berbuat zina itu berarti berbuat menyeleweng/selingkuh atau melakukan hubungan sexual dengan lawan jenis yang bukan pasangannya (isteri/suami) yang sah menurut hukum agama dan hukum negara. Meski dua-duanya (laki-laki dan perempuan) masih bujangan, lebih-lebih kalau sudah mempunyai pasangan yang sah (suami/isteri), semuanya dilarang berbuat zina, termasuk pelacuran/tuna susila, mempunyai isteri/suami simpanan, selingkuh, isteri/suami kontrak, karena:
a)      Mempermainkan dan menyiksa rohnya.
b)      Merusak/merugikan kesehatan badan dan keturunannya.
c)       Membuat tidak tenteramnya dalam pergaulan masyarakat, lebih-lebih bagi suami/isteri dan keluarga. Sering terjadi adanya pembunuhan/penganiayaan dan ada pula yang sampai menjadi perkara yang harus diselesaikan di pengadilan.

b.    Berbuat zina kalau dilihat dari sudut pandang lahiriyah (hukum negara)  kalau sampai menjadi perkara yang disidangkan oleh pengadilan, meskipun dengan bukti dan saksi yang cukup, hukumannya ringan, tetapi hukuman batin atau Suksma orang yang berbuat zina, kalau meninggal dunia akan dihukum berat yaitu dikenakan siksaan abadi.
Apa yang dinyatakan di atas benar adanya, bukan bermaksud untuk menakut-nakuti, karena hal tersebut dapat disaksikan sendiri di Alam Halus/Alam Kasuksman/Alam Antara, dengan cara memohon kepada Rama Pran-Soeh supaya ditunjukkan/ diperlihatkan/dapat menyaksikan sendiri suksma orang-orang yang pada waktu hidup di dunia suka berbuat zina. Kalau permohonannya dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh hati dan segenap jiwa, penuh penyerahan diri kepada Rama Pran-Soeh dan selalu fokus hanya pada apa yang dimohonkan, niscaya kita akan mendapat jawaban yang benar atas permohonan itu, karena permohonan tersebut hanya menuju pada Alam Halus/Alam Antara bagian bawah yaitu tempat bagi para suksma yang menjalani hukuman/siksaan atau tempat suksma yang kesasar tidak berhasil sampai pada tujuannya. Kalau orang sudah menyaksikan sendiri/mengetahui keadaan suksma orang-orang yang suka berbuat zina pada saat mereka hidup di dunia, tentu akan selalu ingat pada Rama Pran-Soeh dan tidak akan pernah berani melanggar larangan nomor 1 yaitu berbuat zina. Godaan yang paling berat mulai dari alam dunia ini (dunia fana) sampai ke Alam Kubur/Alam Antara yaitu kalau laki-laki tergoda oleh perempuan, kalau perempuan tergoda oleh laki-laki. Oleh karena itu harus selalu betul-betul ingat, harus menahan/mengendalikan/pantang berbuat sesuatu yang hanya menuruti hawa nafsu/Nyawa/Setan kita sendiri. Sedangkan bagi orang-orang muda yang sudah dewasa dan sudah tidak tahan/kuat lagi hidup sendirian/membujang, lebih baik segera saja menikah/hidup berumah tangga. Ada orang yang malas bekerja, tidak mau bekerja yang halal sesuai kemampuannya, tetapi mencari penghasilan dengan menjalankan pelacuran. Orang seperti itu selain melanggar larangan nomor 1 ini juga tidak memenuhi kewajiban nomor 6.
9.      Larangan nomor 2: Bersuami/Beristeri lebih dari satu (poligami/poliandri).
Kita dilarang mempunyai isteri/suami lebih dari satu orang, itu berarti kita tidak boleh menikah lagi dengan wanita lain (poligami) atau dengan pria lain (poliandri). Harus hanya satu laki-laki dengan satu perempuan (monogami). Burung merpati yang nota bene hewanpun, tidak mau kawin dengan burung merpati betina lain yang bukan pasangannya. Kalau mengingat bahwa martabat manusia itu lebih tinggi dari hewan, lha kok perbuatannya malah semau gue sama seperti hewan. Tetapi kalau bebek, jantannya satu betinanya banyak sekali, tidak bisa mengerami telurnya, kalau bertelur dimanapun tempatnya jadi, berserakan, dan tidak mau  mengerami telurnya. Itu memang sudah jadi kodratnya seperti itu.
Kalau salah satu dari orang yang berumah tangga (terikat pernikahan) itu kawin lagi (beristeri/bersuami dua), berarti cintanya tidak utuh lagi, karena cintanya terbagi dua bahkan ada yang tiga atau empat.
Orang yang beristeri/bersuami lebih dari satu orang tidak dapat berbuat adil, entah itu dipengaruhi oleh wajah/kecantikan, harta benda, dapat memberikan anak/tidak, dan pengaruh lainnya. Perlakuan tidak adil itu tidak hanya berhenti pada pasangannya saja, tetapi dapat juga terjadi sampai  pada anak-anaknya, itu kalau dari kedua isteri masing-masing punya anak. Seorang wanita yang dimadu, secara lahiriyah kelihatan rukun dengan madunya, tetapi batinnya pasti tidak senang, panas hatinya, itu kalau wanita yang dimadu tersebut mau jujur menyatakan apa adanya dan tidak dusta.
Rama Pran-Soeh menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, sudah menjadi kodrat Rama Pran-Soeh kalalu laki-laki berpasangan dengan (mendapatkan) wanita dan wanita berpasangan dengan (mendapatkan) laki-laki, jadi manusia itu sudah dikodratkan sepasang-sepasang. Orang yang anggota badannya cacad saja misalnya: kakinya hanya satu, matanya buta, lumpuh, dan cacad lainnya ada juga yang mencintai sampai bisa berumah tangga (menikah) dan mempunyai anak.

10.  Larangan nomor 3: Berbudi nakal dan nista.
Manusia di seluruh di dunia ini mempunyai dorongan hati untuk berbuat buruk/jahat dan baik. Dorongan untuk berbuat buruk/jahat datan dari hawa nafsu/Nyawanya, sedangkan dorongan untuk berbuat baik datang dari Suksma suci (dorongan dari Rama Pran-Soeh). Orang yang berbudi nakal dan nista itu hanya menuruti hawa nafsunya. Memang nyawa/setan itu pekerjaannya hanya selalu menggoda manusia agar jangan sampai mematuhi perintah Rama Pran-Soeh, yang selalu memerintahkan untuk selalu berbuat benar, berbuat baik, intinya supaya selalu melakukan apa yang dikehendaki Rama Pran-Soeh dan tidak melanggar bagian larangan dari Angger-angger Sebelas.
Pada saat manusia itu terpikat/ikut/dikuasai nyawanya, di belakang hari kemudian pada saat meninggal dunia, menjadi jajahan nyawanya tersebut, di daerah kekuasaan Sang Pria/Sang Putri yang berarti terhenti di tengah jalan/kesasar/tidak sampai ke tujuannya. Tindakan orang yang berbudi nakal dan nista selalu merugikan dan membuat susah orang lain. Tindakan berbudi nakal dan nista itu yaitu perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, seperti:
1)    Dengki, senang memfitnah, berbuat jahat untuk membuat orang lain sengsara.
2)    Suka ikut campur urusan orang lain, suka menyakiti hati orang lain, suka menyakiti badan orang lain, suka memusuhi orang lain.
3)    Mudah tersinggung, mudah panas hatinya, sewaktu dikritik, disamai, dilebihi/diungguli oleh orang lain dalam segala hal, kalau tetangganya mendapat keberuntungan, adakalanya sering memfitnah timbul rasa dengkinya.
4)    Jahil/usil dan dengki yang disebabkan oleh kebodohan biasanya keras kepala mempercayai/mempertahankan sikap  yang menyimpang karena tidak tahu kebenaran.
5)    Berbuat yang tidak semestinya secara sembunyi-sembunyi, tidak terus terang, merampas hak orang lain.
Berbuat tidak semestinya secara sembunyi-sembunyi dalam hal hubungan gelap antara laki-laki dan perempuan disebut berzina atau selingkuh.
6)    Bohong, pura-pura, mengingkari kebenaran, semua itu perbuatan yang tidak jujur, senang menipu. Semua perbuatan tersebut berasal dari sifat berbudi nakal. Orang yang berbuat nakal, tidak hanya suksmanya saja yang mendapat hukuman, di dunia dalam pergaulan di lingkungan masyarakat dapat memperoleh hukuman/pidana menurut tindakan yang menyimpang tersebut. Budi nista itu merupakan kepribadian yang rendah, berbuat yang wajar saja saja tidak, oleh karena itu jauh dari perbuatan yang baik/terpuji. Orang yang nista itu hanya selalu mengharapkan bantuan dari orang lain, tidak tahu kebaikan, tidak  memiliki rasa tanggungjawab, takut di depan beraninya di belakang (selalu menggerutu di belakang hari kemudian).  Orang yang berbudi nista, lahir dan batinnya menerima hukuman, di dunia tidak dihargai, menjadi ejekan dan dipandang seperti hewan oleh masyarakat, batin (suksmanya) tidak bisa ikut Guru Panutannya, memetik buah dari perbuatannya yang nista (karma), pada saat meninggal dunia bisa kesasar, tidak sampai pada tujuannya dan terhenti menjadi jajahan nyawanya /hawa nafsunya/setan.

11.  Larangan nomor 4: Melakukan semua perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban tujuh macam di atas.
Semua kadang golongan yang sudah memegang keyakinan, bertekad bulat menjadi murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, harus mematuhi Angger-angger Sebelas yaitu melaksanakan kewajiban tujuh macam dan menghindari larangan empat macam.
Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban tujuh macam adalah perbuatan yang bertolak belakang/tidak sesuai dengan yang dimaksudkan dalam kewajiban tujuh macam tersebut.
Kita wajib setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya berarti kita dilarang/tidak boleh membangkang,  menyepelekan, mengabaikan, apalagi menentang perintah Rama Pran-Soeh dan UtusanNya, tidak boleh mendua kepercayaan yaitu mempunyai sesembahan lain selain Rama Pran-Soeh. Orang yang demikian itu berarti orang yang sudah menentang/ mengingkari/terbelah atau tidak utuh lagi keyakinannya.
Kita wajib setia dan taat kepada pemerintah kita beserta para wakilnya berarti kita dilarang membangkang/menentang apalagi melawan pemerintah kita dan para wakilnya. Kita dilarang setia dan taat kepada pemerintah lain/manca negara, lebih-lebih kalau sedang memberontak/melawan yang bermaksud untuk meruntuhkan pemerintah kita.
Kita berkewajiban mencintai dan mengasihi ibu dan bapak kita beserta seluruh keluarga yang kedudukannya lebih tua, anak-isteri/suami beserta seuruh keluarga yang menjadi tanggungan kita, cinta kasih kepada sesama makhluk, berarti kita dilarang untuk tidak cinta dan kasih, yaitu benci, berani, tidak sayang, tidak berbelas kasih dan mengabaikan/tidak menjalankan yang ditentukan dalam kewajiban tujuh macam tadi.
Kita wajib rajin bekerja dan menepati janji, berarti kita dilarang untuk malas, menghindari pekerjaan, tidak bersemangat dalam bekerja, dusta dan mengingkari/tidak menepati  janji.
Kita wajib berbudi luhur, bertindak adil dan berbelas kasihan berarti kita tidak boleh bertindak tidak adil dan tidak mempunyai rasa belas kasihan, tidak boleh  tegaan melihat penderitaan orang lain, dan tidak boleh pilih kasih/berat sebelah. Jadi larangan nomor 4 itu menguatkan pada semua kewajiban tujuh macam di atas.  










TAMBAHAN


ASELINYA:
P U J I   L A N G G E N G

Niyat ingsun muji langgeng, suksma mulya kumpula badan kawula, mugi antuk rohmating Tuhan, ingayoman UtusanNya, Rama Pran-Soeh mung Paduka kang sun sem­bah, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo Panutan ham­ba, nyuwun apuraning Bapa, tuwin aksamaning Biyung, Rama hamba nyuwun sandhang, Ibu hamba nyuwun tedha, Rama Ibu pinurba hing Yang Suksmana, Yang Suksmana ngijabahi mring kawula.


TERJEMAHAN:

HARAPAN  ABADI

Niat saya menyampaikan harapan abadi, Suksma mulia herkumpullah dengan badan saya,
Berharap memperoleh rahmat Tuhan, dilindungi UtusanNya,
 Rama Pran-Soeh hanya paduka yang saya sembah, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo Panutan saya,
Mohon pengampunan Bapa, serta  belas kasihan ibu,
Bapa, saya mohon diberi sandang, ibu, saya mohon diberi pangan
Bapa ibu digerakkan oleh Yang Suksmana
Yang Suksmana, mengabulkan harapan saya



















***A***
BAB  XXV
SEMBAHYANGAN


Pangruwat:
Rama Pran-Soeh, saya mohon perlindungan dari godaan Nyawa, musuh saya.

Sembahyangan:

1.      Rama Pran-Soeh, saya menyaksikan dan mengakui serta percaya dan tidak akan menyangkal bahwa hanya Paduka Rama Pran-Soeh yang menciptakan, mengawali dan mengakhiri demikian juga menguasai semua yang berada di Alam Fana dan Alam Halus  seluruhnya.
 
2.      Ya hanya Paduka Rama Pran-Soeh yang menyatu dalam diri Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, yang menjadi asal muasal atau bibit hidup para  makhluk dan seluruh kehidupan, yang terlihat dan tak terlihat, yang terasa dan tak terasa oleh indera lahir maupun indera batin manusia.

3.      Rama Pran-Soeh, saya menyaksikan dan mengakui bahwa semua sifat fana itu, sungguh tidak akan abadi adanya serta akan rusak, hancur luluh kembali ke Alam Fana dunia ini, sebagaimana saya saksikan pada akhirnya barang-barang pada rusak dan orang-orang pada mati.

4.      Rama Pran-Soeh, saya menyaksikan dan mengakui bahwa semua badan halus yang telah berpisah dengan badan jasmani atau raga itu masih berwujud roh halus yang berbuat dan berubah  dikendalikan oleh kehendak Rama Pran-Soeh di Alam Halus.

5.      Rama Pran-Soeh, saya menyaksikan dan mengakui bahwa keadaan roh halus di Alam Halus itu pada kenyataannya berada dalam pengadilan Paduka Rama Pran-Soeh menurut buah perbuatan badan jasmani di dunia fana, contohnya sebagaimana keadaan roh halus saya di Alam Halus ketika menyaksikan permulaan, pertengahan sampai akhir perjalanan hidup manusia yang hidupnya pada bisa dan tidak bisa meninggalkan hawa nafsunya.

6.      Rama Pran-Soeh, saya selalu merasakan dan menyadari bahwa perbuatan saya sehari-hari itu hanya sekedar melakukan gerak dorongan hati yang baik dan jahat, yang saling berebut satu sama lain, sehingga membuat tidak jelas pengertian saya yang menjadikan benar atau salah perbuatan saya.

7.      Rama Pran-Soeh, saya mohon cahaya terang Paduka yang dapat membuka pengertian saya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, agar saya dapat berbuat yang benar.

8.      Rama Pran-Soeh, saya mohon disucikan suksma saya, supaya diterima menghadap Rama Resi Pran-Soeh Utusan Paduka, demikian pula selalu diberi ingat dan dapat melaksanakan semua perintah Paduka.

9.      Rama Pran-Soeh, hidup saya berasal dari Rama Pran-Soeh, oleh karena itu kembalinya hidup saya mohon sempurna, menyatu dengan Rama Pran-Soeh, asal hidup saya atas perkenan Paduka.
Permohonan
Rama Pran-Soeh, saya mohon ... (sesuai kebutuhan apa yang dimohonkan, misalnya: Rama Pran-Soeh, saya mohon bertemu dengan Rama Resi Pran-Soeh Utusan Paduka, contoh lainnya: Rama Pran-Soeh, saya mohon bertemu dengan Juru Selamat seluruh umat manusia, ...).

Penyebut
Rama Pran-Soeh sesembahan saya à diucapkan sepuluh kali
Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo Panutan saya àdiucapkan satu kali


Keterangan
Pangruwat:
Selain diucapkan pada saat kita akan mulai berdoa, bisa juga digunakan ketika melakukan apa saja, misalnya: akan bekerja, akan bepergian, sedang menyetir mobil/mengendarai sepeda motor, merehabilitasi rumah, akan memanjat pohon, menebang pohon yang dianggap angker, masuk ke wilayah yang angker/menakutkan, dan sebagainya.

Penyebut:
Paling sedikit diucapkan tiga puluh tiga kali, namun kalau belum bisa tidur juga, dapat mengucapkan penyebut tiga ratus tiga puluh kali atau lebih juga baik.
Jadi:
Rama Pran-Soeh sesembahan saya à diucapkan sepuluh kali
Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo Panutan saya àdiucapkan satu kali
Ucapan itu diucapkan tiga kali (11x3 = 33), atau diucapkan sepuluh kali (11x10 = 110), atau tiga puluh kali (11x30 = 330) atau lebih.

Sembahyangan:
Sembahyangan juga demikian, dapat dipanjatkan sewaktu kita akan melakukan kegiatan yang sangat penting, untuk itu sembahyangan dapat dipilih sesuai dengan kebutuhan kita, misalnya: ketika akan mengadakan musyawarah untuk mengambil suatu keputusan, harus menjawab pertanyaan yang mengkhawatirkan/membahayakan/menejerat diri kita, sedang gelap batin kita, maka yang harus diucapkan disesuaikan dengan kebutuhan kita, umpamanya  sebagai berikut:
1.      Akan menghadapi ujian/test atau menghadapi hal yang rumit/sulit, mengucapkan sembahyangan nomor 7.
2.      Kalau menuntun/mendampingi orang yang sedang sekarat (akan meninggal), mengucapkan sembahyangan nomor 9 atau Penyebut.
3.      Permohonan yang berhubungan dengan sembahyangan untuk ruwat, setelah selesai mengucapkan sembahyangan nomor 9, kemudian mengulang sembahyangan nomor 7, 8 dan 9, satu kali yang ditujukan untuk  dan mengucapkan suksma orang yang kita ruwat, misalnya orang yang kita ruwat bernama “Naya”, maka sembahyangannya sebagai berikut:
·       Rama Pran-Soeh, saya mohon suksma Naya diberikan cahaya terang Paduka yang dapat membuka pengertiannya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, agar Naya dapat berbuat yang benar.
·       Rama Pran-Soeh, saya mohon suksma Naya disucikan, supaya diterima menghadap Rama Resi Pran-Soeh Utusan Paduka, demikian pula selalu diberi ingat dan dapat melaksanakan semua perintah Paduka.
·       Rama Pran-Soeh, hidup Naya berasal dari Rama Pran-Soeh, oleh karena itu kembalinya hidup Naya mohon sempurna, menyatu dengan Rama Pran-Soeh, asal hidup Naya atas perkenan Paduka.
·       Penyebut untuk sembahyangan ruwat diucapkan seratus sepuluh kali.
·       Caranya mengucapkan: kepala menghadap ke bawah, mengucapkan panebut bergantian, setiap mengucapkan Rama Pran-Soeh sesembahan saya sebanyak sepuluh kali, kemudian diselingi mengucapkan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo Panutan Saya sebanyak satu kali. Demikian diucapkan terus menerus sebanyak sepuluh kali (jadi 10x11=110).
·       Ketika mengucapkan/menyebut Rama Pran-Soeh atau Rama Resi Pran-Soeh Sastrosowignjo, penglihatan kita tertuju pada dada sebelah kiri, sewaktu mengucapkan/menyebut Sesembahan atau Panutan, penglihatan kita tertuju pada ulu hati, sedangkan saat kita mengucapkan/menyebut Saya, penglihatan kita tertuju pada dada sebelah kanan.
·       Sembahyangan hanya diucapkan dalam hati saja ketika kita tidur bersama orang banyak, ketika sedang naik kendaraan untuk bepergian jauh/dekat, ketika sedang bersepeda, ketika sedang bekerja dan sebagainya.





***A***
BAB  XXVI

TATA-TERTIB ASTANA-WAJA BALE SUCI AGUNG GEDHONG PRAN-SOEH TLAGA MAHARDA
 

1.    Sudah jelas disebutkan dalam perjalanan sejarah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo bahwa semasa masih hidup di dunia ini Beliau sudah membuat calon makam/kuburan/tempat peristirahatan terakhir Beliau dan ibu ketika wafat nanti, dan juga tempat untuk bersembahyang/ menyembah Rama Pran-Soeh, tempat untuk bertapa brata atau tempat pertapaan, tempat sebagai sarana bagi siapa saja yang membutuhkan atau ingin memperoleh anugerah/kemurahan Rama Pran-Soeh seperti: jabatan/pangk at/kedudukan, kekayaan, rahmat dan sebagainya. Pada saat ini, kita semua, murid-murid  Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo (kadang golongan) yang setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya, yang sudah pada menyaksikan dan mengakui serta percaya dan tidak akan menyangkal bahwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo adalah Utusan Rama Pran-Soeh. Tempat yang disebut di atas pada saat ini sampai selama-lamanya menjadi Pusaka yang ampuh untuk berjuang dalam memperoleh ketenteraman lahir dan batihn. Tempat yang digunakan untuk mengubur jenazah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dan ibu disebut Astana Waja. Yang disebut Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh Tlaga Maharda yaitu gedung di depan Astana Waja, tempat untuk menyembah Rama Pran-Soeh atau tempat untuk bersembahyang, jadi merupakan tempat yang khusus bagi para suci untuk menyembah Rama Pran-Soeh. Tempat/tanah tempat berdirinya Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh itu dinamakan  Tlaga Maharda, dapat juga disebut pekarangan Cepuri Astana-Waja dan Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh.
2.    Astana-Waja, Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh dan Tlaga-Maharda itu nama yang diperoleh dari Alam Batin /Alam Halus/Alam Kasuksman, yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Panutan, yang diharapkan dapat menjadi nama yang tetap untuk selama-lamanya, tidak diperkenankan untuk diganti. Untuk seterusnya yang menjadi penanggungjawab Astana-Waja dan Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh adalah putera Panutan yang bernama RPS.R.Wenang Atmadipraja S.H. yang tinggal di Ge­dhong Cibuk Cangkiran Jagalan Munthilan. Siapa saja yang akan ziarah ke Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh harus menghadap RPS.R.Wenang Atmadipraja S.H. lebih dahulu menyampaikan apa yang menjadi keperluannya. Di rumah tersebut, siapa saja yang akan ziarah dicatat dalam Buku Ziarah (Buku Besar), yaitu: nama, umur, pekerjaan, dan alamat. Setelah dicatat, kemudian diberi kartu untuk ziarah (masuk) ke  Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh, untuk selanjutnya kartu tersebut diserahkan kepada orang yang ditugasi menunggu Bale Suci (Juru Kunci). Yang ditugasi menunggu Bale Suci pada saat ini adalah: bapak R. Suramujana dan bapak Harjautama. Selama di Bale Suci tentu saja harus bertingkah laku sesuai peraturan/tata tertib untuk masuk Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh dan patuh pada aturan-aturan yang disampaikan oleh Juru Kunci. Mengenai RPS. R. Wenang Atmadipraja, SH, ketika Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo masih hidup, banyak para murid/kadang golongan yang menerima sabda Panutan demikian:”Besuk yang akan meneruskan  perjalananKu  itu anakKu Wenang. Siapa yang benci kepada anakKu sama saja benci kepadaKu!”

3.    Mengingat adanya sabda Panutan yang seperti itu, kita semua hanya dapat mematuhi, setia dan taat kepada apa saja yang dikehendaki oleh RPS. R. Wenang Admadipraja, SH, tinggal menerima perintah, apa saja yang diperintahkannya, mengingat sabda Panutan sebagaimana disebutkan di atas. Kita semua merasa beruntung dan berterima kasih sekali kepada R. Wenang Admadipraja, SH dan isterinya (Ibu  Wenang) yang telah memper-kenankan kita semua untuk berziarah ke Astana Waja dan Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh. Beliau berdua sangat mirip dengan tatkala Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dan ibu masih hidup. Jika ada kadang golongan yang menghadap/berziarah, pasti diberikan makan dan minum serta mendapat perlakuan yang ramah dan baik, diberi saran dan syarat apa saja agar kita semua selalu kuat, sehat serta selamat. Untuk selanjutnya agar kita semua selalu ingat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya.

4.    Mengingat tinggalan Panutan yang berupa Surat Wasiyat, yang antara lain menyebut-kan:”Makam Bapak dan Ibu agar disediakan waktu meskipun hanya setahun sekali harus dikunjungi!” Rama Panutan, jika membicarakan tentang diriNya tidak mau vulgar, tetapi selalu dengan kiasan (Jawa:pasemon), oleh karena itu kita semua sebagai murid-murid Beliau harus dapat menangkap apa yang dimaksud dalam Surat Wasiyat tersebut, yaitu meskipun kita mengalami kerepotan/kesibukan apapun juga, meskipun kita tinggal jauh dari Muntilan,  tetapi walaupun hanya bisa setahun sekali,  kita harus meluangkan waktu  untuk  mengunjungi makam Panutan dan Ibu yaitu berziarah ke Astana Waja, sokur-sokur kalau kita bisa berkunjung pada waktu yang ditentukan oleh RPS R. Wenang Admadipraja, SH, yaitu pada hari-hari raya/besar. Perintah Panutan yang ditulis di atas selembar kertas yang berupa Surat Wasiyat tersebut ditulis pada tanggal 27 Desember 1955. Mengenai ziarah, yang harus diutamakan adalah ziarah ke Astana Waja di desa Jagalan, kecamatan Muntilan yaitu tempat disemayamkan-Nya jenazah Rama Panutan dan Ibu. Sedangkan ziarah ke makam kakek dan nenek, bapak dan ibu serta keluarga kita yang berkedudukan lebih tua itu juga harus disediakan/diluangkan waktu. Kita semua, murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, pada saat ini sampai selama-lamanya,  menerima warisan/ tinggalan tempat yang bersejarah/harta pusaka yang sangat-sangat berharga, istilah lain: monumen, yang harus selalu diingat dan diluhurkan, jangan sampai rusak dan tidak di-perhatikan, harta pusaka atau monumen tersebut adalah:  Astana-Waja, Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh, Sumur Jala-Tundha, tempat untuk pertapaan kaum wanita yaitu Cibuk‑Cangkiran, tempat untuk pertapaan kaum  laki-laki ada di bangunan Gedhong sebelah selatan Sumur Jala-Tundha, dan  Sasana Sewaka (tempat untuk beristirahat).
Untuk lebih jelasnya, mengenai arti Astana Waja, Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh, Tlaga Maharda dan Asmara Data dapat diuraikan sebagai berikut:
a.    Astana Waja
Astana (bahasa Indonesai: Istana) itu artinya bangunan kerajaan, Waja (bahasa Indonesia: besi baja) itu artinya besi yang keras dan sangat kuat, jadi yang dimaksudkan dengan Astana Waja (bahasa Indonesia: Istana Baja) adalah bangunan kerajaan yang kuat dan  kokoh, tidak mudah rusak, serta tahan lama/awet.
b.    Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh
Bale Suci artinya Rumah Suci, Agung artinya besar, jadi Bale Suci Agung artinya Rumah Suci yang besar, ini menjadi induk dan pusat dari semua Bale Suci di belakang hari kemudian, tempat-tempat dimana banyak tersebar murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang ingin memiliki tempat untuk bersembahyang/menyembah Rama Pran-Soeh dapat membuat Bale Suci; Jangan dinamakan sama seperti di Muntilan, tetapi cukup Bale Suci saja. Agung yang berarti besar ini bukan besarnya bangunannya, tetapi menjadi pusat/induk untuk menyembah Rama Pran-Soeh dan disitu tempat bagi benar atau tidak benar (kesasar)-nya suksma orang yang sudah meninggal dunia.
c.     Tlaga Maharda
Tlaga Maharda yaitu pekarangan sebagaimana dijelaskan dalam Bab XIX, sebelum didirikan Astana Waja dan Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh, masih berwujud sawah dan kolam yang di Alam Batin/Alam Halus/Alam Sasmita Maya kolam tersebut terlihat sangat luas, tidak bertepi seperti halnya lautan. Sedangkan istilah Maharda itu berasal dari dua istilah yang di gabungkan yakni Maha dan Harda; Maha artinya  besar atau lebih yang tidak ada bandingannya, sedangkan harda berarti hawa nafsu, jadi Maharda dapat diartikan sebagai hawa nafsu yang besar/melebihi tanpa ada bandingannya yaitu induk /rajanya hawa nafsu. Jika kita melihat di Alam Halus/Alam Batin/Alam Sasmitamaya suksma orang yang sudah meninggal berada di Tlaga Maharda itu adalah suksma yang kesasar/terhenti langkahnya tidak dapat kembali menyatu dengan Rama Pran-Soeh dan menjadi makanan/jajahannya Sang Pria/Sang Putri (induk/raja/ratu dari hawa nafsu).
d.    Astana Waja dan Bale Suci Suci Agung Gedhong Pran-Soeh Tlaga Maharda itu tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain karena semuanya sama pentingnya.
e.    Tidak semua murid Rama Panutan boleh memasuki Astana Waja, yang boleh memasuki Astana Waja hanya murid yang sudah katam Ilmu Tuhan Tiga Perangkat dan memperoleh cahaya terang Rama Pran-Soeh dan ditunjuk oleh penanggungjawab yaitu RPS. R. Wenang Admadipraja, SH untuk saat ini. Semua murid yang berziarah hanya diperkenankan masuk ke Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh. Astana Waja hanya dibuka pada saat hari raya/besar seperti: pada hari kelahiran Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo (tanggal 30 September  atau hari Rabu Pahing), hari diterimaNya Wahyu Ilmu Sejatining Putri (tanggal 29  Agustus), hari diterimaNya Wahyu Ilmu Sejatining Kakung/Wahyu Utusan/Wahyu Roh Suci (tanggal 29 Maret) dan pada hari mengenang wafatNya Panutan (tanggal 24 Oktober). Keperluan untuk masuk ke Astana Waja adalah mengelap/membersihkan batu nisan sambil mengharapkan berkah/anugerah dari Rama Pran-Soeh. Itu semua yang menentukan adalah RPS. R. Wenang Admadipraja, SH, selanjutnya siapa saja yang diperintahkan beliau melalui juru kunci  R. Suromujono, diatur masuk bergantian, misalnya wakil murid dari Gunungkidul berapa orang, dari  daerah Sleman berapa orang, dari daerah Kedu berapa orang dan seterusnya. Demikian tatacara mengelap/membersihkan batu nisan, namun sebelum para murid masuk ke Astana Waja, lebih didahulukan anak-cucu, dan cucu buyut Rama Panutan, kalau sudah selesai baru giliran para murid Panutan.
f.      Di antara Astana Waja dan Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh terdapat ruangan/halaman yang disebut Asmara Data. Asmara artinya cinta atau keinginan yang kuat, sedangkan data berasal dari kata pradata (bahasa Jawa) yang berarti pengadilan. Asmar Data yaitu tempat untuk mohon pengadilan kepada Rama Pran-Soeh sampai memperoleh jawaban yang jelas (dapat bertemu  dengan/menghadap   wujud aseli Utusan Tuhan/Juru Pengadil) mohon keputusan/penyelesaian masalah apapun yang kita mohonkan pengadilanNya.
Tidak semua orang diperkenankan bertapa untuk menyampaikan permohonan di Asmara Data, kecuali bagi orang yang sudah memperoleh perintah yang jelas dan aseli di Alam Halus, dipanggil untuk bertapa/tidur di Asmara Data.
Siapa saja yang belum katam tidak diperkenankan sama sekali bertapa atau menyampaikan permohonan di Asmara Data, boleh atau dapat diperkenankan hanya di Sumur Jala Tunda sebelah timur  Bale Suci
g.    Semua murid yang pada berziarah di Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh, tidak boleh hanya masuk dan mengambil tempat sembarangan, tetapi harus diatur yaitu bagi kaum laki-laki mengambil tempat di sebelah kanan lurus dengan makam Panutan, sedangkan bagi kaum wanita mengambil tempat di sebelah kiri lurus dengan makam ibu. Bagi kaum wanita  yang sudah selesai bersembahyang di Bale Suci, boleh beristirahat di Sasana Sewaka, tetapi tidak diperkenankan menginap/tidur disitu. Sudah diperintahkan oleh RPS. R. Wenang Admadipraja, SH, bagi kaum wanita yang akan menginap harus menginap di Cibuk Cangkiran (rumah tinggal beliau). Para murid kaum laki-laki diperkenankan menginap di Sasana Sewaka, tetapi dilarang tidur di Bale Suci. Para murid kalau pada berziarah ke Bale Suci  harus selalu ingat perintah Panutan ketika masih hidup sebagai berikut:”Kalau pada datang ke Bale Suci/Astana Waja, jangan pada menyembah gambar atau batu nisan, tidak boleh sesaji dengan menggunakan bunga atau membakar kemenyan!” Untuk membersihkan/mengelap batu nisan, sudah disediakan kain putih yang bersih, ketika akan digunakan untuk mengelap batu nisan, kain putih tersebut lebih dahulu dibasahi dengan minyak wangi.
h.    Ketika akan berziarah ke Bale Suci harus melaksanakan tata susila/tata tertib sebagai berikut: berpakaian yang lengkap dan sederhana, tidak boleh berpakaian yang berwarna warni, lebih-lebih pakaian yang berwarna merah dan biru; Intinya mulai saat menginjak halaman Bale Suci sampai di sekitar Bale Suci tidak boleh berisik, tidak boleh bercanada, bersuara yang keras apalagi jorok/porno, harus dengan rendah hati, diam, sunyi tertuju pada kesucian. Pikiran hanya melulu tertuju, berfokus pada rasa  ingin menghadap Rama Pran-Soeh dan UtusanNya. Bagi anak cucu dan keluarga Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, sewaktu-waktu boleh berziarah ke Bale Suci, karena yang bersemayam disana itu adalah orang tua, kakek-nenek mereka.




***A***
BAB XXVII
PENANGANAN  ORANG MATI


1.      Sudah menjadi kepercayaan/keyakinan kita, karena sudah pada menyaksikan kenyataan batin, bahwa wujud badan fisik kita yang bisa dilihat dengan indera mata kita adalah berupa raga yang hanya ada satu saja jumlahnya. Tetapi ketika diselidiki dengan mata batin (makrifat) yaitu dengan cara meditasi (semedi) tidur,  sebenarnya adanya raga yang hidup itu tidak hanya berupa raga (hanya berjumlah satu) saja, melainkan ada tiga unsur yang menyatu (Jawa: adeg teluning atunggal) atau bisa dikatakan trinitas, yaitu berupa: Raga, Suksma dan Nyawa/Hawa Nafsu. Keadaan didunia hanya ada dua yaitu ada senang dan ada sedih, ada hidup dan ada mati, dan sebagainya. Kesedihan yang paling besar bagi manusia di dunia ini yaitu ketika ada keluarganya yang meninggal dunia. Oleh karena itu bagi  orang yang hidup bersama dalam masyarakat, ketika ada kematian, kalau tidak ada halangan yang sangat penting sekali, harus ikut berbela sungkawa, ikut melayat ke tempat siapa saja apakah itu tetangga, sanak saudara, handai taulan dan sebagainya, perlu menyampaikan rasa simpati, menunjukkan cinta kasih kita kepada sesama manusia berupa: tenaga, harta dan  pikiran/pendapat.

2.      Ketika manusia tiba saat ajalnya atau meninggal dunia yaitu berpisahnya suksma dan nyawa dengan raga, yang disebut jenazah atau mayat harus disingkirkan atau dibawa pergi dari masyarakat orang yang hidup, perlu ditangani sebaik-baiknya lalu dikubur di tempat pemakaman/kuburan. Orang yang sudah mati disebut jenazah atau mayat yaitu bagi orang mati yang tubuhnya masih utuh dan sudah terus menerus tidak bernapas selama enam jam; sedangkan bagi orang mati yang tubuhnya terpotong-potong (rusak/tidak utuh), lebih-lebih bila yang terpotong-potong tersebut adalah bagian tubuh yang vital seperti misalnya: jantung dan  liver, bahkan bila tubuhnya lebur, hancur, hilang bentuk tubuhnya, seketika itu juga bisa disebut mati atau menjadi mayat/jenazah. Bagi mayat/jenazah yang masih utuh/tidak rusak, baru setelah enam jam sejak berhenti nafasnya boleh dikuburkan; Sedangkan untuk mayat yang tidak utuh/rusak, waktu itu juga boleh dikuburkan, tentu saja penguburannya boleh dilaksanakan setelah selesai penanganan mayatnya sampai tempat untuk menguburkannya sudah siap.
Semua yang disebutkan di atas menetapkan setelah selama enam jam secara terus menerus mayat  tidak bernafas itu untuk mencegah:
a.      Menjaga jangan-jangan mayat tersebut hanya setengah mati istilah lainnya pingsan,  makanya harus dibiarkan untuk sementara waktu, siapa tahu mayat tersebut diberi kesadaran dan dapat hidup kembali. Oleh karena itu dilarang menusuk pada bagian jantung untuk mengambil darah sebagai bahan pemeriksaan apakah ada bibit penyakit yang menular atau tidak.
b.      Untuk memberikan kesempatan bagi penyelidikan bila ada dugaan terjadinya perbuatan nakal dan jahil, menginginkan warisannya atau si mayat tersebut menjadi saksi perkara di pengadilan.

3.      Sebelum kita menangani mayat/jenazah, lebih dahulu harus mengetahui mengenai mayat/jenazah tersebut, apakah mayat itu laki-laki, perempuan, bayi, anak-anak, orang tua, orang tua renta, apakah mayat itu utuh, rusak, terpotong-potong, hancur, mempunyai penyakit menular atau tidak, dan sebagainya. Semua itu menentukan dan sekaligus menyebabkan perbedaan cara penanganan mayat tersebut.
Cara penanganan mayat tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Mayat/jenazah orang dewasa dan orang tua yang belum renta (tua sekali), kalau mayat wanita yang menangani juga wanita, kecuali ahli warisnya laki-laki juga boleh menangani. Sedangkan bila mayatnya laki-laki yang menangani juga laki-laki. Semua itu untuk menjaga kesusilaan, karena harus memegang dan menyentuh pada saat memandikan maupun mengenakan pakaian pada mayat. Sebaliknya untuk mayat bayi, mayat anak-anak atau orang yang belum dewasa, maupun orang tua renta, penganganan mayat boleh dilakukan oleh siapa saja laki-laki atau perempuan.
b.      Kalau menangani mayat dari orang yang berpenyakit menular dan berbahaya bagi orang lain, penanganannya harus sangat hati-hati dijaga agar jangan sampai tertular penyakit. Ditunjuk orang yang benar-benar sehat, cukup satu atau dua orang saja, tidak perlu dimandikan, diambil yang perlu-perlu saja.
c.       Penanganan mayat yang terluka, rusak, terpotong-potong, menggunakan satu dua orang saja, dipilih orang yang tahan dan berani menangani mayat yang sedemikian itu,  penanganannya diambil yang perlu-perlu saja.
d.      Sikap dan pelaksanaan penanganan mayat harus serba pelan-pelan, sabar dan hati-hati, tidak boleh tergesa-gesa dan sembarangan, dengan tata susila yang seharusnya.

4.      Penanganan jenazah yang tubuhnya masih utuh dan tidak memiliki penyakit yang menular adalah sebagai berikut: dimandikan/disucikan, dikenakan pakaian, dibungkus, disembahyangkan, dikubur dan diberi batu nisan/tanda.


KETERANGAN-1

a.      Dalam memandikan mayat harus bersih, menggunakan air yang bersih, disabun dan dibilas berulang-ulang hingga bersih.
b.      Mayat/jenazah sedapat mungkin harus diberi pakaian, paling tidak  harus dibungkus. Pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang biasa dikenakan waktu masih hidup, yaitu pakaian yang lengkap, pakaian yang baru lebih baik, paling tidak yang bersih dan pantas. Mayat/jenazah perlu dikenakan pakaian itu disesuaikan/dicocokkan dengan kenyataan orang yang bermimpi bertemu dengan suksma orang-orang yang sudah meninggal dunia, mereka pada berpakaian. Sedangkan yang dibungkus, kalau mampu bungkusnya dari kain berwarna putih (bahasa Jawa: meslim), kalau terpaksa karena tidak mampu/miskin bisa dibungkus dengan tikar, bagor, dan sebagainya yang penting terbungkus semuanya (tidak kelihatan). Mengenakan pakaian atau membungkus mayat jangan berlebihan, yang wajar saja, sederhana dan memadai. Mayat perempuan, sekalipun masih muda atau juga yang sudah tua tidak perlu di make up (diberi lipstik, pemerah wajah, bedak, dan sebagainya), yang polos saja, demikian pula untuk mayat laki-laki yang semasa hidup biasanya tidak memakai bedak, tidak perlu dibedaki. Kalau ada/bisa/mampu,  mayat agar dimasukkan dalam peti.  Untuk mayat yang rusak, tidak utuh, terpotong-potong, tidak perlu  dikenakan pakaian, cukup dibungkus saja.
c.       Mayat/jenazah harus disembahyangkan secara bersama-sama atau sendiri-sendiri. Sembahyangan dilakukan sebelum mayat diberangkatkan ke tempat pemakaman/kuburan. Sembahyangan itu menjadi kewajiban bapak-ibunya, anak -  isteri/suaminya, dan para ahli warisnya serta para teman, handai taulannya. Sembahyangan ditujukan pada suksma orang yang meninggal dunia agar dapat berhasil menghadap Guru Panutannya.
d.      Mayat/jenazah dikubur di tempat pemakaman/kuburan. Panjang, lebar dan dalamnya lubang disesuaikan dengan panjang, lebar dan tinggi peti jenazah, diusahakan agar tidak sesak atau cukup dimasuki peti jenazah, secara umum lebarnya kurang lebih satu meter, dalamnya kurang lebih satu setengah meter, lebih dalam lagi lebih baik agar tidak bau, sedangkan panjangnya disesuaikan dengan panjang peti jenazah. Kalau tempat pemakaman berada di dekat hutan dimana terdapat banyak hewan buas misalnya: harimau, serigala, anjing hutan dan sebagainya, cara pembuatan lubangnya supaya dinding kiri atau kanan dilubangi untuk memasukkan peti jenazah sehingga binatang buas tersebut tidak dapat menggali sampai ke tempat mayat berada dan tidak dapat membawa lari dan memangsa mayat tersebut.
e.      Mayat/jenazah sedapat mungkin diberi tanda/dipasangi batu nisan, agar para ahli waris yang ingin berziarah ke makam tidak sulit dan bingung untuk menemukan kuburannya. Oleh karena itu batu nisan hendaknya diberi/dituliskan nama orang yang dikuburkan di dalamnya, tanggal, bulan dan tahun  kematiannya, sokur-sokur disebutkan hari dan pasarannya sekalian. Batu nisan yang akan dipasang tergantung kemampuan ahli warisnya, apakah akan dibuat dari batu putih, batu hitam, porselin, marmer, keramik, traso dan sebagainya. Batu nisan yang akan dipasang dapat mencontoh batu nisan yang dipasang di makam Panutan kita, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, di Astana Waja Muntilan. Kalau meniru batu nisan di makam  Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo jangan sama persis, tetapi harus yang biasa saja atau polos, tidak perlu menggunakan tumpang tetapi cukup dengan satu lapisan saja. Mengenai kudung Penengah yang berujud bola (bulat sekali) yang diletakkan di tengah batu nisan, itu tidak semua orang diperkenan-kan memasangnya, kecuali bila orang yang mati tersebut suksmanya disaksikan di Alam Halus/Alam Kasuksman sudah menghadap Rama Resi Pran-Soeh, sokur-sokur sudah menyatu dengan Rama Pran-Soeh (sempurna). Mengenai tanda (batu nisan) untuk almarhum Rama Panutan agar lebih jelasnya dirinci sebagai berikut:
a)    Yang paling bawah namanya lambaran berbentuk empat persegi panjang, dengan lebar= 60 cm dan panjang 180 cm, ini adalah ukuran untuk orang tua dan orang yang sudah dewasa. Sedangkan untuk bayi dan anak-anak panjang lambaran= 120 cm dengan lebar= 40 cm. Lebar lambaran diusahakan lebih lebar dari mayat, tebalnya lambaran diusahakan lebih tinggi dari  lantainya. Bentuk empat persegi panjang mengandung arti atau menggambarkan alam fisik/alam dunia yaitu alamnya hawa nafsu.
b)    Di atas lambaran namanya badan, bentuknya seperti guling (silinder) yang dibagi dua, menjadi setengah lingkaran yang memanjang, bisa dilebihi sedikit supaya lebih serasi, panjangnya paling sedikit sama dengan panjang jenazah, dilebihi sedikit lebih baik. Dibandingkan dengan lambaran, panjang badan dikurangi kurang lebih lima sentimeter di bagian atas (kepala) maupun di bagian bawah (kaki), demikian juga lebar badan di bagian kiri maupun kanan lebih sempit lima sentimeter dibandingkan lebar lambaran, intinya dibuat yang seserasi mungkin/simetris agar enak dilihat. Makna dari silinder yang dibagi dua persis adalah bahwa kebutuhan raga/jasmani dan kebutuhan rohani itu harus sama-sama dipentingkan/dipenuhi.
c)     Bagian atas yang menancap pada badan batu nisan ada tiga jumlahnya, namanya kudhung, yang ditancapkan pada bagian atas (kepala), tengah (perut) dan bawah (kaki). Kudung di bagian atas dan bawah bentuknya maju telu pra­saja, sedangkan yang di bagian tengah bentuknya bulat/bundar (seperti bola). maju telu pra­saja menggambarkan Alamnya Raga, Nyawa dan Suksma. Bentuk bundar (bulat) menggambarkan Alam Kesempurnaan. Kudung yang berbentuk maju telu pra­saja dapat langsung dipasang pada batu nisan, sedangkan kudung yang berbentuk bula (bundar) pemasangannya menunggu kalau suksma dari orang yang dikubur sudah berada di tempat yang benar atau sempurna. Ketiga kudung dapat dipasang bersamaan apabila suksma dari orang yang meninggal dunia tersebut langsung berhasil menghadap Rama Resi Pran-Soeh atau menyatu dengan Rama Pran-Soeh. Kudung yang menancap pada badan nisan disebut gulu atau garan.
d)    Selain ada tiga bagian utama sebagaimana dijelaskan di atas yaitu: lambaran, Badan dan kudung, batu nisan untuk Beliau Rama Panutan, di atas lambaran namanya Tumpang. Batu nisan untuk Beliau Rama Panutan, memakai Tumpang yang berjumlah sebelas. Bentuk Tumpang merupakan lapisan-lapisan yang berada di antara lambaran dan badan, yang disusun makin ke atas semakin kecil (semakin berkurang lebarnya maupun panjangnya) berbentuk seperti tangga (tlundag-tlundagan). Batu nisan untuk ibu, Tumpangnya berjumlah sembilan.
e)    Untuk mayat/jenazah yang hilang dan tidak dapat ditemukan, misalnya: orang yang terbawa arus banjir, tenggelam di sungai/di laut, terbakar sampai menjadi abu,  dan sebagainya, cukup disembahyangkan saja. Selanjutnya, sebagai gantinya mayat/jenazah, dapat dikuburkan barang milik orang yang meninggal dunia tersebut, misalnya: pakaiannya, tongkatnya dan lain-lainnya, untuk mengingat pada orang yang meninggal dunia tersebut lebih-lebih apabila ada pertanyaan dari anak, cucu, buyut dan semua keturunannya. Itulah pentingnya untuk segera dipasangi batu nisan/tanda.
f)      Orang yang sedang mengandung yang mana kandungannya sudah bergerak-gerak menandakan banyinya sudah hidup. Apabila orang tersebut meninggal dunia termasuk bayi dalam kandungannya, penanganan jenazahnya dihitung satu orang, tetapi sembahyangan harus memohonkan suksma orang yang mengandung dan suksma bayi yang dikandung (terhitung dua suksma).
g)    Jika ada bayi yang lahir sudah meninggal dunia, atau orang yang mengalami keguguran, padahal saat mengandung sudah berwujud bayi dan bayinya/janinnya sudah bergerak-gerak, jenazah/mayatnya diperlakukan sebagai mayat/jenazah bayi, sedangkan bila orang yang keguguran itu janinnya belum berwujud bayi dan waktu dalam kandungan belum bergerak-gerak, dianggap sebagai barang yang tidak hidup, maka perlu ditangani seperti menangani mayat/jenazah tetapi tidak perlu disembahyangkan.


KETERANGAN 2

a.      Mayat/jenazah boleh dihiasi dengan bunga asal apa saja asal wajar, serasi dan sederhana (tidak berlebihan). Boleh menggunakan bau wewangian/parfum yang menyebarkan bau harum dan bau apa saja yang dapat menghilangkan/mengalahkan bau mayat/jenazah yang tidak sedap. Membakar kemenyan tidak diperkenankan. Sesaji dan selamatan juga tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan kepercayaan batin.
b.      Untuk memeriksa apakah orang yang meninggal tersebut mengidap penyakit menular atau tidak, yaitu untuk menjaga kesehatan masyarakat, diperkenankan untuk mengambil darah dengan cara menusuk tepat pada jantungnya setelah waktu enam jam sejak yang bersangkutan meninggal dunia (detak jantungnya berhenti dan tidak bernafas). Sebaliknya pengambilan darah dengan cara itu dilarang/tidak diperkenankan bila dilakukan sesaat setelah orang yang bersangkutan baru saja meninggal dunia. Larangan mengambil darah ini sama dengan larangan untuk mengubur mayat/jenazah sebelum lewat enam jam sejak jantungnya tidak berdetak dan tidak bernafas.
c.       Untuk menjaga kesehatan masyarakat, dan untuk tidak memberi beban yang lebih berat kepada keluarga yang tidak mampu, kita tidak diperkenankan/dilarang memperlama/menunda-nunda penguburannya sampai lebih dari dua puluh empat jam, kecuali orang yang meninggal itu orang yang penting, contohnya seperti pada saat wafatNya Rama Panutan.
d.      Bila diperlukan,  diperkenankan untuk menggali kembali kuburan untuk mengambil bagian dari mayat untuk diperiksa atau mayatnya dibedah/diotopsi apabila sangat penting untuk memperjelas perkara/ masalah yang besar.
e.      Demikian juga diperkenankan untuk memindah kuburan mayat/jenazah bila diperlukan oleh masyarakat atau negara, kecuali makam Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo tetap tidak diperke-nankan untuk dirusak atau dipindah, harus tetap berada di tempat pertama kali Beliau dimakamkan tidak berubah dan tidak boleh dipindahkan dari Astana Waja.
f.        Pemasangan batu nisan, kecuali terpaksa oleh keadaan, dilaksanakan setelah sebelas hari meninggal-nya yang bersangkutan atau paling lama sebelum seratus sepuluh hari.
g.      Mengingat surat wasiyat yang dibuat oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang berbunyi:”Harus meluangkan waktu berziarah ke makam orang tua”, kita berkewajiban menengok atau berziarah ke makam tidak hanya orang tua kita saja tetapi juga ke makam anak, keluarga yang menjadi tanggungan kita, suami/isteri, adik-kakak dan sebagainya untuk membersihkan makam mereka. Pada saat berziarah, kita tidak diperkenankan sesaji, membakar dupa/kemenyan, berdoa memohon kepada roh orang yang meninggal, sedangkan apabila suksma orang yang meninggal belum sempurna atau berada di tempat yang benar, kita malah berkewajiban meruwatnya. Permohonan dan penyembahan kita hanya kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya.
Meruwat artinya memisahkan nyawa yang masih lengket/menyatu dengan suksma orang yang meninggal dunia, jadi orang yang belum katam tentu saja belum dapat meruwat/menolong memisahkan nyawa dari suksma orang yang meninggal dunia (yang diruwat), sebab dengan nyawanya sendiri saja belum dapat memisahkan atau bertemu.


SEMBAHYANGAN  RUWAT

1.      Sembahyangan ruwat dapat dilakukan bersama-sama yang mana ada satu orang yang memimpin. Sembahyangan ruwat dilaksanakan karena ada permintaan dari ahli waris orang yang meninggal dunia yaitu: 1) Pada saat meninggal dunia, 2) Pada hari kesebelas sejak hari meninggalnya, 3) Pada hari ke tiga puluh tiga, 4) Pada hari ke seratus sepuluh, dan 5) Pada hari ke tiga ratus tiga puluh, jadi cukup lima kali saja. Maksud peringatan/pelaksanaan sembahyang ruwat pada hari setiap kelipatan sebelas hingga hari ke tiga ratus tiga puluh disesuaikan dengan ketika bayi yang dikandung oleh ibunya hingga hari kelahirannya.

2.      Sembahyangan ruwat yang dilakukan bersama-sama harus dilanjutkan dengan sembahyangan sendiri-sendiri oleh para ahli waris yang sudah katam dan oleh siapa saja yang dimintai tolong oleh ahli warisnya, perlu pada menyaksikan apakah suksma yang diruwat tadi telah sempurna/berada di tempat yang benar atau belum.

3.      Kalau sebelum sebelas hari ternyata suksma yang diruwat sudah sempurna/berada di tempat yang benar, sembahyangan pada hari yang kesebelas, permohonan cukup hanya menghaturkan terima kasih kepada Rama Pran-Soeh dan memuji serta memuliakan Rama Pran-Soeh. Setelah sebelas hari ke atas hingga hari yang ketiga ratus tiga puluh, tidak perlu melaksanakan sembahyangan ruwat lagi. Demikian juga bila suksma orang yang diruwat sudah sempurna/berada di tempat yang benar sebelum hari yang ketiga puluh tiga, keseratus sepuluh atau ketiga ratus tiga puluh, sembahyangan ruwat hanya berupa/bersifat peringatan dan penyampaian rasa syukur serta terima-kasih kepada Rama Pran-Soeh. Apabila sampai hari ketiga ratus tiga puluh ternyata suksma orang yang kita ruwat belum sempurna/berada di tempat yang benar, sembahyangan ruwat hanya dibatasi sampai disitu. Sedangkan secara sendiri-sendiri dapat diteruskan pada setiap malam hari sebelum hari dan pasaran kematian orang yang diruwat, misalnya orang yang kita ruwat itu meninggal pada hari Kamis Pahing, maka sembahyangan ruwat secara sendiri-sendiri dilakukan pada setiap hari Rabu Legi malam hari.

4.      Menurut sabda Panutan, sembahyangan ruwat secara sendiri-sendiri dalam waktu seratus sepuluh hari sejak hari kematian orang yang diruwat, suksma orang tersebut belum sempurna/berada di tempat yang benar itu membuktikan besarnya dosa orang yang diruwat, oleh karena itu cukup sekali waktu saja dimohonkan ampun dosanya dan disaksikan keberadaan suksmanya di Alam Batin/Alam Halus/Alam Sasmita Maya.


5.      Meruwat suksma orang lebih dari satu dilaksanakan secara bersamaan juga diperkenankan, ini tidak semua orang katam bisa melaksanakannya, kecuali orang katam yang sudah sangat jelas dan bersih batinnya. Sedangkan caranya tidak perlu mengulang-ulang sembahyangan, hanya cukup menyampaikan nama orang-orang yang diruwat dengan menambah penyebut sebelas kali setiap tambahan satu suksma yang diruwat.

6.      Agar dapat berhasil dalam meruwat, harus disertai dan dilandasi tapa brata, melakukan berbagai macam kebajikan, banyak menolong sesama manusia, berkelakuan baik, mengendalikan hawa nafsu, karena meruwat itu membela suksma orang lain, bapak-ibu, anak, keluarga sendiri, oleh karena itu harus memberikan pengorbanan dan bantuan, lebih-lebih dalam hal perilaku yang suci, hal-hal yang menyangkut kesucian.

7.      Untuk menentukan apakah suksma orang yang diruwat itu sudah sempurna/berada di tempat yang benar atau belum, harus mengingat dan berpedoman pada bab yang membahas Mati Sempurna dan Reinkarnasi.








***A***
BAB  XXVIII
TATA TERTIB BERSEMBAHYANG KHUSUS BAGI ORANG YANG SUDAH KATAM


1.      Niat: yang disebut niat itu adalah tumbuhnya rasa yang datang dari dasar lubuk hati yang suci, tidak dipaksa, tidak hanya ikut-ikutan, tetapi benar-benar tumbuh dari keinginan pribadi, perlu dengan tekad yang bulat, hati yang mantap, berserah diri dan bersandar serta memohon di hadapan Rama Pran-Soeh agar dapat bertemu menghadap UtusanNya Rama Pran-Soeh. Dengan rasa yang sangat mengharap, dengan kesetiaan dan ketaatan, memuliakan nama Rama Pran-Soeh, percaya pada kekuasaan dan pemeliharaanNya.

2.      Membersihkan badan dengan cara: mandi, cuci muka, kumurk-kumur dan gosok gigi bagi yang masih memiliki gigi, supaya bersih raganya/tubuhnya, sehingga ketika akan melaksanakan semedi  tidur tidak gelisah, badan tidak gatal-gatal, dan kalau terpaksanya langsung dipanggil menghadap Rama Pran-Soeh (meninggal dunia) tidak menjijikkan bagi orang lain. Sebelum menyiramkan air ke tubuh, didahului mengucapkan kalimat (mantra) demikian:”Niat saya menyucikan diri, menghilangkan kotoran yang menempel di tubuhku, agar sehat dan enak dilihat, membuat batin dan tingkah lakuku menjadi suci, memancarkan cahaya terangku, sehingga selamat, selamat-sentosa karena kehendak Rama Pran-Soeh Sesembahanku, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo Panutanku,” setelah selesai mengucapkan kalimat (mantra) tersebut, kemudian baru menyiramkan air ke tubuh kita dan mandi hingga bersih. Sedangkan kalau hanya cuci muka saja, kalimat (mantra) yang diucapkan sama saja. Setelah selesai mandi disambung kalimat (mantra) lagi demikian:”Rama Pran-Soeh, pelaksanaan syarat saya ini agar menjadi jalan dalam usaha saya dapat bertemu menghadap Paduka Rama Pran-Soeh.” Selanjutnya mengenakan pakaian yang lengkap, pantas, sederhana dan tidak berlebihan.

3.      Tatacara naik ke tempat semedi tidur (ke tempat tidur) adalah sebagai berikut: telapak tangan kiri diletakkan menempel di atas telapak tangan kanan bertopang pada tempat yang akan kita duduki, sambil mengucapkan kalimat:”Rama Pran-Soeh Sesembahan saya, Rama Resi Pran-Soeh yang berkedudukan sebagai Utusan, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo Panutan saya, perkenankanlah saya menghadap,” setelah itu baru kita duduk di tempat semedi tidur (tempat tidur), menduduki tempat yang kita gunakan untuk bertopang telapak tangan tadi, sedangkan arah kita menghadap (kiblat) waktu berdoa adalah ke arah tempat bersemayamNya almarhum Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo di Astana Waja, Muntilan.

4.      Puji Langgeng (terjemahan: Harapan Abadi). Setelah kita duduk dengan baik, dan batin kita serta seluruh jiwa-raga kita dan segenap akal budi kita, hanya melulu tertuju pada Rama Pran-Soeh, tidak ingat lagi pada kebutuhan keduniawian kita, lalu mengucapkan Puji Langgeng (Harapan Abadi) sebanyak tiga kali, dapat dinyanyikan dalam hati atau cukup diucapkan dalam hati saja.
KETERANGAN:
Cara yang disebutkan di atas tersebut merupakan pemberian Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo kepada Eyang Ragil yaitu bibi/tante dari Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang kemudian disampaikan/diberikan kepada Natawiharja Ngadiran, Wanasari, Gunungkidul, Yogyakarta, pada tahun 1971.

5.      Mengucapkan Sumpah Keyakinan. Setelah mengucapkan Puji Langgeng (Harapan Abadi), kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan Sumpah Keyakinan dan seterusnya mulai dengan sembahyangan seperti yang dijelaskan pada angka 6 di bawah ini.


6.      Sembahyangan: sembahyangan terdiri dari:
1)      Pangruwat
2)      Sembahyangan nomor satu sampai dengan sembilan
3)      Menyadari diri (Pangrumaos)
4)      Permohonan
5)      Penyebut (Panebut)
Sebelum menyampaikan permohonan sesuai yang dibutuhkan, terlebih dahulu kita menyampaikan bahwa kita  menyadari dan mengakui dosa-dosa kita baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja agar semua dosa kita ditebus dan dilebur serta diampuni oleh Rama Pran-Soeh. Permohonan diakhiri dengan menambahkan kalimat:”Rama Pran-Soeh, saya mohon Rama Pran-Soeh berkenan mengabulkan semua permohonan saya ini, dan kalau tidak dikabulkan, saya menyerahkan hidup dan mati saya ke hadapan Paduka Rama Pran-Soeh yang menguasai segala Alam dan seluruh isinya!”

7.      Mengingat-ingat/menghafal dunungan, mulai dari Sumpah Keyakinan, Wedaran, Wisikan, Pusaka Ismu Giris, Pancabaya dan Cara Petak. Jika menghafalkan semua ini harus dilakukan di luar rumah.

PERINGATAN:
Mengenai dunungan ini merupakan hal yang sangat penting, harus disimpan yang baik jangan diberitahukan kepada sembarang orang (hanya kepada orang yang sudah katam saja), harus bisa menyimpan rahasia Rama Pran-Soeh. Kalau membocorkan rahasia dapat menerima hukuman.






***A***

BAB  XXIX
PERMULAAN PENCIPTAAN YAITU PENCIPTAAN ALAM SEMESTA, BUMI, LANGIT DAN SELURUH  ISINYA


1.      Roh Suci sudah ada sebelum terciptanya alam semesta dan seluruh isinya, abadi adaNya, yaitu yang berkedudukan sebagi Tuhan Allah yang bersifat:  MAHA AGUNG, MAHA   LUHUR,   MAHA MULIA,  MAHA KUASA,  MAHA  SUCI,  dan masih banyak MAHA-MAHA lainnya yang intinya menjadi INDUK/ASAL DARI SELURUH CIPTAAN.
Roh Suci mempunyai WUJUD, SIFAT, NAMA DAN PEKERTI  (bahasa Jawa: Dat, Sipat, Asma dan Afngal).
Manusia tidak dapat melihat Roh Suci dengan indera penglihatan badan fisik/jasmani/raganya, bisa membuktikan dengan melihatNya sendiri melalui mata batin yaitu suksmanya/badan halus/rohnya. Pada saat sekolah dahulu, saya juga mendapat pelajaran ilmu alam/kimia yaitu barang yang tidak sejenis tidak dapat bercampur. Jadi kalau belajar ilmu gaib, ilmu kasuksman, ilmu kenyataan, jelas kalau menggunakan indera jasmani/indera penglihatan dari badan jasmani/raga kita tidak akan bisa melihat, tetapi harus menggunakan mata/penglihatan batin/suksma/roh/badan halus kita. Karena yang dicari itu berwujud roh, maka sudah seharusnya untuk dapat melihat harus menggunakan indera penglihatan roh kita, jadi roh melihat roh. Terdapat peralatan di dunia ini yang dapat digunakan untuk melihat benda yang sangat kecil (mikroskop) atau benda yang berada jauh sekali dari kita (teleskop), tetapi kalau belajar ilmu kasuksman tidak dapat menggunakan peralatan yang dibuat oleh manusia.

2.      Tuhan Allah menciptakan bumi dan seluruh isinya itu sekali jadi, tidak dua kali atau tiga kali atau berkali-kali. Termasuk penciptaan manusia yang ditempatkan di dunia ini sudah lengkap berada di semua tempat, misalnya di pulau-pulau di bumi sudah berisi manusia, hewan-hewan di daratan dan di lautan, serta di sungai-sungai dan danau-danau, termasuk juga setan, itu sudah ada sekalian. Manusia yang diciptakan sudah tersebar di seluruh bumi dan sudah disesuaikan dengan iklimnya masing-masing, kulit tubuhnya ada yang berwarna hitam, putih, dan sawo matang, orang Jepang beda wujudnya dengan orang Amerika, Belanda, Nigeria, dan Irian (Papua).
Semua itu sudah diciptakan sesuai dengan tempat dimana mereka berada. Mengenai binatang/hewan demikian juga adanya, sudah lengkap di semua tempat di bumi sebagaimana halnya yang terjadi pada manusia sudah disesuaikan dengan kondisi iklim di tempat dimana mereka ditempatkan, demikian juga terhadap pepohonan dan tumbuh-tumbuhan. Adanya manusia di dunia ini berbeda-beda wujudnya, bentuknya, jenisnya, termasuk juga binatang dan tumbuh-tumbuhan. Misalnya binatang kambing, di semua tempat sudah ada kambing, rupa dan jenisnya berbeda-beda: ada kambing Jawa, kambing Benggala, Kambing Kacang, Kambing Gembel (domba), Kambing Gibas dan lain-lainnya. Mengenai pepohonan misalnya: pohon Kelapa, ada Kelapa Poyuh, kelapa Gading, Kelapa Hijau, Kelapa Merah, bermacam-macam kelapa sudah ada di berbagai tempat.
 
3.      Induk/Bibit/asal dari segala makhluk yaitu Tuhan Allah yang mempunyai Utusan.  Tuhan Allah itu hanya satu, Utusan juga hanya satu, ini mengenai Suksma Suci, Utusan turun ke dunia menurut/sesuai kehendak Tuhan Allah dimana calon  tempat akan turunNya Utusan Tuhan Allah ke dunia, tubuh jasmani/ragaNya juga sesuai iklim di negara mana Beliau akan dilahirkan, yang berganti/berubah itu hanya tubuh jasmaniNya saja, sedangkan Suksma SuciNya/badan HalusNya tetap tidak berubah hanya satu tidak bergonta-ganti.
4.      Tuhan Allah menurunkan UtusanNya yang pertama yaitu Nabi Adam, perlu mengingatkan/menyadarkan/memberitahu/menyebarkan perintah Tuhan kepada manusia. Pada jaman dahulu, manusia banyak yang belum menyembah Tuhan Allah yang memberi hidup dan menentukan keadaan manusia dan alam semesta beserta seluruh isinya. Manusia masih pada menyembah berhala, Nabi Adam perlu mengingatkan kepada manusia bahwa manusia hidup itu ada yang memberi hidup dan ditentukan oleh Tuhan Allah. Manusia-manusia yang telah memperoleh keterangan mengenai Penguasa tertinggi di seantero jagad raya dan di angkasa, di Alam Dunia/Fana, di Alam Kubur dan di Akherat sekalipun, dikuasai, diatur, dicintai, dikasihi, diayomi, dilindungi, semua itu bagi yang pada mematuhi dan melaksanakan perintah Tuhan Allah. Sedangkan bagi yang bebal dan lupa sama sekali kepada Tuhan Allah akan menerima hukuman. Sebagian besar manusia sudah banyak yang kemudian dapat merasakan, menyadari, dan selanjutnya ingat menyembah Tuhan Allah. Tersebarnya perintah Tuhan Allah mulai dari sedikit demi sedikit, merembet dan dapat menyebar secara merata ke seluruh dunia, meskipun demikian masih ada saja banyak manusia yang lupa dan tidak percaya kepada Tuhan Allah, masih banyak yang menyembah berhala.

5.      Nabi Adam itu juga manusia tetapi memperoleh/menerima Wahyu menjadi Utusan Tuhan Allah dan diturunkan ke dunia setelah selesainya permulaan penciptaan alam semesta beserta seluruh isinya. TurunNya ke dunia sebagai Utusan Tuhan Allah yang pertama memang menerima perintah Tuhan Allah, sebab para manusia yang telah diciptakan di dunia ini masih banyak yang pada tidak tahu mengenai Sesembahan Yang Maha Esa, masih bermacam-macam keyakinannya, masih menyembah selain Tuhan Allah.
Memang Utusan Tuhan Allah kadang-kadang turun ke dunia berkali-kali, tetapi pada umumnya dianggap/dipandang seperti pemerintahan di dunia ini seperti misalnya adanya wakil presiden mulai dari Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik dan lain-lainnya memang lain orang, ganti orang, tetapi Utusan Tuhan Allah tetap hanya satu SuksmaNya, yang ganti adalah hanya badan jasmani/ragaNya. Utusan Tuhan Allah juga memiliki isteri dan anak, hanya satu yang tidak menikah yaitu Tuhan Yesus, sedangkan yang lainnya semua mempunyai isteri dan anak sampai pada Beliau Rama Panutan juga mempunyai isteri dan anak. Jadi para kadang gologan atau murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo jangan hanya percaya saja pada tulisan yang saya buat ini, tetapi mohonlah kepada Rama Pran-Soeh untuk dapat menyaksikan sendiri apakah benar bahwa adanya orang sedunia ini hanya berasal dari dua orang yaitu Adam dan Hawa. Bagi kadang golongan yang sudah katam kan sudah pada menerima dunungan Siapa sebenarnya Roh Suci yang sudah ada sebelum adanya Nabi Adam yang diturunkan ke dunia, Roh Suci yang tinggal di Alam Kosong yang menguasai isi.
Keadaan di dunia ini hanya ada dua, jadi makhluk yang hidup dan tersebar di dunia ini juga ada dua: ada laki-laki dan perempuan, ada hidup dan mati, ada siang dan malam demikian seterusnya.

6.      Manusia disebut makhluk yang luhur jika dibandingkan dengan hewan/binatang, tetapi ada banyak yang wujudnya manusia tetapi jiwanya jiwa hewan atau jiwa jin, ini adalah manusia yang tidak mematuhi/menjalankan kemanusiaannya, katanya makhluk yang luhur tetapi ternyata bahkan lebih buruk/rendah dari binatang. Manusia diberi akal, budi, nalar, diberi apa saja yang berada di atas bumi dan di bawah langit, diberi oleh Tuhan Allah untuk kesempurnaan hidup di dunia.
Keadaan dunia karena dihuni oleh manusia, manusia ada yang pandai dan ada yang bodoh, perjalanan hidup manusia dalam pergaulan di masyarakat pada mulanya masih primitif masih menggunakan hukum rimba, kemudian berkembang lebih maju menuju pada kesempurnaan, sampai tiba jaman sekarang, manusia di dunia sudah lebih maju diatur oleh pemerintah (yaitu mengenai: politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan). Juga masih ada di suatu negara dimana masyarakat/rakyatnya masih statis belum mau maju.
Di sini tidak akan saya terangkan secara rinci, tetapi hanya saya jelaskan garis besarnya saja.
Kepercayaan di dunia ini ada lima macam yaitu: mulai POLITEISME, ANIMISME, DINAMISME, PANTEISME sampai MONOISME.
Paham-paham tersebut tidak perlu saya jelaskan satu per satu, karena pada umumnya sudah banyak yang pada mengerti. Memang mengenai kepandaian di dunia ini, ada yang pandai tetapi ada yang lebih pandai lagi (khusus untuk pengetahuan duniawi/mengenai hal-hal yang bersifat fisik/jasmani). Untuk pengetahuan kebatinan yang ditujukan pada kerohanian/ kasuksman untuk dapat mencapai mati yang sempurna, faham/kepercayaan MONOISME yang ada sekarang ini masih belum sempurna. Sebagian besar masih percaya “katanya nanti” dan kata si A atau kata si B. Agar puas dan mantap, jangan hanya katanya atau kata si A si B, tetapi harus kataku dengan cara menyaksikan sendiri, melihat sendiri dengan mata batin/mata rohani (makrifat). Bisa percaya itu kalau sudah menyaksikan sendiri dan mengakui, jadi harus membuktikan sendiri.

7.      Sejak Tuhan Allah menurunkan UtusanNya yang pertama ke dunia yaitu Nabi Adam sampai dengan saat ini, ada yang mempunyai sebutan Nabi dan ada yang tidak, itu tergantung pada ingat dan tidakNya pada tugas yang diberikan Tuhan Allah, seperti: Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, Nabi  Isa, Nabi Muhammad, Nabi Khong Hu Cu, Kanjeng Sultan Agung Mataram, Kanjeng Sunan Kalijaga, sampai dengan timbulnya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo.
 
8.      Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo  lahir ke dunia mematuhi/melaksanakan tugas dan kewajibanNya seperti yang sudah dijelaskan di muka dan perlu mencari tunggal (murid-murid Beliau) yang terpisah dengan Beliau sejak  jamannya Nabi Nuh. Jadi turunNya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo ke dunia ini tidak bermaksud untuk menghapus/meng-eliminasi/menghilangkan dan mengganggu keyakinan lain, itu tidak benar, tetapi hanya untuk meneruskan kepunyaan/milikNya sendiri.

9.      IlmuNya Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mempunyai dasar keyakinan, yaitu:
a.      Percaya kepada Tuhan Allah Yang Maha Esa, tidak dua dan tidak banyak.
b.      Percaya kepada UtusanNya Tuhan Allah.
c.       Percaya adanya reinkarnasi.
d.      Percaya adanya hukum karma (memetik buah perbuatannya sendiri).
IlmuNya Rama Panutan bukan ilmunya setan atau jin, bukan ilmu karangan, bukan ilmu sihir/hitam, bukan ilmu yang aneh-aneh, itu bukan, tetapi merupakan Ilmu Ghoib yang cara memahaminya atau memperolehnya adalah dengan cara memohon keterangan/perintah kepada/dari Tuhan Allah melalui semedi/meditasi saat tidur, sedangkan yang dapat memahami/melihat/menyaksikan bukan indera penglihatan/mata dari raga/tubuh jasmani, melainkan penglihatan/mata dari suksma/roh kita, bisa menyaksikan sendiri bagaimana supaya dapat mencapai mati yang sempurna (kembali kepada Tuhan Allah).

10.  Meskipun Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat itu untuk kepentingan agar dapat mencapai mati yang sempurna (kembali kepada/menyatu dengan Tuhan Allah), tetapi sebelum sampai pada saat ajal kita tiba, dapat digunakan untuk kepentingan tubuh jasmani/raga/badan fisik kita di dunia, tetapi tidak untuk mencari kekayaan/harta benda. Kalau ingin tercukupi kebutuhan duniawi kita (pangan dan sandang) ya harus bekerja keras sesuai kemampuan kita, rajin bekerja dan tidak boleh masa bodoh. IlmuNya Rama Panutan itu dengan agama apa saja cocok, oleh karena itu agar tidak pada mencela/membantah dan kemudian dapat percaya, maka cobalah membuktikan sendiri, melihat kenyataannya dengan mata suksma/roh kita, belajarlah dengan cara-cara atau metode yang sudah diajarkan oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo.

11.  Utusan Tuhan Allah bukanlah manusia biasa, tetapi manusia yang memiliki kelebihan, setiap Utusan Tuhan Allah turun ke dunia pasti mempunyai tanda-tanda yang tetap yaitu memperoleh/memegang Wahyu Utusan, menjadi pegawai negeri saja mempunyai ikatan yang berupa surat keputusan pengangkatan menjadi pegawai negeri (besluit), jadi tidak bisa asal kuasa saja. Ketika Rama Panutan masih hidup di dunia ini, saya, Soekirman Poedjosoewito, pernah datang  menghadap Rama Panutan di rumah Beliau di desa Jagalan, Muntilan. Baru saja saya duduk, Rama Panutan sudah kelihatan sedang berjalan dari rumah bagian belakang akan menemui saya, masih sambil berjalan Beliau sudah berkata demikian:”Nak Poedjo, ya diterima saja apa adanya, sekarang tidak punya anak, nanti dua ratus tahun lagi pasti punya anak!” Ada sabda dari Panutan yang seperti itu, saya dapat menangkap apa yang dikehendaki Panutan, jelas saya hanya digunakan sebagai sasaran saja, memang kalau membicarakan hal yang ghoib, Beliau tidak mau mengatakan apa adanya secara vulgar. Oleh karena itu setelah saya pulang ke rumah, di lain waktu saya pergi ke rumah Martasuyitna di desa Ngleri yaitu seorang murid Panutan yang sudah katam dan juga dekat dengan Beliau, saya minta tolong kepadanya supaya ikut menyaksikan, memohon keterangan kepada Rama Pran-Soeh, nanti dua ratus tahun lagi, Rama Panutan akan turun ke/lahir di dunia ini dimana tempatNya? Saudara Martasuyitno memperoleh jawaban yang jelas kalau Rama Panutan akan lahir di luar negeri dua ratus tahun yang akan datang.
Ketika akan menikahi isteri saya, saya sudah memohon keterangan kepada Rama Pran-Soeh dan diberi petunjuk bahwa saya tidak akan mendapatkan keturunan/punya anak, oleh karena itu adanya sabda Panutan yang seperti itu, Saya meyakini bahwa dua ratus tahun yang akan datang, saya akan dilahirkan ke dunia ini lagi mengikuti dan menyertai Rama Panutan.







***A***
BAB  XXX
ILMU  KASUKSMAN TIGA PERANGKAT


1.      Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat itu digunakan sebagai dasar mengetahui/memahami perintah Rama Pran-Soeh yang diterima di Alam Halus/Alam Sasmita Maya yang kebanyakan tidak berupa perintah yang vulgar, apa adanya dan jelas, melainkan berupa perlambang/kiasan/gambaran/ petunjuk, dapat dikatakan bahwa Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat itu sebagai sarana perkenalan atau berhubungan antara umat manusia dengan Rama Pran-Soeh dan sebaliknya antara Rama Pran-Soeh dengan umat manusia, juga dapat dikatakan sebagai sarana/alat untuk mencapai kesempurnaan hidup dan mati.
Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat yaitu:
1)      Cahaya Rama Pran-Soeh
2)      Utusan Rama Pran-Soeh
3)      Nyawa/Hawa Nafsu masing-masing manusia
Belajar Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, kita lakukan semasa kita masih hidup di dunia ini, caranya dengan melakukan semedi tidur atau bermeditasi menjelang kita tidur, mencari perintah/petunjuk Rama Pran-Soeh dalam mimpi, istilah yang digunakan pada jaman nenek moyang kita dahulu adalah: mencari ilham, wisik, wangsit, tayuh dan sebagainya.
Kita tidak menyepelekan atau tetap menghargai istilah/kata, tetapi yang penting disini adalah kita hanya membutuhkan kenyataan yang dapat kita buktikan: kita dapat melihat, mendengar dan mengalami sendiri, tidak hanya percaya pada istilah/kata saja: katanya nanti, kata si A, kata Si B dan sebagainya, tetapi harus kataku dengan melihat, mendengar dan mengalami sendiri oleh roh/suksma/badan halus kita sendiri (makrifat). 

2.      Agar jelas perlu diterangkan disini bagaimana caranya agar dapat mencapai mati yang sempurna (kembali kepada/menyatu dengan Rama Pran-Soeh). Unsur manusia dan sifat masing-masing unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1)      RAGA/TUBUH JASMANI
Sifatnya: dapat menderita (terkena) sakit dan dapat meninggal dunia (tidak kekal/fana)
2)      NYAWA/HAWA NAFSU
Sifatnya: dapat menderita (terkena) sakit tetapi tidak dapat meninggal dunia (kekal/abadi)
3)      SUKSMA SUCI
Sifatnya: Suksma yang sudah terpisah dari hawa nafsu tidak dapat menderita (terkena) sakit dan tidak dapat meninggal dunia (kekal/abadi)
Istilah yang sudah dikenal umum untuk suksma suci ini adalah ATMA.
Untuk pengertian umum nyawa dan suksma itu dianggap sama, tetapi kalau dalam Ilmu yang dibawa oleh Rama Panutan itu berbeda (sebaliknya: nyawa itu musuhnya suksma).
Manusia yang hidup di dunia ini hanya mempunyai dua dorongan yaitu dorongan untuk berbuat buruk/jahat dan dorongan untuk berbuat baik. Dorongan untuk berbuat buruk/ jahat itu datang/asalnya dari Nyawa/Hawa Nafsu, sedangkan dorongan untuk berbuat baik itu berasal dari Suksma Suci (digerakkan oleh Rama Pran-Soeh/UtusanNya).
Manusia dapat hidup itu karena memiliki Ilmu Tiga Perangkat dalam dirinya masing-masing, mengenai hal ini tidak semua manusia memahami/mengerti kalau tidak belajar dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat memahami/mengerti.
Semua keinginan yang maunya enaknya saja, mau yang empuk yang teduh, demikian juga kebutuhan tubuh jasmani/raga: perlu pakaian, perlu makan, perlu menikah, perlu rumah dan sebagainya, itu semua mengikuti hawa nafsu/nyawanya; Kalau Nyawa pergi dari tubuh jasmani/raga dan tidak kembali lagi, itu namanya mati. Kalau tidur atau pingsan itu nyawanya juga pisah/pergi dari raganya, tetapi masih kembali lagi atau menyatu lagi dengan raganya. Mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat itu perlu untuk dapat mengetahui berpisah dan berkumpulnya raga, suksma dan nyawa yang dalam istilah bahasa Jawa: rucat, racut, kukut.
Tidur itu memang dari kehendak Rama Pran-Soeh sebagai gambaran atau contoh  orang pada waktu meninggal dunia; Jadi mati itu persis seperti orang tidur yang bermimpi. Banyak contoh-contoh kejadian seperti misalnya: saya pernah membaca surat kabar atau majalah yang memberitakan adanya orang yang sudah meninggal dunia, tetapi dapat hidup lagi (mati suri), setelah ditanya pengalamannya dia menceriterakan bahwa dia merasa bepergian jauh, sampai di suatu tempat dia ingin ikut orang-orang yang ada disana tetapi tidak diperkenankan/ditolak, sehingga dia pulang kembali ke rumahnya, setelah sampai di rumah tiba-tiba dia sudah sadar dan bangun dari kematiannya serta bisa hidup lagi.
Setiap orang yang sedang bermimpi, raganya tidur di tempat tidur, merasa ada aku lagi yang yang bepergian kesana-kemari, tidur di wonosari merasa pergi ke Jakarta, bertemu apa saja dan melihat apa saja di dalam mimpi. Aku yang bepergian kesana kemari, melihat apa, berkelahi, merasa takut, merasa dalam kegelapan, hujan angin dimana halilintar menyambar-nyambar, dan sebagainya. Aku yang tidur yaitu raganya, sedangkan aku yang berada di alam mimpi mengalami berbagai kejadian dan melihat banyak hal itu adalah suksmanya/rohnya/atmanya/badan halusnya; Suksma inilah yang nanti pada saat ajal tiba akan menerima/mengalami keberuntungan atau celaka. Orang tidur yang sedang bermimpi itu berpisah antara raga dengan suksma dan nyawanya, meskipun berpisah tidak berarti mati, hidup dan mati manusia itu ditentukan atau dikuasai oleh Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, semua kodrat itu hanya ada di tangan Rama Pran-Soeh. Berpisahnya nyawa dan suksma dari raganya pada saat tidur itu masih dalam genggaman kekuasaan Rama Pran-Soeh, ibarat orang yang menerima kiriman surat itu belum sampai pada alamatnya. Pada saat orang tidur, kepentingan keduniawian apa saja misalnya menghafalkan buku, cinta kasih kepada anak-isteri/suami, ayah dan ibu, semua terlupakan. Oleh karena itu agar dalam mimpi kita bisa ingat apa yang kita butuhkan itu tidak mudah dan setiap kali bermimpi belum tentu bisa ingat. Keadaan kita dalam alam mimpi itu ya seperti keadaan di dunia, kadang lupa, merasakan dan menyadari kemudian baru ingat. Dalam belajar dan berusaha agar dapat ingat apa yang kita butuhkan mengenai Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, harus sampai suksma kita ingat apa yang kita mohonkan kepada Rama Pran-Soeh. Ibarat orang yang mengetik antara aselinya (kertas paling atas) dengan tembusan/duplikatnya (kertas lembar kedua dan seterusnya) itu sama, artinya raga kita yang berdoa memohon kepada Rama Pran-Soeh itu menembus sampai suksma kita, sehingga pada saat suksma kita tiba di alam mimpi masih membawa permohonan raga pada saat akan tidur.

3.      Menurut pengertian umum, setiap orang mati itu pasti karena kehendak Tuhan, tetapi setelah belajar dan berusaha memahami serta menyaksikan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, ternyata mati itu ada dua macam yaitu: 1) mati karena memang sudah menjadi kehendak Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh dan 2) mati karena begalan (dicegat dan dirampok oleh jin/setan) menjadi makanannya Batara Kala/Sang Pria/Sang Putri. Mati begalan itu contohnya seperti: mati karena penyakit menular, mati bunuh diri, mati karena kecelakaan: disambar petir, tenggelam di sungai/laut/danau, tertabrak mobil/ sepeda moto/kereta api dan sebagainya. Mati karena memang sudah menjadi kehendak Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, ada yang didahului dengan sakit parah atau sakit sebentar, ada yang tanpa mengalami sakit, bahkan ada yang sudah mendapat perintah atau petunjuk lebih dahulu dari Rama Pran-Soeh kapan akan meninggal dunia, hari, tanggal bahkan jamnya sekalipun.
Pengertian umum mengenai kematian, manusia tidak ada yang tahu kapan ia akan mati, tetapi bagi kadang golongan yang sudah katam menjadi kewajibannya untuk memohon keterangan/petunjuk kepada Rama Pran-Soeh kapan ia akan dipanggil untuk menghadapNya.

4.      Perjalanan suksma ketika ajal tiba seperti tersebut di bawah ini:
Di Alam Kubur, suksma bertemu dengan nyawanya, ini harus dikalahkan dan ditinggal di Alam Kubur. Kalau bisa menang, suksma suci (suksma yang sudah pisah dari nyawanya) dapat menghadap dan bertemu dengan Utusan Rama Pran-Soeh yaitu Rama Resi Pran-Soeh. Dalam ceritera pewayangan bernama Resi Bratanirmaya yang wajahnya dicat dengan warna putih.  Bila bertemu dengan Resi Bratanirmaya yang wajahnya berwarna merah, itu palsu, dalam pewayangan Batara Kala bisa berubah wujud menjadi Kresna. Oleh karena itu kita harus selalu waspada. Selama hidup di dunia harus berlatih supaya dapat sering bertemu dengan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat. Suksma yang akan menghadap Utusan berpedoman pada/dituntun oleh Cahaya Rama Pran-Soeh. Di hadapan Utusan, suksma sudah tidak punya rasa, hanya tinggal digerakkan oleh Rama Pran-Soeh, dapat ingat tentang kesucian. Di situ tidak ada hal-hal keduniawian, kubur sekalianpun sudah tidak terdengar, yang ada hanya berserah diri kepada Rama Pran-Soeh, apa akan diperkenankan menyatu dengan Rama Pran-Soeh atau tidak, apa akan dikembalikan lagi ke dunia (reinkarnasi) atau untuk sementara waktu tinggal disitu, itu semua tergantung dari kehendak Rama Pran-Soeh.

5.      Dalam menjalani hidup di dunia ini, kita harus dapat membagi antara memenuhi kebutuhan raga dan suksma. Kebutuhan raga sama dengan kebutuhan Nyawa, oleh karena itu harus diutamakan (lebih banyak) memenuhi kebutuhan suksma. Kebutuhan nyawa juga harus dipenuhi sebab waktu di dunia nyawa itu menjadi pembantu, tetapi pada saat ajal tiba, nyawa itu akan menjadi musuh, maka nyawa itu jangan dibunuh hanya dikalahkan/dikendalikan/direm saja, jangan dilepas remnya hingga lolos semua kebutuhannya/keinginannya dituruti. Ketika tiba ajalnya, manusia hanya tinggal memetik buah dari perbuatannya sendiri. Kebanyakan menuruti keinginan hawa nafsunya tentu akan menjadi jajahan nyawanya itu, tetapi kalau bisa mengalahkan/ mengendalikan hawa nafsunya, apalagi bisa bertemu wujud aseli nyawanya lebih-lebih dapat memerintahnya, itu hal yang lebih baik, maka suksmanya dapat langsung menghadap Utusan. Mengenai Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, kita harus dapat bertemu dalam keadaan hidup semua, mengerti/tahu dan melihat wujudnya, sifatnya, namanya dan pekerti/perangainya (dat, sipat, asma, afngal).

6.      Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat dapat berubah-ubah, berganti wujud apa saja, tetapi perangainya tetap. Bertemu/melihat Cahaya Rama Pran-Soeh dapat berpengaruh pada raganya, pikirannya terang tidak suntuk, lega rasa hatinya, tidak bingung, sehat tubuhnya, dapat berhasil dalam mencari rejeki. Utusan Rama Pran-Soeh berganti wujud apa saja, memiliki tanda/indikator: mencintai, mengasihi dan memberikan pertolongan. Permohonan untuk kebutuhan suksma/kesucian harus bertemu di Alam Kuning, kalau bertemunya masih di Alam Merah itu untuk kebutuhan raga/keduniawian. Utusan masih menyatu dengan Sang Pria/Sang Putri, kalau di pewayangan Batara Guru masih bertangan empat, suksma yang bertemu Utusan di Alam Merah tadi juga masih lengket dengan nyawanya. Bertemu Utusan Rama Pran-Soeh di Alam Kuning, pengaruhnya terhadap tubuh jasmani/raga: kalau sedang sakit menjadi sembuh, melamar pekerjaan bisa berhasil dapat diterima, sedang ujian berhasil lulus, sedang berdagang memperoleh keuntungan, mohon pengampunan dosa memperoleh pengampunan/ditebus dosanya, sedang terancam bahaya memperoleh keselamatan dan sebagainya. Sejak permulaan penciptaan hingga saat ini, laki-laki maupun perempuan mempunyai nyawa/hawa nafsu/setan, yaitu dorongan untuk berbuat buruk/jahat, pekerjaannya menjadi penggoda mulai dari alam fana hingga ke alam kubur. 
Nafsu itu ada tiga macam yaitu:
1)      Nafsu terhadap makanan: manis, gurih, pedas, asin, enak, dan sebagainya.
2)      Nafsu terhadap kemegahan, ketenaran dan harga diri: maunya menang sendiri, paling unggul (terpandai, terkaya, tergagah, terkuasa), sombong dan lain-lainnya.
3)      Nafsu sexual  (hubungan antara pria dan wanita): memilih yang cantik, ganteng/tampan, ramping, luwes dan sebagainya.
Masuknya godaan itu ada dari tiga sumber yaitu: (1) bau/aroma, (2) suara dan (3) wajah/wujud/bentuk. Misalnya: mendengar orang yang sedang menggoreng bawang merah untuk membuat mie goreng, suaranya: sreeeng, kemudian bau bawang merah goreng menyebar dan melihat wujudnya bawang goreng dicampur  mie, betapa lezat rasanya. Nafsu sexual juga demikian/sama, misalnya: menghirup bau wangi parfum karena ada seorang wanita lewat, mendengar bunyi sandal, kemudian melihat wajah wanita yang lewat itu, maka timbullah dorongan keinginan yang tidak baik.

7.      Perbedaan antara Nyawa Utusan Rama Pran-Soeh dengan Nyawa manusia biasa adalah: Nyawa Utusan Rama Pran-Soeh ada dua macam yaitu: wujud laki-laki dan wujud wanita (Ilmu Wahyu Sejatining Kakung dan Ilmu Wahyu Sejatining Putri). Arti dari Nafsu laki-laki adalah senang/suka/tertarik/birahi kepada wanita, sedangkan Nafsu Wanita artinya  adalah senang/suka/tertarik/birahi kepada laki-laki. Nafsu sexual ini merupakan godaan yang paling berat mulai dari dunia fana hingga ke alam kubur. Nyawa dari Rama
Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo (Ilmu Sejatining Putri dan Ilmu Sejatining Kakung) menjadi  induk dari semua nafsu manusia se dunia baik laki-laki maupun wanita. Terhadap ulah/perbuatan dari Sang Pria atau Sang Putri, manusia biasa tidak ada yang sanggup menanggulangi sendiri; Sedangkan bagi manusia yang setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh, agar dapat memperoleh keselamatan karena ulah/perbuatan Sang Pria atau Sang Putri harus memohon untuk bertemu dengan Sang Juru Selamat. Manusia yang hanya menuruti hawa nafsu/setannya malah dilindungi oleh Sang Pria/Sang Putri (induknya nyawa) tadi, karena nanti kalau sudah tiba waktu ajalnya menjadi jajahannya  di Alam Penasaran. Orang yang bisa mengalahkan/menahan/mengendalikan nyawa/ mengerem hawa nafsunya, pada saat semedi tidur dapat bertemu dengan wujud aseli dari nyawanya, tidak berganti-ganti wujud lagi. Jadi kalau hanya ada dalam perkataan saja belum dapat dikatakan sudah mengalahkan  atau menang dari nyawa/hawa nafsunya. Orang, meskipun sudah katam tetapi kalau perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya kembali lagi hanya selalu menuruti hawa nafsu/nyawanya, di Alam Halus/Alam Kasuks-man/Alam Sasmita Maya merasa bertemu dengan Utusan Rama Pran-Soeh yang aseli artinya tidak palsu, tetapi kalau diteliti dengan sungguh-sungguh jelas bahwa dia sebenarnya bertemu dengan Utusan yang palsu. Untuk dapat mengetahui apakah itu Utusan palsu atau tidak yaitu apabila ada seorang katam yang budi pekerti dan perilakunya jujur dan baik/benar, setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh, mematuhi Angger-angger Sebelas: melaksanakan kewajiban tujuh macam dan tidak melanggar larangan empat macam, memohon keterangan/petunjuk kepada Rama Pran-Soeh apakah bertemunya si A dengan Utusan Rama Pran-Soeh itu Utusan yang aseli atau yang palsu, akan mendapat jawaban yang jelas bahwa itu adalah Utusan palsu. Mengenai apa yang saya sebutkan di atas tadi, rasanya orang tadi tidak bertemu Utusan yang palsu, setiap kali memohon selalu bertemu Utusan, menerima keterangan/petunjuk ini dan itu ternyata tidak ada kenyataannya (keterangan/petunjuk yang diterima itu tidak terjadi di dunia ini). Bertemu dengan wujud aseli Utusan, kalau itu memang Utusan yang aseli, keterangan/ petunjuk yang diberikanNya pasti benar dan sungguh-sungguh terjadi di dunia ini. Ada patokan/indikator lainnya untuk mengetahui apakah palsu atau tidak, sebagai contoh yaitu: pakaiannya warna-warni, pakaiannya tidak lengkap, bersikap tidak sopan, tertawa terbahak-bahak, berkacak pinggang, warna pakaiannya merah, biru atau loreng-loreng. Orang yang hidup di dunia ini, kalau dapat bertemu Utusan yang aseli sekali saja selama hidup, itu sudah merupakan suatu keberuntungan, sokur-sokur kalau bisa bertemu berkali-kali, itu lebih baik. 
 
8.      Orang yang sudah katam jangan terus bangga, memastikan nanti kalau sudah tiba ajalnya dapat  ikut Utusan, mencapai mati yang benar/sempurna. Orang yang sudah katam tetapi perbuatannya berbalik lagi hanya menuruti nyawa/hawa nafsunya, ketika tiba saat ajalnya dapat terhenti untuk sementara waktu di tengah jalan (di Alam Penasaran) dalam perjalanan suksmanya menuju ke hadapan Utusan Rama Pran-Soeh. Terhentinya perjalanan Suksma di Alam Penasaran akan dalam waktu yang lama atau tidak tergantung perbuatannya waktu masih hidup di dunia, kebanyakan hanya menuruti hawa nafsunya atau kadang-kadang sadar dan ingat kemudian mematuhi kembali perintah-perintah Rama Pran-Soeh. Seperti yang saya terangkan tadi, terhentinya perjalanan suksma di Alam Penasaran itu tidak abadi (selama-lamanya) bisa mendapat pengam-punan kalau sudah habis atau bersih dosanya. Misalnya: di dunia ini orang divonis hukuman satu tahun penjara, tanggal bulan dan tahun berapa dia mulai masuk penjara, sudah dicatat oleh petugas penjara, kalau sudah habis masa hukumannya atau sudah satu tahun menghuni penjara kemudian dilepas/dibebaskan dari penjara dan dapat kembali ke masyarakat. Suksma yang terhenti di Alam Penasaran, kalau sudah habis/bersih dosanya dan memperoleh pengampunan, dia dibebaskan dari hukuman dan terus dapat menghadap Utusan (suksmanya sudah berada di tempat yang benar). Mengenai hukuman di Alam Kubur itu, tidak semua suksma mendapat hukuman abadi/langgeng, tetapi lama atau tidak, berat atau tidaknya hukuman itu ditentukan menurut besar-kecilnya atau berat-ringannya atau tebal-tipisnya dosa orang yang bersangkutan. Contoh hukuman di dunia: orang yang mencuri sapi itu hukumannya tidak sama atau pasti lebih berat dari orang yang mencuri ayam. Perlu saya jelaskan disini jangan sampai mempunyai pendapat bahwa ada penguasa di atas kuasa Utusan Rama Pran-Soeh, yang menurut pendapat umum penguasa dimaksud disebut malaikat, bagi kadang golongan/murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo jangan mempunyai pendapat yang demikian, malaikat itu sebenarnya Utusan Rama Pran-Soeh yang tidak dalam wujud aselinya, tetapi dalam wujud yang lain: bisa berwujud ayah kita, berwujud keris, dan lain sebagainya. Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat bagi orang yang sudah katam jangan diceriterakan kepada sembarang orang, jangan dibicarakan dengan orang yang sedang belajar dan berusaha mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, karena kalau seperti itu akan menjadi Ilmu Katanya lagi, tidak tahu kenyataan dan yang sedang belajar dapat menjadi lama waktunya untuk dapat berhasil mencapai katam.

9.      Pisah-pisahan antara Rama Pran-Soeh, Rama Resi Pran-Soeh dan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo:
Rama Pran-Soeh bertempat di Alam Kesempurnaan (Alam Putih/Alam Manunggal/Alam Tinunggalan).
Rama Resi Pran-Soeh bertempat di Alam Bertemu (Jawa: Jumbuh) atau Alam Kuning. Tempat kedudukan Rama Pran-Soeh dan Rama Resi Pran-Soeh adalah di Alam Akhir/Akherat disebut juga Alam Permulaan, hanya Rama Resi Pran-Soeh berada di Alam (Alam Kuning) di Bawah Alam Rama Pran-Soeh (Alam Putih)
Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo berada di Alam Fana (dunia).
Ketika Utusan masih hidup di dunia itu disebut tiga-tiganya yang menyatu, sedangkan jika ragaNya sudah wafat hanya tinggal dua-duanya yang menyatu.
Istilah setan itu sebenarnya adalah nyawa/hawa nafsunya sendiri masing-masing orang. Jin adalah suksma manusia yang kesasar/penasaran atau yang menerima hukuman/siksaan. Istilah umum menyebutnya: hantu, genderuwo, ilu-ilu, banas-pati, thuyul, dhanyang lan lain-lainnya. Jika dalam mimpi bertemu apa saja sedangkan suksma kita merasa takut, merinding bulu kuduknya, badan terasa dingin itu membuktikan adanya jin.



***A***


BAB  XXXI
CARA MEMPELAJARI DAN BERUSAHA UNTUK MENGERTI, MEMAHAMI DAN MENYAKSIKAN SENDIRI  ILMU  KASUKSMAN  TIGA PERANGKAT


1.      Setelah kita semua mengetahui mengenai manfaat/kegunaan dari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, bagi orang-orang yang percaya pada masalah ini, sangat jelas bahwa setiap orang harus secara sendiri-sendiri/perseorangan mempelajari dan berusaha untuk mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, tidak bisa belajar untuk diberikan kepada/menanggung orang lain. Tujuan utama belajar dan berusahan mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat adalah sebagai bekal pada saat kita menghadapi ajal atau kematian atau pada saat kita meninggal dunia, agar dapat mencapai/meraih mati yang benar atau sempurna, tidak kesasar/penasaran menerima hukuman atau siksaan. Rama Panutan bertugas mencari tunggal (bahasa Jawa) yang maksudnya kurang lebih adalah manusia yang mempunyai satu keyakinan dan kepribadian dengan Beliau yaitu murid-murid/sahabat-sahabat  Beliau yang terpisah sejak jaman Nabi Nuh. Rama Panutan adalah penjelmaan dari Utusan/Rasul Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh di dunia ini, orang yang memang satu keyakinan/kepribadian dengan Rama Panutan, kalau mendengar bahwa Ilmu yang dibawa oleh Beliau memang Ilmu yang sangat penting, Ilmu Kenyataan, untuk bekal dalam menghadapi ajal/kematian, pasti ia akan mencari tahu dan belajar dan berusaha mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri kenyataan dari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat.
Cara belajar dan berusaha mengerti, memahami dan menyaksikan (bahasa Jawa: ngudi) Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat adalah sebagai berikut:
Orang yang mempunyai niat dari kesadaran sendiri untuk mempelajati Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat lebih dahulu datang ke rumah orang yang sudah katam jelas/bersih dan sudah menerima dunungan, sudah jelas dan lengkap pengertian/pemahamannya mengenai Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat. Orang tadi kemudian menyampaikan niatnya untuk mempelajari dan berusaha mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat.

2.      Yang menerima orang tadi disebut Penyuluh.  Penyuluh adalah orang katam yang menuntun orang lain yang sedang belajar dan berusaha mengerti, memahami dan menyaksikan (ngudi) Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, juga yang meneliti semua petunjuk/perintah/gambaran yang diterima di Alam Sasmita-maya/Alam Mimpi mengenai ada/tidaknya wujud aseli Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat di dalamnya. Penyuluh yang menerima orang yang mempunyai niat untuk mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat akan memastikan terlebih dahulu mengenai:
a.       Niat untuk mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat itu apa memang muncul dari kesadarannya sendiri atau hanya ikut-ikutan saja, atau hanya ingin mencoba-coba atau karena sebab lainnya.
b.      Agar si calon murid tadi menguji diri sendiri terlebih dahulu mengenai niatnya tadi, memikirkan lebih dalam jangan sampai menyesal di belakang hari kemudian; Kalau memang sudah benar-benar mantap dan niatnya sudah bulat, baru bisa diterima menjadi murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo.
c.       Si calon murid harus percaya bahwa yang memiliki/membawa Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat tersebut adalah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, Carik Desa Jagalan, Muntilan, yang telah wafat di tahun 1957.
d.      Harus percaya penuh tanpa ragu-ragu kepada Yang Memberi Hidup, Yang Maha Kuasa yaitu Rama Pran-Soeh, kata lain dari Tuhan Allah Yang Maha Esa.
e.       Percaya kepada Utusan Rama Pran-Soeh.
f.        Percaya adanya reinkarnasi.
g.       Percaya adanya Hukum Karma (memetik buah perbuatannya sendiri).

Setelah memastikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, penyuluh kemudian menjelaskan bahwa mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat itu tidak sama dengan mempelajari ilmu-ilmu lainnya seperti Ilmu Kedokteran, Ilmu Psikologi, Ilmu Alam dan sebagainya yang dilakukan dengan cara membaca buku dan menghafal. Belajar Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat harus tekun, tidak boleh mudah bosan dan malas, harus rajin dan telaten agar dapat segera mencapai katam. Belajar Ilmu ini tidak dapat menggunakan akal dan logika untuk mengerti dan memahaminya. Orang cerdik pandai/intelek belum tentu dapat dengan cepat segera mencapai katam dalam mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, sebaliknya ada orang yang buta huruf dan bodoh malah segera dengan cepat dapat mencapai katam. Syarat utama dalam mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat agar dapat dengan cepat mencapai katam adalah mematuhi dan mentaati Angger-angger Sebelas yaitu menjalankan kewajiban tujuh macam dan menghindari/tidak melanggar larangan empat macam, intinya orang yang memiliki budi pekerti dan tingkah laku yang baik.
Mengenai berapa lama seseorang dapat berhasil mencapai katam, hal itu tidak dapat ditentukan, karena tergantung pada besar-kecilnya dosa bawaan (dosa yang disandang/masih ditanggung  pada waktu seseorang dilahirkan ke dunia ini) dan dosa yang dilakukan sejak ia dilahirkan sampai dengan saat ia mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat. Contoh: ada sepasang suami isteri yang mempelajari dan berusaha untuk mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat. Si suami berhasil mencapai katam setelah tujuh belas tahun, sedangkan isterinya hanya dalam waktu sembilan bulan sudah dapat mencapai katam; juga ada yang dalam tiga hari sudah mencapai katam, ada yang satu tahun, ada pula yang satu bulan, tiga bulan dan sebagainya. Sebaliknya ada pula yang sampai ajalnya tiba belum bertemu satu perangkatpun atau hanya bertemu satu atau dua perangkat saja. Belajar Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat agar dapat mencapai katam dengan membeli/membayar berapapun jumlahnya tidak akan bisa.

3.      Penyuluh tidak hanya memberi nasehat atau jalan kepada orang yang disuluhi saja, tetapi kalau orang yang sedang belajar itu giat, serius dan sungguh-sungguh, maka Penyuluh harus membantu dengan cara ikut bertapa brata, sehingga syarat-syarat/sarana-sarana yang harus diusahakan, tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan dapat secara tepat diberikan berdasarkan perintah-perintah/petunjuk-petunjuk/gambaran-gambaran dari Rama Pran-Soeh yang diterima orang yang sedang belajar di Alam Mimpi. Bila terdapat gambaran yang tidak baik atau yang buruk di Alam Mimpi, permohonan diubah supaya bertemu dengan Juru Selamat, Bila di Alam Mimpi orang yang sedang belajar hanya selalu makan makanan apa saja, maka Penyuluh menyarankan agar yang sedang belajar untuk sementara waktu pantang makan makanan yang dimakan di Alam Mimpi hingga godaan itu menghilang atau sampai dia bertemu dengan Cahaya Rama Pran-Soeh yang serint disebut juga Pusaka Hidup di Alam Mimpi. Permohonan tidak hanya selalu tetap, itu-itu saja, tetapi disesuaikan dengan isi mimpi orang yang sedang belajar, kalau isinya sudah dekat dengan Cahaya Rama Pran-Soeh, maka permohonannya diganti dengan mohon bertemu wujud aseli Cahaya Rama Pran-Soeh, kalau isinya mendekati Utusan Tuhan, permohonan diganti dengan memohon bertemu wujud aseli Utusan Tuhan, kalau dekat dengan hawa nafsu, maka permohonannya adalah memohon bertemu wujud aseli nyawa/musuhnya sendiri. Mengenai puasa yaitu mulai hari Selasa Kliwon sampai dengan Jum’at Pon, bisa puasa dengan cara pantang garam, gula dan rasa pedas (Jawa: Mutih), bisa hanya makan umbi-umbian saja (Jawa: mbrakah) atau tidak makan tidak minum sama sekali (Jawa: Ngebleng), puasa mana yang dipilih disesuaikan dengan niat dan kekuatan fisiknya, yang perlu diingat adalah berpuasa tidak boleh sampai merusak badan/tubuh.  Penyuluh harus sudah mempunyai pedoman dalam memberikan penyuluhan agar orang yang sedang belajar  (orang yang disuluhi) dapat  mencapai katam yang bersih/jelas.

4.      Tata tertib sebelum melaksanakan semedi tidur
a.       Tempat yang akan digunakan untuk tidur harus dibersihkan terlebih dahulu. Tempat untuk tidur jangan di tempat yang digunakan untuk lalu-lalang, tempat mondar-mandir orang-orang, kalau bisa ya di kamar yang terttutup.
b.      Harus cuci muka dan menyikat gigi, sokur kalau mandi itu lebih baik.
c.       Berpakaian lengkap, sederhana dan bersih, jangan asal berpakaian.
d.      Duduk di tempat yang sudah disiapkan, naiknya ke tempat tidur tidak diperkenan-kan dengan kaki lebih dahulu, tetapi dengan pantat lebih dahulu baru duduk bersila dan mulai bersembahyang. Tata tertib ini berlaku bagi orang yang sehat, tetapi untuk orang yang sedang sakit apalagi sakitnya parah, ya cukup bersembahyang sambil tiduran saja.

5.      Bagi orang yang sedang belajar dan bisa menulis, agar sebelum tidur menyiapkan buku dan ballpoint, agar waktu bangun tidur dapat segera menulis mimpi yang diterima. Buku catatan mimpi tersebut agar disimpan yang aman, jangan diletakkan di sembarang tempat supaya tidak dibaca oleh orang lain. Buku catatan mimpi tersebut seminggu sekali atau lima hari sekali atau setiap hari disuluhkan kepada Penyuluh, agar segera dapat diteliti isi mimpi tersebut oleh Penyuluh. Bagi yang buta huruf mimpi tersebut harus selalu diingat dan sesegera mungkin disuluhkan kepada Penyuluh agar tidak kelupaan. Bagi yang bisa menulis maupun yang buta huruf harus rajin/sesering mungkin menyuluhkan mimpi yang diterima kepada Penyuluh, karena mungkin saja dapat terjadi bahwa mimpi yang diterima tersebut adalah gambaran/petunjuk bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi yang akan mengakibatkan sakit atau kematian. Pentingnya rajin menyuluhkan mimpi yaitu agar kalau ada gambaran yang buruk, Penyuluh dapat memberikan petunjuk agar permohonannya diganti dengan permohonan untuk bertemu dengan Sang Juru Selamat, agar isi mimpi yang buruk tersebut dapat berubah menjadi gambaran yang baik, atau paling tidak kalau mimpi yang buruk tersebut terjadi, akibatnya tidak parah dan dapat memperoleh keringanan karena dilindungi/ditolong oleh Sang Juru Selamat. 

6.      Setelah bangun tidur harus mengingat-ingat mimpinya, apakah dapat diingat semuanya atau hanya awalnya atau akhirnya saja, mana yang diingat saja. Sedangkan cara mengingat-ingat dan mencatat mimpi adalah sebagai berikut:
a.       Di Alam Mimpi, dirasakan waktunya kapan, apa siang hari atau malam hari atau sore hari dan tandanya apa? Kalau di siang hari apa melihat matahari, kalau di malam hari apa melihat lampu, bulan atau bintang-bintang.
b.      Tempatnya di Alam Mimpi merasa berada dimana? Apakah di pasar, di hutan, di lapangan, di tepi pantai, di pinggir jurang, dan sebagainya.
c.       Bertemu dan melihat apa dan berbuat apa?
d.      Di Alam Mimpi rasa hatinya bagaimana? Apakah takut, atau benci atau merasakan cinta kasih, merasa kasihan, jatuh cinta dan sebagainya.

Pedoman ini akan mempermudah bagi Penyuluh untuk menentukan isi mimpi orang yang disuluhi, apakah sudah dekat dengan Utusan Rama Pran-Soeh atau Cahaya Rama Pran-Soeh, atau sudah dekat untuk bertemu dengan wujud aseli nyawa/hawa nafsunya.
Melaksanakan puasa atau tapa brata harus dengan perhitungan, kalau tubuhnya sedang tidak sehat atau sedang sakit ya tidak perlu berpuasa. Bertapa brata menurut perintah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, Panutan kita, harus bisa tapa ngrame ing guwa samun (bertapa brata di tengah masyarakat dengan melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasanya, tetapi jangan sampai tapa brata kita diketahui oleh orang lain/orang banyak) dan bertapa brata jangan sampai merusak tubuh kita dan merugikan kesehatan badan kita.

7.      Memeriksakan/menyuluhkan mimpi kepada Penyuluh bagi orang yang sedang mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat harus mematuhi petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dari Penyuluh. Syarat-syarat dan perbuatan-perbuatan apa yang harus dilakukan menurut petunjuk Penyuluh harus terus menerus dilakukan dengan tekun agar dapat mencapai apa yang diharapkan yaitu mencapai katam yang jelas dan bersih. Setelah orang yang belajar berhasil mencapai katam Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, seterusnya Penyuluh memberikan cobaan atau ujian, menurut tinggi rendahnya Alam yang dicapai oleh orang yang belajar tadi. Cobaan/ujian tingkat rendah misalnya: mohon bertemu dengan Yang Berkedudukan sebagai Hakim yang mengadili suksmanya sendiri maupun suksma manusia di seluruh dunia; Cobaan/ujian tingkat sedang misalnya: mohon bertemu dengan Yang memelihara dan mengasuh Suksma manusia seluruh dunia; Sedangkan cobaan/ujian yang paling tinggi yaitu: mohon bertemu dengan Roh Suci yang bertempat di Alam Kosong dan menguasai isi, Yang telah ada sebelum diciptakanNya Alam Semesta dan seluruh isinya dan sebelum nabi Adam diciptakan di dunia ini.
Penyuluh juga memberikan berbagai cobaan/ujian lainnya seperti misalnya: mohon bertemu dengan Sang Juru Selamat, Sang Penebus Dosa, mohon bertemu dengan Sumbernya Kesehatan, Sumbernya ketenteraman dan lain sebagainya.

8.      Setelah selesai menyelesaikan ujian dan lulus, orang yang sudah mencapai katam dan lulus ujian tersebut kemudian dapat menerima dunungan yaitu menerima penjelasan mengenai rahasia-rahasia yang terdapat dalam Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, duduk perkaranya, dan daya pengaruh serta kekuatan dari masing-masing perangkat dari Ilmu tersebut, juga mengenai rahasia kematian. Sebelum pelaksanaan dunungan, terlebih dahulu harus dilakukan kataman yaitu berpesta sebagai tanda terima kasih dan puji syukur kepada Rama Pran-Soeh Yang Telah Memberikan Kemurahan dan anugerah berupa Katam Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat. Mengenai kataman tidak dipaksa harus dengan standar tertentu, tetapi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing orang yang akan menerima dunungan. Kalau memang mampu, dapat diwujudkan dalam bentuk persembahan yang dapat dimasukkan dalam peti bakti yang sudah disediakan di Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh dan juga makan bersama dengan kadang golongan dan tetangga di sekitarnya. Perintah utama dari Panutan kita, Rama Resi Pran-Soeh Sastro-soewignjo, meski hanya sedikit bila mengadakan makan bersama, harus ada nasi uduk dengan seekor ayam utuh yang diopor (Jawa: sega wuduk lan ingkung pitik); Kalau tidak bisa menyediakan ingkung pitik, ya cukup telur ayam saja, karena hal ini ada hubungannya dengan pengaruh/kepentingan Alam Batin yaitu untuk menundukkan/melemahkan kekuatan Wahyu Sejatining Kakung/Putri agar tidak menggoda, mengganggu dan membuat sengsara. Bagi orang yang benar-benar tidak mampu/miskin, kataman dapat diwujudkan berupa memberikan pertolongan berupa tenaga kepada tetangganya yang sedang kesusahan, misalnya mengambilkan air sumur, atau membantu pekerjaan rumah yang tidak tertangani oleh tetangganya. Jadi cukup menyumbangkan tenaganya saja. Mengenai tempat pelaksanaan dunungan dapat dimohonkan kepada Rama Pran-Soeh, tetapi Putra dari Panutan kita yang bernama Rps. R. Wenang Admadipraja memperkenankan kalau dunungan dilakukan di Bale Suci Agung Gedong Pran-Soeh, di sebelah Utara Sumur Jalatunda, di halaman dekat Tlaga Maharda. Mengenai hari pelaksanaan dunungan, baik yang akan menerima dunungan maupun yang akan memberi dunungan, kedua-duanya memohon agar pelaksanaan dunungan dapat berjalan dengan selamat dan yang menerima dunungan dapat memahami dengan benar, jawaban dari permohonan tersebut paling tidak harus dapat bertemu dengan Cahaya Rama Pran-Soeh, sokur kalau bisa bertemu dengan wujud aseli Utusan Rama Pran-Soeh. Orang yang baru menerima dunungan, tetapi belum hafal, boleh ikut mendengarkan dalam pelaksanaan dunungan orang lain yang baru berhasil mencapai katam. Orang yang sudah katam dan menerima dunungan, ibarat anak kecil yang sudah disapih, jangan lagi bergantung kepada orang lain, kalau ada permasalahan apapun harus sudah bisa mandiri, memohon sendiri pertolongan Rama Pran-Soeh tidak lagi minta bantuan kepada orang lain. Perintah utama Rama Panutan bagi orang yang sudah berhasil mencapai katam: harus dapat menyuluhi orang yang sedang belajar Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat sampai mencapai katam, jumlahnya sebelas orang.






















***A***
BAB  XXXII
CARA-CARA MENERJEMAHKAN DAN MENGARTIKAN PETUNJUK/ PERINTAH RAMA PRAN-SOEH YANG DITERIMA DI ALAM HALUS/ALAM KASUKSMAN/ALAM SASMITA-MAYA


1.      Orang yang sudah katam maupun yang belum katam sekalipun harus dapat mengartikan petunjuk/gambaran/perintah Rama Pran-Soeh yang diterima dalam mimpi. Pada jaman nenek moyang kita dahulu pada umumnya masih percaya pada makna dari mimpi, ada yang menyebutnya mencari tayuh, wisik, wangsit, ilham atau firman. Misalnya: mau membeli keris/pusaka, tentu saja harus melalui langkah mencari tayuh terlebih dahulu. Di kitab-kitab apa saja banyak disebutkan/diceriterakan tentang mimpi. Sesungguhnya Tuhan Allah itu Maha Berbelas Kasih, kalau manusia mohon belas kasihan kepada Tuhan Allah. Sedangkan sekalipun tidak memohon, manusia itu akan memperoleh keberuntungan atau akan tertimpa mala petaka, akan bahagia atau menderita, sebenarnya Tuhan Allah sudah memberitahu terlebih dahulu lewat mimpi, entah itu setahun, sebulan, seminggu atau tiga hari sebelum kejadian, tetapi pada umumnya manusia tidak tahu atau bahkan menyepelekan, tidak mau peduli pada mimpi yang diterimanya/dialaminya, bahkan ada yang berusaha jangan sampai bermimpi, anti pada mimpi, menolak mimpi, sangat tidak percaya pada mimpi, tetapi ada juga yang percaya pada mimpi, setengah percaya dan setengah tidak percaya pada mimpi, ada yang percaya pada mimpi tetapi hanya untuk mencari nomor togel yang akan dipasang, ini hanya untuk kepentingan keduniawian saja; ada juga yang agak memperhatikan mimpi kalau dia bermimpi giginya copot/lepas, atau mimpi menebang pohon pisang karena pisangnya sudah matang, dan sebagainya. Mengenai mimpi, ada yang sudah jelas maksudnya, ada yang belum jelas yang masih memerlukan penerjemahan/tafsiran, harus digali lagi apa maksud mimpi tersebut, misalnya: memohon keterangan kepada Rama Pran-Soeh, kapan akan mulai tiba musim hujan, jawaban yang diterima: dia bermimpi mencuci ikan tengiri sambil memegang gula, terjemahan dari mimpi tersebut begini: ikan tengiri itu berbau amis itu berarti hari Kamis, sedangkan gula pasti rasanya manis (Bahasa Jawa: Legi), jadi musim hujan akan mulai pada hari Kamis Legi. Mengenai pemberitahuan dari Tuhan Allah itu tidak hanya lewat mimpi saja, tetapi juga melalui firasat/pralambang/tanda, misalnya: kejatuhan cicak, suara burung gagak yang sampai menembus ke dalam hati, suara burung Kolik, dan sebagainya; selain dari itu pemberitahuan oleh Tuhan Allah kepada manusia juga dapat melalui gerak hati nurani kita dan melalui pemahaman yang tiba-tiba datang pada pikiran dan hati kita.
Gambaran/petunjuk yang kita terima dalam mimpi itu ada tiga macam, yaitu:
1)      Mimpi yang bohong/tidak benar
2)      Mimpi yang setengah bohong, setengah benar
3)      Mimpi yang benar
Contoh mimpi yang bohong/tidak benar, misalnya kita bermimpi menemukan uang yang banyak sekali jumlahnya di tengah jalan, setelah bangun dari tidur uang sepeserpun tidak ada di tangan kita.
Contoh mimpi yang setengah bohong, setengah benar, misalnya kita bermimpi kehujanan sehingga tubuh kita basah kuyup, setelah bangun dari tidur badan kita tidak basah, tetapi kemudian badan kita terasa panas dingin, demam, menggigil dan menderita sakit influensa.
Mimpi yang benar itu mimpi pemberian/anugerah dari Rama Pran-Soeh, perintah/petunjuk/ gambaran yang benar dan pasti terjadi, bukan datang dari jin/setan dan perwujudan dari angan-angan kita saja. 

2.      Mimpi yang berwujud air, api dan angin itu semua perwujudan/pekerti dari nyawa, musuh kita (jin/setan), tidak mustahil dari pekerti Induknya Nyawa atau Wahyu Sejatining Kakung/ Putri, yang dalam pewayangan disebut Bathara Kala atau Bethari Durga. Induknya Nyawa mempunyai teman/rakyat banyak sekali, berjenjang, ibarat pemerintahan mulai dari Presiden (Induknya Nyawa) mempunyai wakil presiden, menteri-menteri, gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, kepala desa dan sebagainya. Jadi kekuatan/kesaktian dan kekuasaannya juga berbeda-beda. Ketika pertama kali diciptakan, teman-teman/rakyatnya juga setan, namun ketika manusia yang lahir pada permulaan penciptaan sudah pada meninggal dunia, sedangkan suksmanya kesasar/penasaran, tidak dapat kembali kepada Tuhan Allah (Rama Pran-Soeh) yang mana suksma yang kesasar tersebut disebut jin (suksma masih lengket/menyatu dengan nyawanya), maka induknya nyawa dapat tambahan rakyat/teman. Perwujudan dan pekerti Induknya Nyawa kalau di Alam Mimpi/Alam Sasmita-maya, hampir sama dengan pekertinya di dunia fana, seperti banjir bandang (prahara), angin topan/badai, hutan yang terbakar, desa yang terbakar atau rumah yang terbakar dan lain sebagainya.
Kalau dalam mimpi kita melihat suatu desa dilanda banjir hingga tenggelam, atau diterjang angin topan /badai, atau terbakar, atau dihujani bom oleh pesawat terbang, padahal pesawat terbang ini sudah mengandung tiga macam unsur yaitu air, api dan angin, maka akibatnya desa tadi akan dilanda wabah penyakit yang mematikan (pageblug); Oleh karena itu, kalau kita mimpi semacam itu, setelah bangun tidur kita harus memohon dengan sungguh-sungguh dan tekun untuk bertemu dengan Sang Juru Selamat/Induk-sumbernya keselamatan. Orang-orang yang mati karena pageblug (terserang wabah penyakit yang mematikan), suksmanya pada kesasar/penasaran, menjadi makanannya Sang Pria/Sang Putri. Kalau bermimpi sedang mandi dengan air yang bening atau terkena angin semilir sepoi-sepoi menyejukkan badan, itu tidak mengakibatkan tubuh kita jadi sakit, karena tidak semua jin mengganggu manusia, yang namanya jin putih itu mau memberikan pertolongan kepada manusia, dan jin putih ini sudah mendekati akan menjadi manusia lagi.
Di atas saya menjelaskan dihujani bom oleh pesawat terbang, kalau tempat yang terkena bom tersebut sama seperti keadaan di dunia, misalnya merasa akan terjadi perang dimana pesawat terbang menjatuhkan bom di kota X, itu bukan pesawat terbang perwujudan dari Induknya Nyawa, tetapi pesawat terbang sungguhan.
Kalau di dunia, tubuh/raga kita terancam bahaya kematian, itu juga harus memohon dengan sungguh-sungguh dan tekun untuk bertemu dengan Sang Juru Selamat. Yang disebutkan di atas bahwa wujud air, api dan angin itu merupakan perwujudan dari musuh/setan/jin, oleh karena itu bermimpi tenggelam di lautan, terbawa ombak, terbawa arus di sungai yang banjir, tercebur ke dalam sumur dan tidak dapat keluar, itu akibatnya dapat menderita sakit hingga meninggal dunia, mati yang kesasar/penasaran.

3.      Manusia yang pada menderita sakit, kalau dipandang dari sudut pengetahuan keduniawian, disebabkan oleh bibit penyakit, tetapi kalau dipandang dari sudut pengetahuan kerohanian/ batin berbeda dengan sudut pandang pengetahuan keduniawian. Misalnya penyakit yang menular seperti penyakit pest, kolera, flu burung dan lain-lainnya itu seperti yang sudah saya terangkan sebelumnya disebabkan oleh perbuatan jin/setan. Juga ada penyakit yang dapat disembuhkan dengan perawatan medis yaitu ditangani oleh orang yang ahli di bidang medis; dan bagi para kadang golongan (murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo), kalau menderita sakit harus mengobatkan penyakitnya kepada para ahli medis seperti perawat/ mantri, dokter di Rumah Sakit atau Puskesmas atau di praktek pribadi dengan kata lain harus berusaha secara lahiriah; sedangkan kalau usaha lahiriah tidak membawa hasil atau tidak bisa sembuh, ya harus diteruskan dengan usaha batiniah secara kerohanian yaitu dengan memohon kepada Rama Pran-Soeh agar diberikan obat/syarat/sarana untuk menyembuhkan penyakitnya; kalau jawaban yang diterima dalam bentuk/wujud mimpi di Alam Kasuksman belum jelas isi/makna/maksudnya, maka permohonan harus di ulang-ulang sampai memperoleh jawaban yang jelas. Orang yang setiap saat memohon kepada Rama Pran-Soeh,  tidaklah pasti akan selalu memperoleh petunjuk/perintah/gambaran/jawaban yang jelas, itu tergantung pada orang yang mengajukan permohonan. Kalau orang yang memohon itu dengan sungguh-sungguh dan dengan segenap jiwa dan sepenuh hati, berserah diri secara total kepada Rama Pran-Soeh, bersandar dan menggantungkan diri kepada Rama Pran-Soeh, memohon belas kasihan kepada Rama Pran-Soeh, dapat memperoleh cinta dan belas kasih Rama Pran-Soeh berupa jawaban yang jelas dan tidak perlu diterjemahkan lagi, sudah dimengerti maksudNya. Manusia yang hidup di dunia ini tidak bisa mengaku dirinya suci (sok suci), karena masih lengket dengan/ditempeli oleh hawa nafsu/nyawanya; Seperti apa yang sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa manusia hidup harus dapat membagi antara pemenuhan kebutuhan nyawanya dengan kebutuhan suksmanya, harus dapat mengendalikan hawa nafsunya; Kalau akan beranjak tidur dan melaksanakan semedi tidur harus dapat melatih diri agar dapat fokus/berkonsentrasi tertuju pada hadirat Rama Pran-Soeh, kalau masih teringat kebutuhan keduniawian, jangan memulai sembahyang dulu. Semedi tidur hanya melulu untuk kepentingan suksmanya, setelah bangun tidur baru berusaha untuk memenuhi kebutuhan raganya dengan cara bekerja menurut kemampuan atau keahliannya. Kalau memperoleh petunjuk/gambaran bahwa diri kita akan memperoleh keberuntungan, jangan sombong/besar kepala, harus terus dimohonkan kepada Rama Pran-Soeh agar hal itu tetap dapat kita terima atau tidak berubah. Kalau bermimpi mengenai sesuatu yang berasal dari pekerti/perwujudan induknya hawa nafsu atau jin/setan, harus memohon kepada Rama Pran-Soeh agar terhindar dari pengaruh buruknya atau tidak jadi terkena malapetaka. Sedangkan kalau perintah/petunjuk/gambaran yang datang dari Rama Pran-Soeh tidak dapat lagi dihindari. Petunjuk/perintah/gambaran/mimpi yang kita saksikan di Alam Sasmita-maya itu sebenarnya semua menggambarkan budi pekerti raga/badan/tubuh jasmani kita masing-masing. Misalnya kita bermimpi duduk di sebuah kursi, ternyata lengket seperti terkena getah buah gori/nangka, itu menggambarkan bahwa sifat kita pelit tidak mau bermurah hati kepada orang lain, oleh karena itu kita harus mengubah sifat kita supaya menjadi peduli dan bermurah hati kepada orang lain atau tidak pelit lagi. Contoh lainnya lagi: kita bermimpi bahwa rumah kita rusak dimakan rayap, hampir roboh atau miring, itu menggambarkan bahwa jiwa/sikap hidup kita lemah, kepribadian kita tidak kuat, dan masih banyak lagi contoh-contoh lainnya.

4.      Sah dan batalnya sembahyangan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kita sudah bersembahyang secara lengkap, kemudian tidur, tetapi setelah bangun tidur kita tidak bermimpi atau mimpi kita semua lupa, bermimpi tetapi tidak bertemu salah satu atau dua perangkat Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, itu berarti sembahyangan kita batal. Sebagai pedoman atau indikator bahwa dalam mempelajari Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, kita akan dapat berhasil katam atau tidak adalah demikian: mimpi akan pergi jauh ke suatu tempat, tetapi tidak dapat sampai ke tempat tujuan, jalannya buntu, berarti tidak dapat mencapai katam; mimpi dapurnya, tempat memasaknya terbakar atau mimpi rumahnya terbakar, ini berarti kehidupan keduniawiannya enak, tetapi suksmanya celaka; Kalau mimpinya hanya sering berada di hutan, di goa-goa, di jurang-jurang, itu nanti kalau tiba ajalnya, suksmanya kesasar/penasaran/tidak mencapai tempat yang benar.

5.      Pedoman jika memohonkan obat untuk orang yang sedang sakit: memohonkan obat bagi orang yang sedang sakit yang sudah saya lakukan atau pengalaman yang saya simak dan tandai/identifikasi itu akan cepat sembuh kalau apa saja yang ada dalam mimpi kita itu, kita pegang sendiri atau kita makan sendiri itu kita berikan sebagai obat bagi orang sakit yang kita mohonkan obatnya. Ada pedoman lainnya yaitu: melihat barang/benda mati yang menempel di barang/benda yang hidup, misalnya memegang bola, bola itu benda mati menempel pada tangan kita (benda hidup), yang sakit dapat sembuh dan hidup, obatnya adalah bola itu tadi. Kalau dalam mimpi kita melihat barang/benda hidup yang menempel di benda/barang mati, misalnya melihat rumput yang masih hijau menempel di batu, atau melihat tanaman yang ditarik hingga lepas dari tanah tempat ia hidup, lebih-lebih kalau kita melihat barang yang mati atau rusak, itu semua menggambarkan bahwa orang yang sakit tidak akan bisa sembuh bahkan sampai menemui ajalnya. Masih banyak sekali contoh-contoh untuk memohonkan obat bagi orang yang sakit. Oleh karena itu agar selalu menyimak dan menandai semua perintah/gambaran/tanda yang kita terima di Alam Mimpi dihubungkan dengan pengaruh yang terjadi terhadap yang kita mohonkan untuk memperbanyak pengalaman kita. Kalau sedang sakit, memohon dengan sungguh-sungguh, dengan sepenuh hati dan segenap jiwa agar bertemu dengan Sumber atau Induk Kesembuhan/Kesehatan, kalau di Alam Mimpi kita bertemu denganNya, maka tidak perlu diobati akan seketika itu juga sembuh dari penyakit yang kita derita. Saya sudah berkali-kali menderita sakit parah, seperti: malaria, muntaber, tekanan darah tinggi, tekanan darah rendah, tidak bisa buang air kecil dan buang air besar, memohon dengan sungguh-sungguh, dengan segenap hati dan sepenuh jiwa untuk bertemu dengan Induk/Sumber Kesembuhan, dan ternyata dapat bertemu denganNya, maka seketika itu juga sembuh. Tentu saja usaha saya secara lahiriah berobat ke dokter (secara medis) tidak sembuh dan menemui jalan buntu; bahkan untuk penyakit saya yang terakhir itu seharusnya saya menjalani operasi, karena dari hasil pemeriksaan dokter ternyata ada tumor/benjolan di saluran kencing (prostat) saya, makanya tidak dapat kencing dan buang air besar, saya hanya mengiyakan saja untuk dioperasi walau sebenarnya saya takut kalau sampai menjalani operasi; Tekad saya sampai pada batas akhirnya, lebih baik saya mati daripada menjalani operasi, apa kalau dioperasi itu pasti akan sembuh. Tekad saya itu mendasari saya untuk memohon kepada Rama Pran-Soeh untuk bertemu dengan Induk/Sumber Kesembuhan/kesehatan dan ternyata di Alam Mimpi saya dapat bertemu menghadapNya, sehingga seketika itu juga saya sembuh, tidak jadi menjalani operasi.

6.      Mengenai permohonan jodoh yang dari kodrat kehendak Rama Pran-Soeh itu memang susah, tetapi ada juga yang berhasil. Kalau yang mudah adalah memohon pasangan hidup (suami/isteri), bukan memohon jodoh. Pasangan hidup (suami/isteri) adalah teman hidup untuk mejalani hidup bersama selama di dunia, sedangkan  jodoh itu untuk teman hidup selama di dunia sampai ke akherat. Jika kedua-duanya berkenan di hadapan Rama Pran-Soeh karena setia dan taat serta menjalankan semua perintah Rama Pran-Soeh, sewaktu reinkarnasi (dilahirkan kembali ke dunia) akan bertemu dan bersatu kembali menjadi jodoh yang dari kodrat kehendak Rama Pran-Soeh, tetapi hal ini jarang sekali terjadi. Bisa saja terjadi salah satu di antaranya melanggar Angger-angger Sebelas, larangan yang nomor satu atau yang lainnya, maka ketika reinkarnasi tidak dapat bertemu dan berkumpul/bersatu kembali. Sebaiknya siapapun yang sedang mencari pasangan hidup, setelah ada lawan jenis yang ditaksir, terlebih dahulu harus menyelidikinya: bagaimana budi pekertinya, keturunan dari siapa, bagaimana budi pekerti orang tuanya, yang harus diingat, karena ini adalah merupakan perintah utama dari Panutan kita, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, adalah mengenai BIBIT. Bibit yang dari orang tua/leluhur yang mempunyai penyakit menular, penyakit jiwa/gila, penyakit ayan, bunuh diri, itu bibit yang tidak baik yang menurut sabda Panutan kita, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo namanya NIMBRAH. Nimbrah berasal dari kata Timbrah yang berarti cacat yang mendasar, nimbrah berarti cacat mendasar yang menurun pada anak-cucu keturunan orang yang memiliki Timbrah. Timbrah dapat hilang dan tidak menurun atau tidak diturunkan  kepada anak cucu keturunannya, kalau bapak-ibu yang memiliki timbrah mempelajari dan berusaha mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat hingga berhasil mencapai katam yang bersih atau jelas. Mengenai permohonan mencari pasangan hidup (suami/isteri), pedomannya adalah sebagai berikut: mimpi melihat hewan atau pohon yang sejenis, itu artinya diperkenankan, misalnya melihat sapi jantan dan betina, burung merpati jantan dan betina, pohon kelapa berjumlah dua buah yang saling berdampingan; tetapi kalau melihat sapi dan kerbau, pohon kelapa dan pohon beringin, itu berarti bukan calon pasangan hidupnya, jangan diteruskan. Dan kalau dalam mimpi memperoleh gambaran/petunjuk/pertanda yang tidak baik, ya jangan diterus-kan. Permohonan yang belum mendapat jawaban yang jelas, harus diulang-ulang hingga memperoleh jawaban yang jelas yang tidak perlu diterjemahkan lagi sudah dimengerti maksudNya. Usaha untuk mencari pasangan hidup secara lahiriah maupun batiniah dilaksanakan jangan hanya untuk menuruti hawa nafsu saja.

7.      Keadaan di dunia, di Alam Kubur dan di Akherat jangan disamakan, karena memang berbeda keadaannya. Di Alam Kubur dan Alam Akhir (Akherat)  itu hanya tinggal roh, tinggal sinyal (angin) dalam hal televisi, jadi sudah tidak membutuhkan seperti yang dibutuhkan raganya yang masih memerlukan segala macam. Coba lihat bayi yang masih dalam kandungan ibunya, yang berumur sembilan bulan, mempunyai raga, raga kemudian diberi roh yaitu suksma dan nyawa, menjadi wujud manusia. Keadaan di Alam Kubur lebih lengkap diban-dingkan dengan keadaan di dunia, ada hewan dan tumbuh-tumbuhan yang dapat berbicara, ada yang tubuhnya manusia tetapi kepalanya hewan, tetapi sebaliknya ada yang tubuhnya hewan tetapi kepalanya manusia dan sebagainya. Kalau tidak percaya, buktikan sendiri, dengan cara memohon kepada Rama Pran-Soeh agar diperlihatkan isi dari Alam kubur. 

.






















***A***
BAB  XXXIII
MATI YANG BENAR/SEMPURNA DAN REINKARNASI


1.      Seperti sudah diuraikan di atas bahwa Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, ketika manusia masih hidup di dunia ini, dapat digunakan untuk kebutuhan raga/tubuh jasmani, misalnya tubuh sedang mengalami sakit kepala, perut mulas, kesusahan, gelap gulita, kesulitan dan sebagainya dapat digunakan untuk memohon atau mencari tahu kepada Rama Pran-Soeh. Demikian itu kalau usaha secara lahiriah sudah menemui jalan buntu dan tidak berhasil memecahkan masalah. Harusnya tidak ada pertanyaan: apa, bagaimana, dimana, karena segalanya tadi hanya mengharapkan/menggantungkan diri/menyerahkan sepenuhnya pada pertolongan/pemberian/kemurahan/belas kasih/perlindungan Rama Pran-Soeh.
Yang disebut mati sempurna itu bukan mati dengan raga yang hilang musnah, tidak diketahui dimana raganya, tetapi mati yang mana suksma sucinya dapat menghadap/berte-mu/ikut serta bergabung dengan Utusan Rama Pran-Soeh, itu yang dinamakan mati yang benar, sokur dapat sempurna menyatu dengan Rama Pran-Soeh atau kembali ke asal hidupnya. Dalam kata-kata orang yang berbicara, memang mudah mengatakan/menjelas-kan teori cara-cara agar dapat mencapai mati yang sempurna. Semua kematian itu ada di tangan Rama Pran-Soeh, belum tentu dari seribu orang yang meninggal dunia ada satu orang yang mati sempurna. Seandainya dapat bertemu dengan Utusan Rama Pran-Soeh saja, sudah merupakan anugerah yang besar. Padahal sewaktu hidup di dunia saja belum pernah belajar mengenai Ilmu Kenyataan, belum tahu wujud Yang Ingin/Akan Diikuti, padahal jin/setan dapat memalsukan dengan berubah wujud menjadi seperti wujud Utusan.
Sudah saya katakan sebelumnya berkali-kali bahwa apabila sewaktu hidup di dunia belum tahu/melihat wujud Utusan Rama Pran-Soeh, apalagi nanti di Akherat apa bisa tahu?.
Pengadilan/penghakiman bagi suksma manusia yang sudah meninggal dunia itu sesungguhnya tidak menunggu saat nanti entah berapa lamanya sejak meninggal dunia, tetapi begitu manusia meninggal dunia, suksmanya langsung berada dalam pengadilan Hakim yang menghakimi suksma seluruh manusia di alam semesta ini; kalau harus menunggu waktu nanti untuk dihakimi, betapa kasihannya suksma manusia. Coba bayangkan, orang yang menunggu pacarnya untuk berkencan di dunia ini harus menunggu berjam-jam lamanya atau menunggu sampai seharian bagaimana rasanya? Kalau suksma orang yang sudah mati harus menunggu untuk diadili beribu-ribu tahun lamanya, apa tidak kasihan?
Pengadilan/penghakiman, bagi murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, karena sudah pada menyaksikan di Alam Batin/Alam Halus/Alam Sasmita-maya/Alam kasuksman, pada saat manusia tiba ajalnya atau meninggal dunia, seketika pada saat terpisahnya suksma dan nyawanya dari raganya, langsung menerima pengadilan apakah suksmanya benar atau kesasar/penasaran. Kalau di dunia banyak berbuat dosa atau sedikit berbuat dosa, itu semua suksmanya masih terhenti dalam perjalanannya menuju kepada Tuhan Allah (Rama Pran-Soeh) atau dengan kata lain masih kesasar/penasaran, atau dalam istilah saudara kita kaum Katolik, masih berada dalam Api Penyucian (Jawa: Latu Pangresikan). Kalau sudah tidak punya dosa atau bersih dari dosa, suksmanya ditempatkan ke tempat yang benar, bisa menghadap Utusan Rama Pran-Soeh.

2.      Raga/tubuh jasmani yang sudah mati ditangani dan dikubur di tanah pemakaman/kuburan, menjadi busuk dan kembali ke bumi menjadi tanah. Sedangkan suksma dan nyawa yang sudah berpisah dengan raganya sampai di Alam Kubur, nyawa harus ditinggal disitu, jika tidak mau pasti terjadi perkelahian antaran suksma dan nyawa, apabila suksma tertekan dan hampir kalah, suksma harus dengan sungguh-sungguh memohon pertolongan kepada Rama Pran-Soeh, apabila permohonannya dikabulkan, Rama Pran-Soeh pasti memberikan pertolongan dengan senjata pamungkas atau dengan seribu cara lainnya, sehingga suksma dapat lepas terpisah dari nyawanya berpedoman Cahaya Rama Pran-Soeh berjalan menuju ke hadapan Utusan Rama Pran-Soeh.
Suksma yang dikalahkan oleh nyawanya, berarti masih lengket/menyatu dengan nyawanya, sedangkan perbuatannya juga seperti nyawa, ibarat aliran listrik, kalah besar voltagenya (strumnya).
Suksma yang sudah menang atas nyawanya disebut suksma suci, sudah tidak ternoda kotor oleh nyawanya, dan tidak memiliki rasa seperti di Alam Fana atau di Alam Kubur dapat berperilaku hanya kalau digerakkan oleh Rama Pran-Soeh, tempatnya ada di Alam Kuning.
Di Alam Kuning tidak dibebani oleh/mempunyai kebutuhan seperti di Alam Fana dan Alam Kubur. Suksma yang sudah berhasil menghadap Utusan Rama Pran-Soeh tidak membutuhkan apa-apa, yang ada hanya ketenteraman, damai dan sejahtera; Suksma yang sudah diterima oleh Utusan Rama Pran-Soeh dapat ditingkatkan ke Alam yang lebih tinggi yaitu menyatu (Jawa: manunggal) dengan Rama Pran-Soeh. Suksma yang sudah menyatu/manunggal dengan Rama Pran-Soeh berarti suksma tersebut sudah kembali ke asalnya atau dapat dikatakan kembali ke titik NOL (dari yang tadinya  tidak ada kembali menjadi tidak ada).
Suksma yang berada di Alam Kuning/Alam Bertemu/Alam Jumbuh dapat untuk sementara waktu atau dalam waktu yang lama tetap berada disana, atau dapat juga segera dilahirkan kembali ke dunia (reinkarnasi), demikian juga bagi suksma yang sudah menyatu/manung-gal dengan Rama Pran-Soeh, itu juga terantung pada kehendak Rama Pran-Soeh.

3.      Manusia tidak dapat mencapai mati yang benar/sempurna apabila:
a.       Tidak percaya sama sekali kepada Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, istilah lainnya Atioos/ Atheis.
b.      Tubuh jasmani/raganya ingat, merasa dan menyadari bahwa adanya hidup ini tentu saja ada Yang Memberi Hidup, percaya kepada Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, tetapi tidak menyembahNya bahkan mempunyai kepercayaan lain selain kepada Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, itu disebut retak/pecah kepercayaannya tidak sepenuh hati dan masih ragu-ragu atau mendua hati.
c.       Tubuh jasmani/raganya sudah ingat, merasa dan menyadari, sudah mau menyembah Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, tetapi suksmanya belum ingat, merasa dan menyadari atau belum makrifat (belum menyaksikan sendiri kenyataan di Alam Batin/Alam Halus/Alam Kasuksman/Alam Sasmita-maya).
d.      Tubuh jasmani/raganya sudah ingat, merasa dan menyadari, sudah mau belajar Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, tetapi belum berhasil mencapai katam, baru dapat bertemu atau menyaksikan satu atau dua perangkat saja, tetapi tidak mau melanjutkan, melanggar larangan nomor satu atau yang lainnya dari Angger-angger Sebelas, murtad ganti keyakinan atau hanya menjalankan syariat saja tetapi ridak belajar dan berusaha menjalankan makrifat.
e.       Orang yang sudah katam Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat dan sudah menerima dunungan sekalipun, tetapi murtad ganti keyakinan yang berarti memungkiri batinnya sendiri.
f.        Orang yang sudah katam dan menerima dunungan melanggar Angger-angger Sebelas larangan nomor satu yaitu berbuat zina dan larangan lainnya yang berarti sudah tidak menggunakan kekatamannya.

4.      Manusia dapat mencapai mati yang benar/sempurna apabila:
a.     Orang yang sudah ingat, merasa dan menyadari serta menyembah Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh dengan keyakinan atau cara apapun, berbudi pekerti baik, sederhana dan apa adanya (tidak berbohong, menipu dan sebagainya), setia dan taat kepada Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, mematuhi Angger-angger (perintah-perintah dan larangan-larangan) agamanya, dapat mengendalikan atau mengalahkan hawa nafsunya, meskipun belum mengetahui atau menyaksikan sendiri Ilmu Ghoib atau Ilmu Kasunyatan, berarti memetik buah dari budi pekertinya yang baik.
b.    Orang yang sudah katam dan menerima dunungan, setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya, mematuhi Angger-angger Sebelas yaitu menjalankan kewajiban tujuh macam dan menghindari/tidak melakukan larangan empat macam, tekun dan rajin dengan sepenuh hati dan segenap jiwa menjalankan tapa brata, sering bertemu menghadap Utusan Rama Pran-Soeh, dan mengalahkan hawa nafsu/nyawanya, sering bertemu dengan atau memperoleh Pusaka Hidup (Cahaya Rama Pran-Soeh), hanya melulu berfokus/berkonsentrasi pada permohonan kepada Rama Pran-Soeh agar bila tiba ajalnya diperkenankan menghadap dan ikut Utusan Rama Pran-Soeh (mati yang benar).
c.     Orang yang belum katam tetapi setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya, mematuhi Angger-angger Sebelas yaitu menjalankan kewajiban tujuh macam dan menghindari/tidak melakukan larangan empat macam. Terus menerus belajar dan berusaha mengerti, memahami dan menyaksikan sendiri Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat hingga tiba ajalnya, tekun dan rajin menjalankan tapa brata, budi pekertinya baik, memegang keyakinannya dengan teguh, tidak terpengaruh oleh keyakinan katanya nanti.
d.    Orang yang sudah mempelajari dan berusaha untuk mengerti, memahami dan menyaksikan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat baru memperoleh/bertemu/menyaksikan satu atau dua perangkat, setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya,  selalu melaksanakan dan mematuhi perintah-perintah Rama Panutan, selalu melaksanakan saran dan petunjuk dari penyuluhnya, mematuhi Angger-angger Sebelas yaitu menjalankan kewajiban tujuh macam dan menghindari/tidak melakukan larangan empat macam, budi pekertinya baik, memegang teguh keyakinannya, tidak murtad dan tidak ganti/pindah ke keyakinan lainnya.

5.      Perilaku kita di dunia itu menembus menentukan perilaku suksma kita di Alam Batin/Alam Kasuksman/Alam Sasmita-maya/Alam Halus, oleh karena itu keadaan suksma kita di Alam Kasuksman/Alam Halus itu memetik buah perbuatan dari raga/tubuh jasmani kita. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
a.     Di dunia fana kita lupa, sama sekali tidak peduli kepada kebutuhan suksma/hidup kita, bersifat diam seperti benda, maka suksma kita di Alam Halus juga tidak ingat, tidak merasa dan menyadari, juga bersifat benda.
b.    Di dunia fana kita hanya ingat kepada kebutuhan keduniawian saja, maka di Alam Halus Suksma kita juga hanya ingat kepada kebutuhan keduniawian saja.
c.     Apabila di dunia fana kita hanya menuruti hawa nafsu tiga macam saja, maka di Alam Halus suksma kita kalah atau tenggelam tergoda oleh perbuatan hawa nafsu tiga macam.
d.    Di dunia fana, kita sudah ingat pada kebutuhan suksma/hidup kita, tetapi tubuh jasmani/ raga kita belum mampu mengendalikan atau mengalahkan hawa nafsu tiga macam kita, maka di Alam Halus suksma kita tenggelam/kalah/dikuasai nafsu tiga macam kita.
e.     Di dunia fana kita sudah dapat mengalahkan/mengendalikan/menguasai hawa nafsu tiga macam kita, maka di Alam Halus suksma kita bisa menang melawan hawa nafsu/ nyawa kita, kalau dikaruniai ingat oleh Rama Pran-Soeh, suksma kita dapat lepas dari  nyawa kita, dan melihat/bertemu dengan wujud aseli nyawa kita (Jawa: babar walaka), memperoleh Pusaka Hidup/mukjizat/Cahaya Rama Pran-Soeh, hingga dapat bertemu dengan/menghadap Utusan Rama Pran-Soeh. Di Alam Kubur/Alam Antara, yaitu tempat suksma yang terhenti atau kesasar, menerima hukuman/siksaan, ada yang telanjang bulat, ada yang bertempat di dalam rumah yang tanpa tiang/pilar, ada yang menjadi binatang buas atau tanam-tanaman/tumbuh-tumbuhan, dan sebagainya.

6.      Reinkarnasi atau dilahirkan kembali ke dunia atau dalam bahasa Jawa: Cakra Mang-gilingan, adalah perpindahan hidup/suksma dari alam yang satu ke alam yang lain, dari wujud yang satu ke wujud yang lain. Pada saat raga mati karena terpisah dari suksma dan nyawanya, ada yang suksmanya masih lengket/menyatu dengan nyawanya sehingga terhenti perjalanannya (Jawa: kandeg) di alam kubur/alam penasaran dan menerima hukuman/siksaan disana, tetapi ada juga yang suksmanya dapat lepas dari nyawanya, sehingga suksma yang sudah suci tersebut berhasil menghadap dan mengikuti Utusan Rama Pran-Soeh, bahkan ada yang sempurna yaitu menyatu dengan Rama Pran-Soeh. Manusia yang hidup di dunia saat ini, ada yang sebelumnya juga pernah hidup di dunia ini,  mulai jaman Nabi Adam turun temurun hingga sekarang, hidup manusia itu hanya cakra manggilingan, atau berputar terus seperti sebuah lingkaran: hidup di dunia, meninggal yang mana suksmanya pindah ke Alam Halus/Alam Kasuksman/Alam Sasmita-maya, dilahirkan kembali ke dunia sebagai bayi (reinkarnasi) menjalani hidup di dunia ini hingga meninggal dunia lagi (suksmanya pindah lagi ke Alam Halus), kemudian dilahirkan kembali (reinkarnasi) begitu seterusnya seperti sebuah lingkaran yang tak pernah putus. Yang disebut reinkarnasi (Jawa: Urip Tumimbal) itu bukan suatu keadaan dimana suksma orang yang sudah mati itu masuk ke tubuh orang yang masih hidup di dunia ini, atau diibaratkan lubang seekor jangkrik yang kecil dimasuki oleh jangkrik yang besar (Jawa: gangsir), bukan begitu perjalanan/keadaannya, kalau keadaan seperti itu dinamakan kesurupan/ketempelan/keranjingan/kesarungan.
Perjalanan Suksma/hidup yang reinkarnasi itu adalah sebagai berikut: Suksma yang berada di Akherat/Alam Akhir/Alam Kesempurnaan/Alam Putih/Alam Kuning atau yang berada di Alam Kubur/Alam Merah/Alam Biru/Alam Antara/Alam Kondhawaru/Alam Perantunan atau dalam Api Penyucian, ketika akan diturunkan/dilahirkan ke dunia  yaitu melalui hubungan cinta/seksual antar pria dan wanita yang membuat seorang wanita mengandung, yang mana setelah hari yang kedua puluh satu wanita tersebut merasakan kedut dalam rahim/perutnya, hingga umur kandungan tiga puluh dua hari, kandungan tersebut sudah dimasuki/memiliki SUKSMA, dan pada hari yang ke tiga puluh tiga (umur janin tiga puluh tiga hari), baru dimasuki/memiliki NYAWA, sehingga si ibu memiliki keinginan yang ber-macam-macam dan kadan-kadang yang aneh-aneh, yang pada umumnya disebut nyidam/ ngidam. Setelah berada dalam kandungan selama sembilan bulan sepuluh hari, janin tersebut kemudian lahir ke dunia sebagai bayi. Bayi yang lahir sudah memiliki dosa bawaan itu adalah bayi yang suksmanya berasal dari Alam Kubur/Alam Antara/Api Penyucian (suksma yang menjalani hukuman); sedangkan Bayi yang lahir masih suci atau tidak memiliki dosa bawaan itu adalah bayi yang suksmanya berasal dari Alam Akhir/Alam Kesucian/Alam Putih/Alam Kuning dan akan memiliki dosa/berdosa ketika ia sudah dewasa, mempunyai berbagai macam keinginan dan tidak mematuhi perintah Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh. Sedangkan bayi yang sudah mempunyai dosa bawaan, dosanya akan bertambah lagi ketika ia sudah dewasa, mempunyai berbagai keinginan dan tidak mematuhi perintah Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh selama ia hidup di dunia ini. Perlu diketahui oleh kita semua bahwa Utusan Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh itu tidak memiliki dosa atau bebas dari dosa, sebab sudah berkedudukan sebagai Sang Penebus/Pelebur dosa. Utusan Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh, ketika berkali-kali turun/dilahirkan ke dunia selalu ingat perjalanan hidupNya di dunia ini sebelumnya. Sedangkan bagi manusia biasa, sebagian besar banyak yang tidak ingat; bisa ingat ketika memohon kepada Rama Pran-Soeh agar diperlihatkan perjalanan hidupnya di dunia di masa sebelumnya ketika ia hidup di dunia fana ini, itupun kalau permohonannya dikabulkan, dan menurut pengalaman hanya diberitahu satu jaman saja. Dilahirkan kembali ke dunia ini (reinkarnasi) tidak bisa rutin, tetapi tergantung budi pekerti kita (memetik buah perbuatan kita sendiri/karma).
                            
7.      Pada saat permulaan penciptaan, Tuhan Allah menciptakan manusia di seluruh permukaan bumi ini diberikan/dengan suksma dan nyawa yang baru, dan menurut kehendak Tuhan Allah  agar manusia itu hidup berumah tangga, dan wanita yang mengandung itu janinnya diberi Suksma dan Nyawa yang baru. Setelah manusia di dunia ini sudah banyak yang meninggal dunia, seorang wanita yang mengandung itu janinnya diberi suksma dan nyawa orang yang sudah mati tetapi ada juga yang diberi suksma dan nyawa yang baru. Hidup manusia itu hanya berputar seperti lingkaran yang tidak pernah putus (Jawa: cakra manggilingan), dilahirkan kembali ke dunia (reinkarnasi). Seorang laki-laki yang sudah mati, kalau dilahirkan kembali (reinkarnasi) juga tetap menjadi laki-laki, nyawanya juga laki-laki, demikian juga wanita yang reinkarnasi juga tetap menjadi wanita, nyawanya juga tetap wanita. Roh (suksma dan nyawa) yang diberikan pada janin wanita yang sedang mengandung itu ada yang dari suksma dan nyawa orang yang mati tua, ada yang dari suksma dan nyawa orang yang ahli seni dan sebagainya. Roh (suksma dan nyawa) tadi mempengaruhi bayi yang ditempatinya, ada anak-anak yang sudah senang pada kesenian, menggambar dan lain-lainnya menurut roh yang diberikan itu bagaimana budi pekertinya dan apa keahliannya sewaktu dulu hidup didunia ini. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, Utusan Tuhan Allah/Rama Pran-Soeh itu nyawanya ada dua macam yaitu nyawa laki-laki dan nyawa perempuan/wanita. Manusia yang menjadi hewan itu mempunyai suksma dan nyawa, beda dengan hewan yang aseli (bukan jelmaan dari manusia)  yang hanya memiliki nyawa saja tetapi tidak memiliki suksma. Sedangkan bagi orang yang mempunyai anak kembar itu, anak-anaknya diberi suksma dan nyawa sendiri-sendiri.

8.      Untuk menentukan tinggi rendahnya derajat seorang manusia dalam pergaulan masyarakat ketika dilahirkan kembali ke dunia (reinkarnasi), harus menabung amal perbuatan baik entah itu berupa tenaga, pikiran, harta benda, utuk kepentingan pergaulan dalam masyara-kat, tolong menolong, gotong royong, jangan mentang-mentang jadi orang kaya atau tinggi jabatannya. Orang yang hidup dalam pergaulan masyarakat itu tidak bisa sendirian tanpa pertolongan orang lain.
Utusan Rama Pran-Soeh turun atau dilahirkan ke dunia dengan berbagai macam kedudukan-Nya dalam masyarakat, ada yang menderita, ada yang kaya dan sangat dihormati, ada yang menjadi penguasa, ada yang menjadi abdi/pelayan di kerajaan, ada yang meninggalkan kitab (Kitab Suci) dan murid-murid yang banyak sekali, ada yang tidak meninggalkan kitab dan muridnya sedikit sekali, dan sebagainya.
Semua itu tergantung dari  pekertiNya masing-masing, apakah mengutamakan kebutuhan pribadiNya, atau  mengutamakan pada tugas suci dari Rama Pran-Soeh.
Orang yang ketika hidup di dunia budi pekertinya baik atau berbudi pekerti luhur, semua perbuatannya hanya tertuju kepada kesucian dan keadilan agar kehidupan kemanusiaan lahir dan batin itu dapat berjalan dengan selamat dan tenteram, yang menjadikan suksmanya dekat dengan Utusan Rama Pran-Soeh, ketika dilahirkan kembali ke dunia (reinkarnasi) kedudukannya dalam pergaulan masyarakat akan sangat berbeda dengan orang yang ketiduran batinnya, tidak ingat dan tidak menjalankan perintah Rama Pran-Soeh dan orang yang berbudi pekerti rendah, nakal dan nista.

9.      Suksma yang kesasar (tidak dapat kembali menghadap/menyatu dengan Rama Pran-Soeh) dan menerima hukuman abadi/langgeng/selama-lamanya, adalah suksma yang menjadi binatang yang memakan daging itu tetap tidak akan bisa menjadi manusia lagi, kalau dilahirkan kembali ke dunia (reinkarnasi) akan menjadi binatang yang memakan daging atau binatang  buas. Suksma yang menjadi binatang yang tidak memakan daging (tidak buas) dan binatang tersebut  membantu manusia di dunia ini, dapat segera menjadi manusia kembali, contohnya: kuda, sapi/lembu, kerbau, gajah, dan sebagainya.
Untuk mengetahui hewan yang isinya manusia, dapat memohon keterangan kepada Rama Pran-Soeh sebenarnya isi binatang peliharaan kita (misalnya kuda) itu  siapa? Sebenarnya secara lahiriah sudah ada indikasinya misalnya: anjing peliharaan kita setiap hari Senin dan Kamis tidak mau makan (puasa), kalau dimarahi atau dihina meskipun diberi makanan tidak mau makan.
Wujudnya manusia berkeliaran dipinggir jalan atau di pasar/pertokoan, mengobrak-abrik tempat sampah, ada daun bekas bungkus makanan/nasi dan lauknya dijilati, tidur di sembarang tempat, makanan yang sudah dibuang diambil lagi/dikumpulkan dan dimakan.
Manusia yang isinya jin, wujudnya manusia tetapi memiliki watak dengki, jahil, nakal, suka memfitnah dan suka menyakiti hati serta membuat sengsara orang lain.
Manusia yang isinya binatang buas, wujudnya manusia tetapi berwatak kasar, kejam, tega membunuh orang, seperti adanya perampok, penyamun, gali dan sebagainya. Berbeda dengan tentara, meskipun membunuh orang, tetapi yang dibunuh kan musuh yang ingin merebut kekuasaan atas negara dan menjajah.
 





















***A***
BAB  XXXIV
PERINTAH  DASAR/UTAMA DARI RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO


Katam Yang Bersih

1.    Katam Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat harus yang bersih. Yang disebut katam yang bersih adalah: bertemu wujud aseli Pusaka Hidup/Cahaya Rama Pran-Soeh/mukjizat atau istilah dalam pewayangan Minyak Jayeng Katon, tidak di Alam yang remang-remang, tidak ada kabut, tidak ada hujan, tidak  berasap atau istilah lainnya abra marakata, dan lagi tidak tertutup barang apapun seperti kaca, dinding rumah dan sebagainya.

2.    Bertemu atau menghadap dan melihat Utusan Rama Pran-Soeh (suksma suci Utusan) tidak hanya satu kali tetapi harus berkali-kali/berulang-kali, paling sedikit dua kali.
Menghadap dan bertemu dengan Utusan harus berhadap-hadapan dengan jarak yang dekat, tidak dibelakangi atau tidak hanya dari samping. Pakaian yang dikenakan oleh Utusan harus lengkap, polos, sederhana, tidak berwarna-warni dan  tidak bercorak misalnya gambar kembang berwarna merah, biru, hijau atau warna yang aneh-aneh. Tingkah lakunya sederhana, tidak berkacak pinggang, tidak tertawa, tidak menakutkan. Merasakan suasana penuh cinta kasih, penuh kedamaian, penuh pertolongan, berbudi luhur, bertemu/menghadap Utusan di tempat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yaitu:
1)      Di rumah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang lama dekat Sungai Lamat, desa Jagalan, kecamatan Muntilan.
2)      Di Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh.
3)      Paling tidak di rumahnya sendiri yang disaksikan oleh salah satu sahabat Panutan (Jawa: Sekabat) atau oleh orang yang sudah katam, sokur menerima perintah yang jelas.
Menghadap atau bertemu Utusan harus di Alam yang terang, bukan di alam yang remang-remang, tidak ada mendung dan tidak ada hujan.
Menghadap atau bertemu Utusan yang bersih itu ada di Alam Kuning yang sudah tidak dipengaruhi oleh perbuatan hawa nafsu atau kebutuhan keduniawian. Jadi hanya melulu untuk kepentingan suksma suci. Menghadap atau bertemu dengan Utusan Rama Pran-Soeh harus dalam waktu yang agak lama, kira-kira satu menit atau lebih baik lagi kalau dalam waktu yang lama, dapat menerima perintah atau petunjuk yang ada hubungannya dengan Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, intinya mengenai kesucian, tidak ada hubungannya dengan kebutuhan kedunia-wian. Setelah bangun tidur, badan terasa sehat, segar, tidak terasa seperti baru bangun tidur, matanya bersih bening, tidak terasa mengantuk, hatinya tidak berdebar-debar, dan pikirannya terang tidak bingung.

3.    Waktu berhasil mengalahkan nyawa/musuh dan bertemu/melihat wujud aseli nyawa, harus melihat secara berhadap-hadapan, dapat melihat dengan jelas bentuk wajah nyawa kita, tidak melihat dari belakang atau dari samping, tidak tertutup/terhalang apapun, tidak sedang bercermin baik pada kaca cermin atau pada air, melihatnya dalam waktu yang lama, tidak hanya sekejap saja.
Bertemu atau melihat atau menyaksikan wujud aseli Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat tersebut semuanya harus dalam keadaan hidup, tidak boleh bertemu dalam keadaan mati. Mengenai bertemu atau menyaksikan wujud aseli Utusan dan Nyawa tersebut tidak sedang dalam keadaan tidur, karena kalau Utusan dan Nyawa yang ditemui dalam keadaan tidur itu namanya (bertemunya) belum bersih, jangan ditetapkan kalau sudah bertemu/menyaksikan.

Mengerjakan Ujian/Pendadaran/Percobaan

Setelah berhasil mencapai katam yang bersih Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, kemudian diberi cobaan atau diuji oleh penyuluhnya. Mengenai cara memberikan ujian itu disesuaikan dengan tinggi rendahnya tingkat alam yang dapat dicapai oleh orang yang barus saja mencapai katam tadi. Yang pencapaian tingkat alamnya rendah, diberi ujian supaya mencari siapa yang berkedudukan sebagai hakim yang mengadili suksmanya sendiri dan suksma seluruh manusia di alam semesta ini. Yang tingkat pencapaian alamnya sedang, diberi ujian supaya mencari siapa yang mengasuh, memelihara dan mengayomi suksmanya sendiri dan suksma seluruh manusia di alam semesta. Sedangkan ujian yang paling tinggi adalah mencari Roh Suci yang telah ada sebelum alam semesta diciptakan dan sebelum Nabi Adam turun/dilahirkan ke dunia, yang tidak bisa rusak dan tidak terkena hukuman Tuhan Allah, penjelmaan Rasul dunia, yang bertempat di alam kosong yang menguasai isi.
Dapat juga diberikan ujian yang lain seperti misalnya: mencari Sang Juru Selamat, mencari Sumber/Induk Kesehatan dan Keselamatan,  mencari Sang Juru Penolong dan sebagainya.
Setelah selesai menjalani dan lulus ujian, baru dapat ditetapkan telah mencapai katam yang bersih, dan agar segera diselenggarakan kataman, yaitu ungkapan rasa syukur dan terima kasih karena Rama Pran-Soeh telah memberikan anugerah yang sangat besar berupa katam yang bersih, dan kalau memang mampu bisa diadakan makan bersama-sama dengan para kadang golongan dan tetangganya. Dan untuk mematuhi dan menjalankan perintah Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, meskipun hanya sedikit agar disediakan nasi uduk dengan ingkung ayam (seekor ayam utuh yang dibuat opor), atau setidaknya telur ayam yang dibuat opor. Maksud dan tujuan disediakannya nasi uduk dengan ingkung ayam atau telur ayam tersebut adalah agar Induknya Hawa Nafsu (Ilmu Wahyu Sejatinging Kakung dan Ilmu Wahyu Sejatining Putri) tidak mengganggu. Sedangkan kalau memang benar-benar miskin tidak mampu menyelenggarakan makan bersama, kataman dapat diwujudkan dengan membantu tetangganya yang sedang mengalami kerepotan yaitu dengan menyumbangkan tenaganya.
Kalau memang mampu, selain mengadakan makan bersama juga menyumbangkan sebagian kekayaannya berupa uang sebagai persembahan yang dapat dimasukkan ke dalam peti bakti yang berada di Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh. Uang persembahan tersebut nantinya digunakan untuk memelihara dan memperbaiki Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh. Almarhum Rama Panutan pernah memerintahkan besarnya persembahan adalah satu persen dari penghasilan setiap bulan.


Menjelang diadakannya dunungan
a.     Waktu pelaksanaan dunungan diusahakan agar dapat dilakukan pada saat bulan purnama, setidaknya pada saat suasana terang, tidak gerimis ataupun hujan. Langit terlihat bersih, tidak ada mendung sedikitpun, sebaiknya ya dilaksanakan di musim kemarau.
b.    Tempat pelaksanaan dunungan diusahakan agar dapat diselenggarakan di Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh, di halaman sebelah utara Sumur Jalatunda, dekat dengan Tlaga Maharda, perlu menyampaikan bakti kita kepada Rama Panutan yang disebut ziarah. Dan bisa juga tempat dunungan dimohonkan kepada Rama Pran-Soeh, menurut perkenanNya harus diseleng-garakan dimana?
c.     Yang akan memberikan dunungan maupun calon penerima dunungan, kedua-duanya harus memohon kepada Rama Pran-Soeh agar mendapat cahaya Rama Pran-Soeh, dan agar dunungan dapat berjalan dengan selamat serta yang menerima dunungan dapat mengerti dan memahami isi/materi dunungan.

Langkah-langkah Menjelang Diadakannya Dunungan

a.     Yang akan memberi dan menerima dunungan, kedua-duanya harus mandi dan keramas.
b.    Waktu pelaksanaan dunungan dimulai dari jam 23:00 atau 24:00  sampai selesai. Kalau yang menerima dunungan banyak jumlahnya harus dibuat kelompok-kelompok, supaya tidak kebanyakan yang dapat berakibat orang yang menerima dunungan tidak mengerti dan memahami isi/materi dunungan. Dibuat per kelompok terdiri dari lima orang saja, dimulai dari kelompok pertama, kalau sudah selesai kemudian kelompok kedua, ketiga dan seterusnya hingga semua orang dapat menerima dunungan; Kalau dalam waktu semalam tidak dapat selesai semua, ya dilanjutkan pada malam berikutnya. Sebelum tiba waktu dunungan, tidak diperkenankan tidur terlebih dahulu, mengantuk juga tidak diperkenankan.
c.     Dunungan untuk orang laki-laki dan perempuan harus dipisah, kalau yang menerima dunungan itu laki-laki, yang memberikan dunungan juga harus laki-laki demikian juga kalau yang menerima dunungan itu perempuan, yang memberikan dunungan juga harus perempuan. Boleh orang laki-laki memberikan dunungan kepada perempuan atau sebaliknya, kalau yang memberikan dan menerima dunungan itu adalah suami isteri.
d.    Setelah semua melakukan langkah-langkah tersebut di atas, kemudian berangkat ke tempat dunungan, menempati tempat yang ditentukan, diatur yang baik dan rapi. Tempat yang akan digunakan untuk pelaksanaan dunungan sebelumnya harus dibersihkan/disapu terlebih dahulu dan digelari tikar. Intinya harus teratur dan bersih bukan hanya lahiriah saja tetapi yang penting batinnya harus bersih.
e.     Cara duduk di tempat pelaksanaan dunungan yaitu dengan bersila, tidak jongkok atau berdiri, menghadap ke arah Bale Suci Agung Gedhong Pran-Soeh atau makam Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yaitu Astana Waja.
f.      Kemudian bersembahyang dipimpin oleh salah satu pendunung, dengan permohonan: mohon keselamatan dan terang batinnya agar semua yang ikut dunungan dapat mengerti dan memahami isi/materi dunungan.

Langkah-langkah Pelaksanaan Dunungan

1)    Yang memberikan dan menerima dunungan duduk berhadap-hadapan.
2)    Yang memberikan dunungan (Pendunung) mulai menjelaskan bahwa ia hanya sekedar menjadi perantara untuk menjelaskan Ilmu milik Rama Pran-Soeh yang dibawa oleh almarhum Rama Panutan yaitu Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo.
3)    Memeriksa orang yang akan menerima dunungan apa sudah benar-benar katam Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat yang bersih, dan bagaimana mengenai hasil ujiannya (coban) apakah memang sudah dapat menyaksikan sendiri semua yang diujikan secara bersih?
4)    Kalau hasil pemeriksaan pada angka 3) tersebut memang sudah benar, pendunung kemudian memberikan sumpah keyakinan, wedaran (uraian penjelasan), dan wisikan (bisikan). Sedangkan wisikan diberikan dengan cara membisikkan ke telinga yang menerima dunungan dengan suara lirih (tidak keras).
5)    Yang menerima dunungan menerima pinjaman (Jawa: gadhuhan) Pusaka Ismu Giris. Manfaat Ismu Giris dapat digunakan untuk keperluan yang sangat penting dengan cara diucapkan dalam batin sembari menahan nafas.
Cara melepaskan pusaka: ujung jari tengah tangan kiri ditempelkan dan ditekan pada tulang rusuk/tulang iga bagian terakhir (Jawa: iga wekasan) sebelah kiri, ujung jari tengah tangan kanan ditempelkan dan ditekan pada otot besar leher sebelah kiri.
Kalau akan melepaskan pusaka harus mempunyai permohonan demikian: Duh Rama Pran-Soeh, saya mohon maaf dan saya mohon diberi pinjaman Pusaka Ismu Giris milik almarhum Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, akan saya tujukan pada ...... (sesuai keperluannya).
Sedangkan kalau waktunya sangat mepet dan pada saat itu juga harus segera digunakan, maka cukup mendudukkannya (njumenengake) saja dengan cara: ibu jari tangan kanan menekan pada denyut nadi di pergelangan tangan kiri.
Bagi orang cacat yang tidak memiliki tangan kanan dan/atau tangan kiri, tentu saja tidak dapat melakukan cara di atas, maka cukup diucapkan dalam batin sambil menahan nafas dan dihembuskan sebanyak tiga kali.

6)    Untuk membantu/menolong orang yang sedang melahirkan, karena dalam waktu yang lama bayinya tidak dapat lahir (susah melahirkan), sehingga ibunya sudah kehabisan tenaga, padahal dia itu keluarga kita, atau meskipun bukan keluarga kita, boleh saja kita menolong orang lain. Sebelum melepaskan pusaka Ismu Giris, terlebih dahulu menyampaikan permohonan kepada Rama Pran-Soeh seperti diuraikan pada angka 5) di atas, cukup diucapkan dalam batin kita saja, kemudian dihembuskan sebanyak tiga kali pada bagian atas kepala (ubun-ubun) ibu yang sedang melahirkan. Itu kalau menolong keluarga kita, sedangkan kalau menolong orang lain, cukup dihembuskan pada segelas air, dan air tersebut diminumkan kepada dan diusap-usapkan pada perut ibu yang akan melahirkan oleh keluarganya.

7)    Petak bolak-balik kita lakukan bila ada fitnah atau santet yang dilakukan orang lain yang ditujukan kepada  kita, agar kita diberi keselamatan oleh Rama Pran-Soeh dan santetnya tidak mengenai kita, caranya demikian: ujung jari tengah tangan kanan menekan pada tulang rusuk bagian terakhir sebelah kiri, sedangkan ujung jari tengah tangan kiri menekan jalan darah/pembuluh darah besar di leher sebelah kanan

8)    Petak Perjuangan kita lakukan dalam keadaan perang untuk menghadapi musuh, caranya demikian: dengan menggunakan dupa ratus yaitu kemenyan dan belerang yang ditumbuk halus kemudian dicampur. Cara melaksanakan: ujung jari tengah tangan kanan menekan pada tulang rusuk bagian terakhir (Jawa: iga wekasan) sebelah kiri, tangan kanan memegang dupa ratus, di depan kita sudah disiapkan bara api, kemudian berkonsentrasi memohon kepada Rama Pran-Soeh agar musuh dapat dikalahkan sembari menahan nafas, setelah selesai, dupa ratus diceburkan ke dalam api sambil menghembuskan nafas sebanyak tiga kali, menghadap ke arah musuh yang dituju.

9)    Untuk memohon rejeki bagi orang yang penghidupannya sedang susah sekali, untuk memenuhi kebutuhan makan minum saja tidak bisa atau tidak bisa makan minum secara teratur setiap harinya. Caranya demikian: ujung jari tengah tangan kanan menekan pada tulang rusuk bagian terakhir sebelah kiri, telapak tangan kanan menekan pada ubun-ubun.

KETERANGAN


a.       Semua kata atau keterangan mengenai dunungan harus diucapkan dengan suara lirih, tidak diperkenankan dengan suara yang keras.
b.      Sebelum melepaskan pusaka pada waktu yang ditentukan, terlebih dahulu harus melakukan tapa brata, ibarat akan menggunakan pisau, harus diasah lebih dahulu agar tajam, karena melepaskan pusaka itu menyuruh nyawanya, jadi kalau tidak mengendalikan nyawanya, peribahasanya: pistol kosong, harimau ompong alias tidak mempan, ibarat kapaknya Petruk kembali mengenai dirinya sendiri (senjata makan tuan). Menurut perintah almarhum Rama Panutan, kalau ingin agar pusaka tersebut efektif mengenai sasarannya (Jawa: cespleng), harus melakukan hal sebagai berikut: selama satu tahun tidak boleh memegang/menyentuh kemaluannya dan tidak memakan makanan yang bahannya/terbuat dari beras ketan, misalnya: jadah, wingko babad, lemper dan sebagainya.
c.       Pusaka Ismu Giris tidak boleh dipergunakan secara sembarangan, atau ditujukan pada apa saja, ibarat sebilah keris yang dihujamkan pada pohon pisang tidak ada artinya/gunanya.
d.      Menghafalkan dunungan tidak boleh di dalam rumah, harus di luar rumah.     



Mengenai  Kedutan

Kedutan pada anggota badan kita sebelah kiri atau kanan diambil dari tengah-tengah hidung ke bawah.
Kedutan pada anggota badan kita sebelah kiri itu pertanda baik, sedangkan kedutan padan anggota badan kita sebelah kanan itu pertanda tidak baik/buruk.


Firasat

Burung gagak yang bersuara berkoak-koak hingga menembus ke relung hati, pertanda tidak baik, mungkin akan ada keluarga kita atau orang lain yang meninggal dunia.
Cicak yang menjatuhi tubuh kita atau jatuh di hadapan kita, pertanda akan ada keluarga kita yang meninggal dunia.
Burung Prenjak yang berkicau dalam waktu lama entah itu dari utara, selatan, timur atau barat rumah kita, pertanda akan ada tamu dari arah burung tersebut, dan masih banyak firasar lainnya yang berdasar pada gerak hati kita misalnya akan bepergian jauh merasa ragu-ragu, ada rasa untuk pergi dan ada rasa untuk tidak pergi, kalau terjadi demikian lebih baik tidak usah pergi saja.


KETERANGAN

1.    Tata tertib dunungan ini khusus hanya untuk para pendunung (orang yang memberikan dunungan) saja. Sedangkan bagi orang yang sudah katam boleh membacanya, tetapi bagi orang yang belum katam, membaca tata tertib dunungan ini juga tidak ada gunanya.
2.    Seorang wanita yang sedang hamil tidak boleh menerima atau memberikan dunungan.



BAB   XXXV
PERATURAN MENGENAI PERKAWINAN YAITU PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN


Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa pernikahan  itu menjadi kebutuhan hidup setelah kita dewasa. Dengan mengingat intisari dari Angger-angger Sebelas, juga mendasar-kan pada perintah Rama Pran-Soeh, mengenai perkawinan/pernikahan dan perceraian, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo mendasarkan pada hal-hal seperti yang disampaikan berikut ini:

1.      Arti Pentingnya Perkawinan/Pernikahan
Kita semua wajib mengetahui bahwa arti pentingnya hidup berumah-tangga/ perkawinan/pernikahan itu  ditujukan untuk:
a.       Mematuhi dan melaksanakan apa yang menjadi kehendak Rama Pran-Soeh, setidaknya mendekati apa yang diperintahkanNya.
Hidup berumah-tangga/pernikahan itu tidak boleh dianggap/dipandang mudah, karena kalau keliru sama saja artinya dengan menerima siksaan, sebaliknya kalau benar sama dengan menerima keberuntungan, kebahagiaan dan ketenteraman lahir dan batin.
b.      Agar dapat memberikan manfaat dan berguna bagi kedua-duanya (suami dan isteri). Kita berumah tangga itu menginginkan memperoleh berbagai macam manfaat dan keuntungan, seperti misalnya: teman menghadapi suka duka dalam menjalani hidup ini, membantu dalam mencukupi kebutuhan hidup dan dalam  mencapai apa yang dicita-citakan bersama, lebih-lebih yang berhubungan dengan kodrat bersatunya nafsu lelaki dan nafsu perempuan, yang juga mempengaruhi ketenteraman hidupnya.
c.       Agar dapat membuat sehat dan kemajuan keturunan. Menurut kodrat hidup, pada berusaha untuk melestarikan hidupnya melalui keturunan dan setelah meninggal dunia ada yang melanjutkan sejarah hidup orang tuanya, oleh karena itu pada membutuhkan anak keturunan; anak keturunan kita selain meneruskan sejarah hidup kita juga akan meneruskan pencapaian cita-cita orang tuanya. Ini semua dapat terlaksana, selama anak keturunan kita sehat wal afiat dan berkembang serta meningkat dalam segala hal, baik jasmani maupun rohani. Hidup berumah tangga yang tidak teratur atau harmonis, suka bertengkar atau rusuh/selingkuh, mustahil bisa membuat anak keturunannya sehat dan maju.  
d.      Agar dapat mewujudkan tata tertib dan ketenteraman dalam pergaulan masyarakat, sebab hidup berumah-tangga dan ketenteraman itu keberuntungan yang tidak dapat dibandingkan. Tidak teratur dan harmonisnya perkawinan, banyaknya perbuatan zinah, selingkuh, pelacuran, menggoda dan menodai anak remaja, dan sebagainya, pasti membuat tidak tenteramnya pergaulan masyarakat dan keluarga, sebab akan menimbulkan saling cemburu, saling curiga, panas hati, pertengkaran, permusuhan, dendam, penganiayaan dan pembunuhan. Ketenteraman hidup dalam pergaulan ma-syarakat itu banyak sekali syarat dan sarananya, karena terdapat berbagai macam penyebabnya, oleh karena itu hidup berumah-tangga itu hanya memberikan sumbangan, bukan unsur utama yang menentukan segalanya.
e.       Tujuan lain-lainnya yang berguna bagi pergaulan masyarakat. Dari pengaruh hidup berumah-tangga dapat merukunkan/menyatukan keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan yang mana hal tersebut dapat memperkuat atau mempererat pergaulan masyarakat. Dari pengaruh hidup berumah-tangga mendekatkan keluarga dari pihak laki-laki dan wanita, sehingga memperkuat hubungan dalam hidup bermasyarakat. Dari pengaruh hidup berumah tangga dapat memperbanyak jumlah jiwa dan jika dapat berjalan dengan teratur atau harmonis dalam berusaha memperbesar/mening-katkan  penghasilan dapat mewujudkan kesejahteraan dalam pergaulan masyarakat. Dan masih ada banyak lainnya mengenai manfaat dari perkawinan bagi hidup dalam pergaulan masyarakat.

2.      Syarat rukunnya perkawinan/pernikahan/hidup berumah tangga sebagaimana dijelaskan pada angka 1.a.  sampai dengan 1.e. di atas harus mengingat hal-hal sebagai berikut:
a.       Kadang golongan/murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang sudah katam, kalau hendak menikah harus mendasarkan pada perintah/petunjuk dari Rama Pran-Soeh dengan cara memohon petunjuk kepada Rama Pran-Soeh siapa yang akan menjadi calon suami/isterinya. Petunjuk/perintah yang diterima harus jelas, meskipun tidak bertemu dengan wujud aseli Utusan Rama Pran-Soeh (isilah Jawa: nglonthong), sokur kalau dapat memperoleh petunjuk/perintah dari wujud aseli Utusan Rama Pran-Soeh (istilah Jawa: walaka).  Kalau untuk mendapatkan jodoh memang sulit, tetapi kalau memang sungguh-sungguh dalam memohon kepada Rama Pran-Soeh, juga bisa, jodoh yang dari pemberian Rama Pran-Soeh, dapat pisah dan berkumpul tergantung tekad/keyakinan mereka berdua dalam memegang, menjalankan keyakinan mereka mematuhi perintah-perintah dan selalu ingat kepada Rama Pran-Soeh, sehingga sewaktu mereka reinkarnasi dapat bersatu menjadi suami-isteri lagi. Tetapi jika salah satu atau bahkan keduanya lupa tidak menyembah dan mematuhi perintah-perintah Rama Pran-Soeh, tidak bisa berkumpul kembali menjadi suami isteri atau dengan kata lain berpisah. Sewaktu keduanya ingat dan bertobat kepada Rama Pran-Soeh, kemudian menyembah dan setia serta taat melaksanakan perintah-perintah Rama Pran-Soeh, bisa kembali bersatu lagi sebagai suami isteri. Bagi keduanya tadi tidak cukup hanya ingat dan bertobat saja, tetapi harus bisa mencapai katam Ilmu Kasuksman Tiga Perangkat, sehingga pada saat ajal mereka tiba, suksma mereka dapat menghadap Utusan Rama Pran-Soeh (mati yang benar/sempurna). Bagi kadang golongan/murid-murid Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo yang belum katam, paling tidak agar mendekati kehendak Rama Pran-Soeh, kalau ingin mencari calon suami/isteri dapat memohon sendiri kepada Rama Pran-Soeh dan kalau mendapat petunjuk lewat mimpi, mimpinya diberitahu-kan kepada penyuluh atau orang yang sudah katam, atau bisa juga minta bantuan kepada orang yang sudah katam untuk memohonkan petunjuk dari Rama Pran-Soeh siapa yang sesuai dengan kehendak Rama Pran-Soeh diperkenankan menjadi pasangannya (suami/isterinya).

PEDOMAN MENCARI/MEMOHON PASANGAN HIDUP (JAWA: BOJO)

Mengenai jodoh, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, memang sulit atau tidak mudah menemukan/mencarinya, oleh karena itu pada umumnya lebih baik dan lebih mudah mencari pasangan hidup (Jawa: bojo) saja.  Pengertian umum menganggap bahwa bila seseorang memperoleh pasangan hidup (suami/isteri) itu memang sudah jodohnya, memang itu yang sudah menjadi kodrat kehendak Tuhan, sampai ada peri bahasa:”asam di gunung, garam di lautan bertemu di belanga,” padahal bila disaksikan di Alam Kasuksman/Alam Halus/Alam Sasmita-maya belum tentu pasangan itu adalah jodoh dari kodrat kehendak Tuhan, karena kalau jodoh dari kodrat kehendak Tuhan Allah (Rama Pran-Soeh), itu memang diciptakan  sudah berpasangan sejak awal mula dunia dan seisinya diciptakan, dan akan berpisah dan berkumpul tergantung pada kesetiaan pasangan tersebut dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan Allah (Rama Pran-Soeh). Oleh karena itu agar jelas dalam memperoleh keterangan mengenai mencari pasangan (suami /isteri), jangan hanya mendasarkan pada keterangan yang bersifat lahiriah, tetapi juga keterangan yang kita peroleh dari dunia roh di Alam Kasuksman/Alam Batin/Alam Halus/Alam Sasmita-maya. Sebelum dimohonkan keterangan secara batin kepada Rama Pran-Soeh, terlebih dahulu secara lahiriah sudah mempunyai sasaran siapa yang ditaksir, diselidiki terlebih dahulu terutama mengenai bibit, keturunan siapa, kalau bisa sampai kakek nenek buyutnya, bagaimana riwayatnya khususnya mengenai timbrah, apa ada yang mempunyai timbrah (sakit ayan, gila, bunuh diri, dsb.), kemudian bagaimana budi pekerti dan tingkah lakunya serta perbuatan-perbuatannya, kalau kita mencari isteri, bisa jadi wanita yang kita taksir itu tingkah lakunya sebenarnya nakal/tidak baik, setelah tahu ada yang naksir kemudian tingkah lakunya dipoles seperti gadis yang lugas-lugu. Oleh karena itu harus teliti benar, jangan hanya terpesona pada kecantikan wajahnya. Setelah diselidiki dengan seksama, baru memohon petunjuk kepada Rama Pran-Soeh; jangan bertindak keburu nafsu, baru menaksir seorang wanita, belum diselidiki dengan seksama terlebih dahulu sudah minta tolong kepada orang yang katam supaya dimohonkan petunjuk kepada Rama Pran-Soeh. Untuk memohon petunjuk kepada Rama Pran-Soeh, dalam bersembahyang mengajukan permohonan sebagai berikut:”Rama Pran-Soeh, wanita (pria) yang bernama .... (misalnya: X) anaknya ... (misalnya: Y), Rama Pran-Soeh perkenankan apa tidak untuk menjadi isteri/suami saya (kalau kita memohon untuk diri kita sendiri) atau menjadi isteri/suami si Y (bagi orang katam yang memohonkan calon pasangan untuk si Y).

PETUNJUK (MIMPI) YANG BERMAKNA RAMA PRAN-SOEH TIDAK BER-KENAN
Dalam mimpi melihat hewan atau tanaman yang tidak sejenis, misalnya: melihat sapi jantan dan kerbau betina, domba jantan dan kambing jawa betina, burung merpati jantan dan burung tekukur betina, pohon pisang berdampingan dengan pohon Kapuk/Randu, Pohon Kelapa berdampingan dengan pohon mangga, pohon jati berdampingan dengan pohon Mahoni, dan seterusnya.
Dalam mimpi tersesat di hutan, di pinggir laut, di jurang, di pasar, di alam yang gelap gulita, di tempat-tempat yang kotor, berjalan di sepanjang jalan hanya mengenakan celana pendek saja tanpa baju, berpakaian yang sobek-sobek, dan seterusnya intinya mengalami mimpi yang buruk atau tidak semestinya.


PETUNJUK (MIMPI) YANG BERMAKNA BAHWA RAMA PRAN-SOEH BERKENAN
Dalam mimpi melihat hewan atau tanaman yang sejenis, misalnya: melihat sapi jantan dan sapi betina, kerbau jantan dan kerbau betina, kambing Jawa jantan dan kambing Jawa betina, domba jantan dan domba betina, burung merpati jantan dan burung merpati betina, dua pohon pisang yang berdampingan, dua pohon Randu yang berdampingan, dua pohon kelapa yang berdampingan, dua pohon mangga yang berdampingan, dua pohon jati yang berdampingan dan seterusnya. Itu semua petunjuk yang berwujud gambaran atau pralambang, sedangkan petunjuk yang jelas yaitu bertemu dengan wanita/pria yang dimohonkan di alam yang terang dimana disitu terlihat cahaya Rama Pran-Soeh.
Di alam mimpi/Alam Kasuksman/Alam Sasmita-maya menerima perintah dari Utusan Rama Pran-Soeh dalam wujud aseli (walaka) atau dalam wujud tidak aseli (nglonthong), misalnya perintah tersebut:”Si X boleh menjadi suami/isterimu”, perintah yang jelas seperti ini dapat diartikan sebagai jodoh yang dari kodrat kehendak Rama Pran-Soeh. Permohonan mengenai jodoh, tidak selalu dapat perintah walaka, oleh karena itu perintah-perintah yang berwujud gambaran atau pralambang, meskipun bukan merupakan kodrat kehendak Rama Pran-Soeh, tetapi sudah diperkenankan menjadi suami/isteri (pasangan/teman hidup), diajak untuk berumah tangga.

SYARAT RUKUN PERKAWINAN/PERNIKAHAN HARUS MENGINGAT MASALAH INI:
a.       Antara pihak laki-laki dan pihak wanita harus bukan saudara satu ibu atau satu ayah, bukan  anak dengan ayahnya atau ibunya, bukan cucu dengan kakeknya atau neneknya. Syarat rukun ini harus dipatuhi untuk kesusilaan hidup, untuk membedakan kedudukan antara manusia dan hewan. Selain dari itu perlu untuk menjaga keteraturan dan ketenteraman keluarga, juga untuk mencegah timbulnya berbagai macam penyakit keturunan lebih-lebih yang disebabkan oleh darah yang kotor/tidak sehat dan mengandung penyakit.
b.      Kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) dengan kesucian hati mereka telah nyata-nyata sepakat atau satu kata dengan hati yang bulat untuk hidup bersama. Syarat rukun ini untuk menjaga jangan sampai terjadi perkawinan/pernikahan karena dipaksa (kawin paksa), hanya didikte oleh orang tua. Salah-salah bisa tidak langgeng perkawinannya, seandainya langgengpun tidak tenteram hidupnya, bahkan banyak yang merasa tersiksa.
Perkawinan yang terjadi karena kehendak dan pilihan mereka sendiri, yang timbul dari gerak hati yang suci, tidak dipaksa oleh orang lain, yang hanya menurut kehendak pasangan yang bersangkutan, dapat membuat perkawinannya abadi dan tenteram hatinya, meskipun tertimpa berbagai macam kesulitan/kesusahan di belakang hari kemudian tidak akan menyalahkan orang lain atau orang tuanya.
c.       Umur kedua-duanya (laki-laki dan perempuan) sudah dewasa, yang laki-laki minimal sudah berumur 20 (dua puluh) tahun dan yang perempuan minimal sudah berumur 18 (delapan belas) tahun. Syarat rukun ini untuk menjaga kesehatan keturunan dan kesehatan mereka sendiri. Bisa diibaratkan kalau kita menanam benih yang masih muda, ketika tumbuh tidak bisa subur dan lemah, mudah terserang hama penyakit, wanita yang belum dewasa kemudian harus menikah atau hidup berumah tangga, ketika mengandung dapat menyebabkan lemahnya daya tahan tubuhnya, hingga punya anak, anaknyapun juga akan memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Orang hidup berumah-tangga di belakang hari kemudian akan mempunyai tanggungjawab untuk mengurus rumah tangga, mengurus suami/isteri, mengurus anak, dan sebagainya, yang tidak hanya selalu mengandalkan orang tuanya; Kalau belum dewasa, belum cukup mempunyai pengertian atau pemahaman serta tanggungjawab dalam mengurus rumah tangga.
d.      Dua-duanya (laki-laki dan perempuan) tidak terikat dalam perkawinan atau belum bersuami/beristeri. Syarat rukun ini memberikan hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, saling menghargai; bagi kehidupan berumah-tangga (perkawinan), syarat ini menjadi dasar/fondasi utama agar kehidupan perkawinan dapat berjalan abadi dan selamat atau terpelihara. Syarat rukun ini untuk mencegah terjadinya poligami dan poliandri, karena perkawinan kita hanya menganut monogami (lihat Angger-angger Sebelas Larangan nomor dua).
e.       Sedapat mungkin baik dari pihak laki-laki maupun perempuan mendapat restu dan dukungan dari orang tua dan keluarganya yang menanggung hidup mereka tidak membedakan laki-laki ataupun perempuan, yang penting umurnya sudah dewasa dan sehat pikirannya.
Syarat rukun ini dipersyaratkan karena mengingat bahwa orang tua atau keluarga/ahli warisnya yang menanggung hidup mereka ikut memikul tanggungjawab agar anak mereka untuk seterusnya dapat hidup berkecukupan dan memperoleh ketenteraman  lahir dan batin sejak dimulainya perkawinan hingga waktu setelah selesainya perkawinan.
Meskipun demikian syarat rukun ini walaupun perlu tetapi tidak memaksa atau diharuskan, karena yang lebih penting itu adalah yang akan menjalani perkawinan tersebut.
f.   Memenuhi semua syarat yang ditentukan oleh pemerintah juga oleh pemimpin agama/ kepercayaan yang dianut untuk mengesahkan/melegalkan perkawinan tersebut. Semua syarat rukun perkawinan tersebut dimaksudkan agar dapat pelaksanaan perkawinan/pernikahan dapat berjalan dengan baik dan tertib sampai memperoleh tanda bukti yang kuat yaitu berupa akta perkawinan yang ditandatangani oleh kedua pengantin disaksikan oleh para tamu yang hadir.

3.      Kalau kita meneliti makna dan jiwa Angger-angger Sebelas, menyatakan pada kita bahwa perceraian itu tidak baik, kalau bisa menikah itu hanya sekali saja yang dapat bertahan selama-lamanya, sampai mempunyai anak, cucu, cucu buyut, dan seterusnya; meskipun demikian juga berkeyakinan bahwa dalam kehidupan berumah-tangga itu terjadi berbagai macam keadaan, adanya alasan yang kuat dan sangat perlu yang secara terpaksa menjadi penyebab terjadinya perceraian, oleh karena itu perceraian terpaksa diperkenankan apabila ada alasan yang benar-benar relevan dan kuat, seperti:
a.       Salah satu atau bahkan kedua-duanya melanggar Angger-angger Sebelas yang berarti tidak melaksanakan kewajiban dan melakukan larangan, ganti agama/pindah keyakinan, tidak mencintai anak-isteri/suami, berzinah, dan sebagainya.
b.      Merasa dibatasi sekali mengenai keinginannya, hanya selalu merasa kecewa dan tidak dapat mencapai keinginannya, sampai tidak mempunyai kebebasan atau tidak memperoleh kelonggaran dan sebagainya.
c.       Mengganggu kesehatan dirinya dan keturunannya. Mengenai hal ini mungkin salah satu atau bahkan kedua-duanya menderita penyakit keturunan/menular seperti: sakit ayan, gila, darah yang kotor atau tidak cocok satu sama lain, sakit paru-paru, dan penyakit lainnya yang apabila antara laki-laki dan perempuan tersebut berhubungan mengakibatkan penyakitnya kambuh dan mempercepat datangnya ajal.
d.      Mengganggu ketertiban dan ketenteraman masyarakat entah karena sering berteng-kar, bermusuhan, menjadi pencuri/penjahat, menjadi perampok, yang menjadikan pasangan dan keluarganya merasa sangat malu, merasa tidak enak dan khawatir diusir oleh masyarakat sekitar sebagai balasan atas perbuatan atau tingkah laku pasangannya (suami/isterinya).
e.       Sebab-sebab lainnya yang membuat merasa sangat dirugikan hidupnya karena keterikatan dalam perkawinan. Contohnya: laki-laki dan perempuan selalu saja bertengkar, saling cemburu, perkataan dan perbuatannya selalu dianggap salah, selalu terancam kematian, selalu sengsara, tidak bisa mempunyai keturunan, kehidupannya selalu kekurangan, selalu tidak tenteram hidupnya.

4.      Dengan mengingat sebab-sebab sebagaimana dijelaskan pada angka 3.a sampai dengan 3.e di atas, apabila salah satu atau kedua-duanya tidak dapat menerima, maka salah satu atau bahkan kedua-duanya mempunyai kewenangan untuk menceraikan atau minta diceraikan oleh pasangannya, serta sama-sama dengan kerelaan hati menceraikan atau diceraikan. Mengenai menceraikan dan diceraikan, antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan wewenang yang sama. Masalah perceraian itu merupakan urusan dan menjadi tanggungjawab sepasang suami-isteri, dapat terlaksana perceraian dan dapat pula tidak terlaksana/batal. Meskipun ada hal-hal penting yang dapat menjadi alasan terjadinya perceraian, namun apabila pasangan suami-isteri yang bersangkutan dapat menerima keadaan tersebut, maka perceraianpun dapat dihindari atau tidak terjadi. Orang tua atau ahli waris, pemimpin agama apalagi orang lain tidak dapat ikut campur tidak menerima keadaan yang dialami oleh sepasang suami isteri, lebih-lebih menceraikan. Orang yang dikhianati oleh pasangan (suami/isteri)-nya sehingga merasa dirugikan kebutuhannya mempunyai hak dan wewenang untuk menceraikan atau minta diceraikan yang bermakna memberikan kelonggaran bahkan seperti halnya memperi-ngatkan kepada pasangannya. Oleh karena hak dan wewenang antara pihak laki-laki dan pihak perempuan itu sama, maka tidak hanya laki-laki saja yang dapat menceraikan pasangannya, tetapi perempuanpun dapat menceraikan pasangannya, istilahnya adalah emansipasi wanita.

5.      Perkawinan jangan hanya karena mengharapkan harta benda, pangkat/jabatan yang tinggi, keturunan bangsawan, dan karena kastanya. Dapat terjadi anak orang miskin mendapat pasangan anak orang kaya, anak petani mendapat pasangan anak pejabat, anak orang kebanyakan/rakyat jelata mendapat pasangan anak bangsawan, Yang paling penting harus mendasarkan pada perintah/petunjuk Rama Pran-Soeh, maka peraturan perkawinan yaitu pernikahan dan perceraian ini dapat digunakan sebagai pedoman hidup agar dapat memperoleh ketenteraman hidup lahir dan batin. Mengenai perceraian, pada umumnya di dalam peraturan perkawinan yaitu pernikahan dan perceraian ini tidak menyetujui adanya perceraian.

Seperti yang kita ketahui, pada umumnya orang yang sudah bercerai, entah itu cerai mati atau cerai hidup, mempunyai keinginan untuk menikah lagi, hal itu juga diperke-nankan tetapi wajib mengingat hal-hal sebagai berikut:
1)      Orang-orang yang pada bercerai diharapkan agar dapat rujuk kembali, menikahi mantan isteri/suaminya lagi, karena yang penting dari keluarga itu jangan sampai terlanjur putus dan terpisah dengan anak keturunannya, juga mengenai harta benda-nya. Oleh karena itu mengenai masalah rujuk, persyaratannya dibuat lebih mudah daripada menikah dengan orang lainnya/bukan mantan pasangannya sendiri. Demikian juga tidak dibatasi berapa kali haknya untuk rujuk dengan mantan pasangannya tadi, meskipun demikian harus selalu mematuhi peraturan perkawinan yaitu pernikahan dan perceraian juga selalu mengingat kesusilaan dan budi pekerti yang luhur.
2)      Diharapkan dapat rujuk kembali setelah surat cerai sudah berlaku paling sedikit tiga puluh hari.
3)      Bagi laki-laki yang ditinggal mati isterinya yaitu cerai mati, dapat menikah lagi setelah seratus sepuluh hari dari tanggal kematian isterinya. Demikian juga bagi wanita yang ditinggal mati suaminya, apabila tidak sedang mengandung dapat menikah lagi setelah seratus sepuluh hari dari tanggal kematian suaminya, sedangkan apabila sedang mengandung harus setelah melahirkan (lahir hidup atau mati) dan bayi sudah berumur seratus sepuluh hari.
4)      Untuk cerai hidup, wanita yang tidak sedang mengandung dapat menikah lagi setelah surat cerai sudah berlaku paling sedikit sembilan puluh hari, hal ini berlaku juga bagi laki-laki. Bagi wanita yang sedang mengandung harus setelah melahirkan (lahir hidup atau mati) dan bayi sudah berumur seratus sepuluh hari.  Hal ini penting untuk menentukan garis keturunan ayah, juga mengingat tata kesusilaan hidup.
5)      Almarhum Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo memperkenankan pacaran antara calon pengantin pria dan wanita, tetapi tidak mengharuskan. Diperkenankan berpacaran karena memang ada manfaatnya, juga tidak mengharuskan karena ada hal-hal yang kurang baik. Waktu berpacaran dapat digunakan untuk mencermati dan meneliti watak dan budi pekerti masing-masing, dapat memupuk rasa cinta kasih sayang antara keduanya yang sangat penting untuk hidup bersama di kemudian hari. Sedangkan hal yang kurang baik yaitu sering terjadi perbuatan yang melanggar kesusilaan serta kalau tidak jadi menikah akan merugikan kedua-duanya atau semuanya. Berpacaran diperkenankan, selama dua-duanya mematuhi atau menjaga kesuciannya dan orang tua ketat mengawasi/menjaganya, sebaiknya masa berpacaran jangan kelamaan. Selain dari itu Rama Panutan juga memperkenankan kebiasaan yang terjadi dimanapun sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perkawinan yaitu pernikahan dan perceraian ini, juga tidak mendasarkan keyakinan/kepercayaan agama apa saja. Misalnya: tukar cincin, ikut iuran untuk biaya perkawinan, emas kawin, peningset, dan sebagainya. Tetapi jika ada cara-cara yang berbeda yaitu hak yang sama antara pihak laki-laki dan perempuan dilanggar, itu tidak diperkenankan. Orang laki-laki numpang hidup pihak perempuan, pihak laki-laki harus membayar harga beli dengan nilai tertentu, dan lain-lainnya yang menggambarkan adanya salah satu pihak yang merasa dipaksa yang tanpa memenuhi syarat tersebut perkawinan menjadi batal, hal tersebut tidak menjadi perkenan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo. Rama Panutan mengatakan bahwa hidup berumah tangga itu bukan kehendak salah satu pihak tetapi kehendak dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) semuanya mensyaratkan emas kawin, pemberian dan harga beli yaitu Angger-angger Sebelas. Meskipun demikian Beliau terpaksa memperkenankan, untuk memuaskan kedua belah pihak, untuk mengadakan perjanjian sendiri sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan syarat rukun perkawinan. Perjanjian tersebut perlu untuk mendekatkan keadaan lahiriah yang sangat berbeda.

6.      Rama Panutan memperingatkan dan sangat menekankan serta memerintahkan sampai ditulis dalam Surat Wasiyat Beliau, yaitu melarang adanya IJAB ROH, Ijab Roh itu adalah pernikahan yang mana mempelai wanita sedang mengandung; setelah pernikahan wanita tersebut tidak menjadi isteri mempelai pria karena yang disahkan hanya roh bayi yang dikandung oleh wanita tadi, nantinya kalau bayinya lahir mati atau hidup diakui sebagai anak mempelai pria. Pernikahan yang mana si wanita sudah mengandung  lebih dahulu sama artinya dengan mengijinkan perbuatan zina yang sangat dikutuk dan dihukum lahir dan batin oleh Rama Pran-Soeh, oleh karena itu menjadi peringatan baik bagi laki-laki maupun wanita agar jangan sampai melanggar Angger-angger Sebelas Larangan nomor satu: berbuat zina. Kalau akan berumah-tangga sedapat mungkin mencari pasangan orang yang mempunyai keyakinan yang sama, kalau terpaksa tidak berhasil mendapatkan, berbeda keyakinan juga diperkenankan tergantung tekad yang akan menjalani, kalau berbeda keyakinan/agamanya agar tidak mengorbankan keyakinannya perkawinannya agar diproses di Pengadilan Negeri. Yang penting untuk diingat dan diperhatikan, kalau berumah tangga harus dengan orang yang percaya kepada Tuhan Allah (Rama Pran-Soeh). Kita semua menjadi warga negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Sila pertama menyebutkan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kadang golongan harus percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa.

HAL UNTUK MENGINGATKAN:

Peraturan mengenai perkawinan yaitu pernikahan dan perceraian ini harus benar-benar dipatuhi/dilaksanakan, jangan dilanggar, kalau melanggar berarti sama saja dengan tidak setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya, sebaliknya bila mematuhi dan melaksanakannya dengan baik berarti setia dan taat kepada Rama Pran-Soeh dan UtusanNya, yang membuat kita memperoleh ketenteraman hidup lahir dan batin.








***A***
BAB  XXXVI
PERATURAN  MENGUASAI  HARTA KEKAYAAN DAN PEMBAGIAN WARISAN


1.      Kita harus mengingat peraturan atau pedoman hidup di dunia ini, jangan meninggalkan, dan harus selalu ingat adanya, Angger-angger Sebelas, kita semua tidak boleh hanya mementingkan kebutuhan diri sendiri yang selalu ingin enaknya saja, tetapi juga harus ingat tanggungjawab kita kepada orang lain. Dalam Angger-angger Sebelas  sudah dijelaskan pada bagian kewajiban, yaitu harus mencintai dan mengasihi orang tua,  anak, keluarga, sesama, juga diwajibkan untuk memiliki budi yang luhur, bersikap adil dan berbelas kasihan serta dilarang berbudi nakal dan nista. Pada saat kita memperoleh rejeki yang lumayan/banyak, bisa memiliki harta kekayaan/harta benda, harus memuji dan bersyukur kepada Rama Pran-Soeh, karena telah dianugerahi kehidupan yang lumayan lebih baik dari orang lain, jangan kemudian malah lupa kepada yang memberi anugerah, meskipun harta benda/ kekayaan tersebut memang hasil dari kerja keras kita, karena rajin bekerja sampai bisa mencukupi semua kebutuhan kita. Kita semua hanya harus selalu menyadari bahwa kita ini hanya digerakkan dan ditentukan oleh kekuasaan Rama Pran-Soeh, hanya sekedar menjalani, meminjam/mengelola titipan semua yang kita miliki, termasuk juga hidup kita ini sebenarnya hanya meminjam untuk kita kelola, bukan milik kita. Manusia hidup di dunia ini dikuasai, diatur, dilindungi, diayomi oleh pemerintah; juga memperoleh bantuan dan pengaruh dari orang tua, anak, keluarga, dan masyarakat umum. Harta kekayaan kita tidak lepas dari penjagaan dan per-lindungan pemerintah/negara kita. Harta kekayaan kita ada yang berasal dari pemberian orang tua, atau yang berasal dari hasil kerja kita bersama-sama dengan anak dan suami/isteri, keluarga, serta dengan tetangga kita. Untuk memiliki harta kekayaan, jangan sampai bertindak yang kasar dan tidak benar atau tidak baik, jangan sampai memperoleh kekayaan dengan cara bertindak nakal dan nista, hal itu menjadi larangan dalam Angger-angger Sebelas, jadi harus berbuat yang benar dan dengan cara yang baik.  Manusia hidup di dunia ini, pada umumnya mengharapkan atau mencita-citakan dapat hidup enak, berkecukupan dan aman, tetapi kita hanya tergantung pada kehendak dan pemberian Rama Pran-Soeh. Meskipun demikian kita tidak boleh bersikap masa bodoh, tetap harus berusaha semaksimal mungkin; mengenai kaya dan miskin itu sudah menjadi nasib masing-masing orang. Ada perkataan “siapa punya niat akan bisa meraihnya”, itu memang benar, manusia mempunyai tujuan apa saja, semua yang tersedia di muka bumi dan di bawah langit ini dapat digunakan atau dimanfaatkan, sebagai contoh: membuat pesawat terbang, kapal laut, satelit, komputer, robot, senjata nuklir dan sebagainya. Orang yang cerdas otaknya, tinggi intelegensinya, terkadang malah lupa memikirkan dan memperhatikan keadaan selain yang ada di dunia fana ini, yaitu alam halus (alam kubur dan akherat) tidak pada berusaha untuk menyaksikan kenyataannya.

2.      Di dalam Angger-angger Sebelas, kita semua diwajibkan untuk rajin bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian kita dan kebutuhan sewaktu-waktu kita, seperti: biaya menyekolahkan anak-anak kita, pengeluaran untuk kepentingan sosial/umum, biaya ke dokter atau rumah sakit sewaktu kita sakit, biaya menikahkan anak kita, dan sebagainya.
Kita sudah diberi kemurahan oleh Tuhan Allah (Rama Pran-Soeh),  diberi kewenangan untuk menguasai/memiliki kekayaan/harta benda, dengan mengingat:
a.     Untuk persembahan di Bale Suci, dengan landasan mengingat perintah almarhum Rama Panutan.
b.     Jangan merasa tidak ikhlas kalau negara/pemerintah mengambil kekayaan/harta benda kita untuk kepentingan memperkuat negara sepanjang dilakukan dengan cara yang adil.
c.     Jangan sampai menggunakan kekayaan/harta benda kita untuk membuat sengsara orang lain atau masyarakat, untuk bersenang-senang, untuk mengumbar hawa nafsu, itu namanya pemborosan, harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

3.      Banyak orang yang gila harta, siang malam yang dipikirkan hanya bagaimana agar kekayaan/harta bendanya bertambah banyak, sampai lupa sama sekali kepada yang memberi kekayaan tersebut, tidak memikirkan apa yang akan terjadi di belakang hari kemudian pada saat ajal agar suksmanya dapat berada di tempat yang benar (mati yang benar/sempurna). Bahkan banyak orang yang berkelahi/bentrok memperebutkan harta warisan, ada yang sampai berperkara di pengadilan, ada juga yang berkelahi sampai meninggal dunia. Untuk mengingatkan kepada anak cucu kadang golongan agar jangan bertindak seperti itu, Rama Panutan mengatakan:”Harta dunia itu hanya kecil sekali bila dibandingkan dengan kasuksman atau hidup abadi!”. Selain itu, Rama Panutan juga memberi perintah jangan sampai harta warisan orang tua menjadi rebutan/pertengkaran, agar dapat dibagi sendiri secara adil dan beres/selesai, yaitu tanpa diadili oleh pihak lain, dapat selesai dengan hati yang ikhlas menerima, puas, dan sama-sama dapat menerima hasil pembagiannya. Sesungguhnya yang dimaksud adil itu bukan harta warisan itu dibagi sama banyaknya, tetapi yang dimaksudkan adalah agar yang sudah kaya (berkecukupan memiliki harta benda) itu mengingat/menyadari saudaranya yang miskin/melarat agar diberi bagian yang lebih, tetapi bukan karena permintaan si miskin melainkan dari hasil musyawarah/kesepakatan bersama, dengan hati yang ikhlas/rela dan lega, tidak mempermasalahkan dalam hati sendiri (Jawa: grundelan) di belakang hari kemudian.

4.      Untuk mencegah/menjaga/mengatasi orang yang berwatak nakal dan nista, terlalu besar keinginannya untuk menguasai harta warisan, hanya menuruti hawa nafsu, angkara murkanya, dan agar teraturnya wewenang memiliki/menguasai kekayaan/harta benda, juga agar dapat diselesaikannya pembagian harta warisan dengan baik pada saat terjadi perceraian (cerai hidup atau cerai mati), Rama Panutan memberikan nasehat-nasehat yang berarti menjadi peraturan bagi kita semua, seperti yang dijelaskan berikut ini:
a.       Mengenai kekayaan/harta benda ada yang dimiliki/diperoleh sesudah menikah, ada juga yang diperoleh sebelum menikah baik dari pihak laki-laki maupun wanita, sedangkan asal kekayaan tersebut ada yang berasal dari hasil kerja sendiri dan ada pemberian dari orang tua. Harta kekayaan yang dibawa oleh pihak laki-laki (suami) dalam bahasa Jawa disebut “gono”, sedangkan yang dibawa oleh pihak wanita (isteri) disebut “gini”. Harta kekayaan yang diperoleh selama dalam/menjalani perikatan perkawinan, entah itu diperoleh oleh isteri atau oleh suami atau oleh kedua-duanya disebut harta “gono-gini”. Harta gono-gini itu menjadi hak dan wewenangnya dua orang yaitu suami dan isteri. Pemberian harta kekayaan yang diterima salah satu (suami atau isteri) selama menjalani perikatan perkawinan, itu juga merupakan harta gono-gini, kecuali pemberian itu memang khusus ditujukan kepada salah satu (suami atau isteri).
b.      Harta benda yang dibawa oleh pihak laki-laki (gono) dan harta benda yang dibawa oleh pihak wanita (gini) harus diingat-ingat atau dicatat lebih baik lagi kalau diminta saksi-saksi untuk menyaksikan harta benda tadi atau dibuat perjanjian pra-nikah. Selain dari itu apabila ada pernikahan yang mana salah satu atau kedua-duanya sudah mempunyai anak (duda dan janda); selain harta kekayaan bawaan suami atau isteri, harta kekayaan yang menjadi hak dan wewenang anaknya juga harus diingat-ingat dan dicatat, lebih baik lagi kalau diskaksikan oleh yang berwenang. Demikian juga perjanjian-perjanjian yang diperkenankan dalam peraturan perkawinan mengenai harta kekayaan sebelum pelaksanaan perkawinan (perjanjian pra-nikah). Perjanjian-perjanjian dan pencatatan harta kekayaan yang disaksikan oleh yang berwenang tersebut perlu dibuat agar apabila perkawinan dapat berlangsung hingga ajal menjemput dapat digunakan sebagai dasar untuk pembagian harta warisan.
c.       Harta kekayaan bawaan suami (gono) dan harta kekayaan bawaan isteri (gini) disatukan (dilebur menjadi satu) apabila dari perkawinan tersebut melahirkan anak (mempunyai keturunan), atau meskipun belum mempunyai anak (keturunan) tetapi umur perkawinan sudah mencapai paling sedikit tiga tahun. Demikian juga perjanjian mengenai harta kekayaan batal/dibatalkan/dianggap tidak ada, apabila dari perkawinan tersebut melahirkan anak (mempunyai keturunan), atau meskipun belum mempunyai anak (keturunan) tetapi umur perkawinan sudah mencapai paling sedikit tiga tahun. Selanjutnya harta kekayaan yang sudah disatukan tersebut menjadi hak/milik berdua (suami dan isteri) serta anak-anak mereka.
d.      Harta kekayaan yang menjadi hak wewenang anak bawaan salah satu atau kedua-duanya tidak boleh dijadikan satu (dilebur menjadi satu) dengan harta kekayaan milik suami dan isteri yang bersangkutan.  Anak bawaan isteri menjadi anak tiri dari suami, sedangkan anak bawaan suami menjadi anak tiri dari isteri.
e.       Harta kekayaan yang diperoleh setelah perkawinan (gono-gini) menjadi hak wewenang berdua (suami dan isteri) serta anak-anaknya.
f.        Mengenai hak dan wewenang memiliki harta kekayaan antara laki-laki dan wanita (bapak-ibu) serta anak-anak mereka, tidak membedakan laki-laki dan perempuan, anak bungsu dan anak sulung hak wewenangnya sama.
g.       Begitu juga hak anak yang masih dalam kandungan sama dengan hak saudara-saudara lainnya.
h.       Anak angkat yang syah juga memiliki hak yang sama dengan anak-anak kandung mereka sendiri. Sedangkan cara mengangkat anak harus dengan cara-cara yang diatur oleh peraturan perundang-undangan sehingga syah secara hukum dan sedapat mungkin mendapat persetujuan dari anak-anak mereka.
i.         Anak tiri tidak boleh mencampuri juga tidak mempunyai hak wewenang atas harta kekayaan orang tua tirinya (bapak tiri atau ibu tiri), meskipun demikian orang tua (bapak tiri atau ibu tiri) diwajibkan mencintai dan ingat pada anak tirinya bahkan sedapat mungkin disahkan menjadi anak angkat yang selanjutnya mempunyai hak wewenang  yang sama dengan anak kandungnya.
j.        Hak wewenang tiap-tiap anak atas harta kekayaan orang tuanya yang dibagi-bagi yaitu setengah bagian hak wewenang ayah atau setengah bagian hak wewenang ibunya.
k.      Kalau ada orang yang menikah tidak mempunyai anak, padahal umur perkawinannya belum genap tiga tahun kemudian bercerai yaitu cerai hidup, maka harta kekayaan bawaan masing-masing kembali lagi yaitu gono kembali kepada suami dan gini kembali kepada isteri. Bila ada harta kekayaan yang hilang atau berkurang nilainya apalagi rusak, harus diganti oleh kedua belah pihak dengan pembagian yang sama. Sedangkan harta gono-gini yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama masa perikatan perkawinan dibagi dua sama. Jika ada perjanjian mengenai harta kekayaan antara pihak laki-laki dan wanita, karena tidak batal/tetap berlaku, maka harus dipatuhi.
l.         Kalau ada orang yang menikah dan umur perkawinannya sudah genap tiga tahun atau lebih, kemudian bercerai (cerai hidup), kalau tidak memiliki anak, maka semua harta kekayaan mereka baik bawaan maupun gono-gini dibagi dua sama antara pihak laki-laki (suami) dan pihak wanita (isteri), sedangkan kalau memiliki anak, maka  anaknya juga memperoleh bagian. Pembagian untuk suami dan isteri sama banyaknya, sedangkan untuk setiap anaknya adalah sama dengan setengah bagian bapaknya atau setengah bagian ibunya.
m.     Kalau ada orang yang menikah, yang mana salah satu meninggal dunia (cerai mati), padahal mereka belum mempunyai anak dan usia perkawinan belum genap tiga tahun, maka harta gono (bawaan laki-laki) kembali kepada pihak laki-laki dan harta gini (bawaan wanita) kembali kepada pihak wanita, sedangkan harta gono-gini dibagi dua sama diterimakan kepada yang masih hidup, sedangkan harta kekayaan untuk pihak yang meninggal dunia diserahkan kepada orang tuanya atau ahli warisnya.
n.       Kalau ada suami isteri, yang mana salah satu dari mereka meninggal dunia (cerai mati), laki-laki atau wanita, padahal mereka sudah mempunyai anak dan usia perkawinan mereka sudah genap tiga tahun, maka semua harta kekayaannya  dibagi untuk yang masih hidup, yang meninggal dunia dan untuk anak-anak mereka dengan perbandingan menurut hak wewenangnya (untuk suami setengah bagian, isteri setengah bagian dan anak-anak setengah bagian dari bagian suami atau isteri). Sedangkan bagian untuk yang meninggal dunia diberikan dan dibagi sama rata untuk semua anak-anaknya (anak bawaan maupun anak dari hasil per-kawinan tersebut). Sedangkan untuk orang tua/ahli waris yang meninggal dunia sebagai tanda cinta kasih yang terakhir adalah setengah dari bagian seorang anak dan bagian dari yang masih hidup (suami/isteri).
o.      Kalau ada suami isteri yang dua-duanya meninggal dunia bersamaan, pembagian harta kekayaan/warisannya yang berhak membagi dan menerima bagian warisan juga anak-anaknya dan orang tuanya/ahli waris dari yang meninggal dunia dengan hak wewenang seperti yang telah dijelaskan di atas. Yang perlu diperha-tikan mengenai suami-isteri yang meninggal dunia bersamaan adalah mempunyai anak/keturunan atau tidak, usia perkawinan sudah genap tiga tahun atau belum, mempunyai anak bawaan dan anak angkat atau tidak; Itu semua untuk keperluan pembagian harta gono, gini dan gono-gini, harta kekayaan sudah dipersatukan (dilebur) atau belum, pembagian pertama, kedua dan seterus-nya agar dapat membuat puas semuanya.
p.      Harta kekayaan yang dibagi karena ditinggal mati (cerai mati), atau harta kekayaan yang diwariskan, yaitu harta kekayaan setelah dikurangi biaya-biaya untuk mengurus jenazah, sejak waktu meninggalnya hingga tiga ratus tiga puluh hari setelah saat itu. Jadi jangan sampai biaya-biaya untuk mengurus jenazah dibebankan/menggunakan bagian harta kekayaan hak wewenang yang meninggal dunia, karena selain tidak etis, kalau demikian halnya, apabila yang meninggal dunia tidak memperoleh bagian, dapat terjadi pengurusan jenazahnya tidak dilaksanakan. Harus selalu diingat bahwa pengurusan jenazah orang mati itu menjadi tanggungan/kewajiban suami/isterinya, anak-cucunya, ayah-ibunya, dan ahli warisnya.
q.      Pada prinsipnya, pembagian harta warisan itu setelah selesainya peringatan, sembahyangan ruwat yang terakhir, yaitu setelah tiga ratus tiga puluh hari setelah meninggalnya yang bersangkutan. Tetapi sebenarnya kalau sampai kelamaan seperti itu, dikhawatirkan adanya harta warisan yang berkurang, hilang dan sebagainya yang dapat menimbulkan kecurigaan dan lain-lainnya yang mengakibatkan keruwetan di belakang hari kemudian. Sebaliknya kalau terlalu dekat dengan hari kematiannya, juga tidak etis dan dirasa memalukan; Oleh karena itu, kecuali ada hal-hal yang sangat penting, pembagian harta warisan orang yang meninggal dunia ditetapkan setelah seratus sepuluh hari sejak saat meninggalnya orang tersebut, sebab waktu seratus sepuluh hari tersebut dipandang sudah cukup untuk mengurus harta warisan juga cukup untuk mengurus kebutuhan orang yang meninggal dunia.
r.        Tentu saja pelaksanaan pembagian harta kekayaan/warisan setelah semua kewajiban/utangnya dilunasi terlebih dahulu, kalau belum dilunasi harus diperjanjikan dahulu siapa yang akan melunasi kewajiban/utang orang yang meninggal dunia tersebut, tentu saja bagian warisannya dilebihkan dari yang lain. Kalau orang tua yang meninggal dunia mempunyai utang, padahal harta kekayaan/warisannya tidak cukup untuk melunasi utangnya, padahal ada tanda bukti yang sah, maka anak-anaknya berkewajiban untuk melunasi hutangnya, hal itu penting untuk meluhurkan dan menjaga nama baik orang tuanya, juga sebagai tanda bakti dan cinta-kasih kepada orang tuanya.
s.       Orang yang bercerai dan sudah mempunyai anak, padahal harta kekayaannya sudah dibagi sekalian, anak-anak nya juga sudah menerima bagiannya sekalian, orang tua (ayah dan ibu) harus tetap bertanggungjawab atas anak-anaknya, karena yang dicerai itu pasangannya (suami/isterinya) bukan anak-anaknya, anak-anak tetap menjadi anaknya selama-lamanya.

5.      Rama Panutan memberikan nasehat-nasehat mengenai pembagian harta warisan itu khusus hanya ditujukan untuk/kepada kadang-golongan/murid-muridNya. Kita semua tahu bahwa dalam satu keluarga itu mungkin tidak semua menjadi murid Rama Panutan. Jadi sangat mungkin terjadi bahwa kita membagi harta warisan kepada anak-anak yang tidak satu keyakinan atau kepada sanak saudara yang berbeda kepercayaannya. Mengenai hal ini, Rama Panutan memberi nasehat-nasehat tambahan sebagai berikut:
a.     Kalau kita (murid-murid Rama Panutan) membagi harta warisan kepada anak-anak kita semua, meskipun ada anak yang berbeda keyakinannya, harta kekayaan kita (gono-gini), hasil dari bekerja dan berusaha selama kita terikat dalam perkawinan, sedangkan anak, dari cinta kasih orang tua kepada anak, termasuk juga anak yang masih dalam kandungan saja menerima pembagian yang sama. Harta kekayaan kita dapat kepada siapa saja yang kita pandang perlu untuk kita berikan, meskipun kepada orang lain sekalipun, dengan hati yang ikhlas memberikan harta kekayaan kita. Kadang-golongan kita kalau membagi hak wewenangnya kepada anak yang berbeda keyakinannya, tidak berarti memaksakan keyakinannya kepada anak-anaknya. Yang penting orang tua harus bertindak adil, kedudukan sebagai orang tua tidak boleh membeda-bekakan anak atau pilih kasih.
b.     Kadang-golongan yang bersama dengan saudaranya yang berbeda keyakinan akan membagi harta warisan orang tuanya wajib dibicarakan dan dimu-syawarahkan dengan baik-baik, ingatlah bahwa kalian bersaudara, tidak boleh membeda-bedakan keyakinan. Contoh yang terjadi sudah banyak bahwa pembagian harta warisan menimbulkan putusnya tali persaudaraan, ada yang sampai lupa akan adanya hubungan saudara, tega atas kematian saudaranya. Semua kadang-golongan tidak boleh serakah, tidak bertindak adil, bertindak nakal dan nista, lebih-lebih sampai memulai memunculkan persoalan yang mengakibatkan pertentangan antar saudara. Kita harus mengendalikan nafsu serakah kita, tidak boleh bernafsu menguasai harta warisan orang tua, artinya tidak menginginkan harta itu untuk diri kita sendiri, semua saran kita agar dapat diterima dan disetujui oleh semua saudara kita. Apabila kesepakatan dari musyawarah tersebut tidak dapat dicapai/tidak menemukan titik temu, sebaiknya masalah tersebut diserahkan kepada pemerintah/pengadilan agar diatur yang seadil-adilnya. Hendaknya selalu diingat: sedapat mungkin jangan sampai berperkara mengenai harta warisan, karena selain memalukan juga akan merenggangkan hubungan persaudaraan kita. Yang menang dan yang kalah belum tentu memperoleh ketenteraman hidup dari harta warisan tersebut.

6.      Untuk mencegah berbagai macam kejadian yang dapat mengakibatkan anak cucu, dan saudara-saudar kita bermusuhan, berkelahi dan berperkara mengenai pembagian harta warisan, sebaiknya orang tua ketika masih hidup membagi harta warisan terlebih dahulu atau meninggalkan surat wasiyat yang menjelaskan mengenai pembagian harta warisan kepada semua anak-anaknya; Hal itupun tidak menjamin dapat terlaksananya pembagian harta warisan dengan baik, sebab dapat saja terjadi ada seorang anak yang jelek wataknya, serakah, menginginkan memperoleh bagian harta warisan yang paling banyak kemudian merusak atau membakar surat wasiyat tersebut. Harus ingat contoh yang diberikan oleh Rama Panutan, sebelum wafat Beliau sudah membagi harta warisanNya kepada anak-anakNya

7.      Pada saat ada orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan harta kekayaan yang mana tidak ada yang berhak atas harta kekayaannya tersebut, karena tidak punya keturunan, orang tua dan saudara-saudaranya serta ahli waris lainnya semua sudah tidak ada, setelah diumumkan selama lima tahun oleh pemerintah, ternyata tidak ada yang menyatakan diri sebagai ahli warisnya, maka harta kekayaan tersebut menjadi hak wewenang sebagai berikut:
a.     Sepertiga bagian menjadi hak wewenang orang yang mengurus harta kekayaan tadi.
b.     Sepertiga sebagai persembahan di kotak persembahan Bale Suci.
c.     Sepertiga menjadi hak wewenang pemerintah.

Pelaksanaan pembagian harta kekayaan tersebut agar berjalan dengan baik dan adil diserahkan kepada pemerintah.





















***A***
BAB  XXXVII
PERINTAH-PERINTAH DARI RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO KEPADA PRIBADI MURID-MURIDNYA DAN UMUM YANG DITUJUKAN UNTUK KADANG GOLONGAN/PARA MURIDNYA


1.      KEPADA PRIBADI MURID-MURIDNYA
a.     Sdr. Martaradana, Ngleri, Playen, Gunungkidul, Yogyakarta, demikian:
“Sepeninggal Saya, kalau pada rindu kepada Saya, lama tidak bertemu Saya, fotoKu yang besar memegang bunga dan mengenakan keris, yang diambil di rumahmu Ngleri, ditangisi, mohon bertemu hidupnya foto”.

b.     Sdr. Poedjosoewito, Jeruk, Kepek, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, demikian:
-         “Kalau pada gelap hatinya, bertapalah seperti pada zaman Nabi Musa, sembahyang menghadap ke arah timur laut (di luar rumah), memandang/ menatap  bintang yang paling besar, kepalanya agak miring ke kiri, sembari menyampaikan permohonan: Rama Pran-Soeh, Saya mohon sinar terang Paduka Rama Pran-Soeh (saya mohon diberikan sinar terang Paduka Rama Pran-Soeh)”.
-         “Nak Poedjo, di sebelah barat sumurmu sudah saya gunakan untuk petak (bermeditasi), dapat digunakan sebagai syarat bagi yang kurang Utusan dan membutuhkan ketenteraman.”
-         “Nak Poedjo, jika di dunia ini ada nak Poedjo dua, agama bisa jadi.”

c.     Sdr. Martosoewito, Semanu, Wonosari, Gunungkidul, Yogya­karta.
Ketika Rama Panutan sedang berada di Semanu dan menginap di rumah Sdr. Martosoewito, pagi-pagi, dari bangun tidur Beliau pergi ke dapur kemudian duduk di depan pintu keluar yang menghadap ke timur tepat di depan kolam, setelah melihat di sebelah utara kolam, kemudian berkata:”Nak Marto, itu lho di sebelah utara kolam, jika dibuat sumur dangkal sekali, tujuh meter saja sudah keluar airnya.”

d.     Sdr. Martosoeyitno, Ngleri,  Playen, Wonosari, Gunung­kidul, Yogyakarta, demikian:
“Nak Yitna, kalau ada pancabaya atau huru-hara, harus ingat kepada RPS. Satrosoewignyo, serta mengucapkan "Panca-baya" bunyinya demikian:”Panca-baya saka wetan, tinulak bali mangetan, tunggangane sapi rutih, kalungana kala-cakra, rajah iman slamet, slamet saka karsane Rama Pran-Soeh, Rama Pran-Soeh sesembahan kawula, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignyo Panutan kawula.” (Terjemahannya kurang lebih demikian: Lima bahaya datang dari timur ditolak kembali ke timur, mengendarai sapi putih, kalungkan kala-cakra, rajah iman selamat, selamat karena kehendak Rama Pran-Soeh, Rama Pran-Soeh sesembahan saya, Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo, Panutan saya)
Ketika mengucapkan Panca-baya menghadap ke timur, kemudian menghadap ke selatan,  ke barat, ke utara, ke atas dan ke bawah. Mengucapkan kalimat Panca-baya tersebut cukup sekali saja menghadap ke timur seperti tersebut di atas.

e.     Sdr. R. Hardjosoedarmo, Batang, Sleman, Yogyakarta, demikian:
-         “Kalau menanam tembakau, mulai bulan Juni tanggal 15 sampai dengan 27; Kalau menanam padi di musim ketiga mulai bulan Mei tanggal 15 sampai dengan 27.”
-         “Indikator nabi itu banyak, yang menjadi Utusan Tuhan Allah tidak banyak, indikator Utusan Tuhan Allah itu mempunyai mukjizat dan membawa Ilmu Tiga Perangkat. Meskipun indikator ada yaitu mempunyai mukjizat seperti halnya Nabi Sulaeman yang dapat berbicara dengan hewan atau binatang, tetapi tidak membawa Ilmu Tiga Perangkat, pasti tidak dapat menimbulkan agama; Kalau wali yaitu Sunan Kalijaga, punya mukjizat Minyak Jayeng Katon, tetapi tidak membawa Ilmu Tiga Perangkat, maka tidak menimbulkan agama, hanya meneruskan agama Islam.”

f.       Sdr. Sudadya, Semanu, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, demikian:
“Kalau berhubungan badan/sexual dengan isteri, jangan dilakukan di siang hari. Hal ini akan melemahkan anak keturunan dalam hal fisik maupun batinnya.”

g.     Sdr. R. Suromujono, Penamping, Kl. Gowongan, Kc. Jethis, Yogyakarta, demikian:
-         “Jangan takut kepada bangsa jin, setan, makhluk halus, sebab ratunya sudah Saya kalahkan!”
-         “Kalau masuk ke Astana Waja: pertama, bersembahyang, kedua, tangan kanan menapak lantai, kemudian pantat baru duduk.”

2.      PERINTAH KEPADA SEMUA MURIDNYA, demikian:
1)    Tidak boleh menjadi rentenir atau meminjamkan uang dengan memungut bunga.
2)    Tidak boleh menjadi kusir kereta kuda (andong) dan atau kusir kereta sapi (gerobak)
3)    Tidak boleh memelihara babi dan bebek
4)    Tidak boleh makan sambil berjalan
5)    Tidak boleh difoto tertawa atau kelihatan giginya
6)    Tidak boleh tertawa terbahak-bahak
7)    Tidak boleh minum menggunakan tangan kiri, kecuali orang kidal.
8)    Tidak boleh berprofesi sebagai jagal/penyembelih binatang.
9)    Tidak boleh mempunyai pekareman
10)  Tidak boleh memelihara jenggot
11)  Kalau bisa membangun rumah, meskipun rumah gedung, harus menggunakan tiang ada yang dari bahan kayu
12)  Pintu masuk kamar tidur harus ada simbol A dengan tujuh buah panah yang mengarah pada simbol A tersebut, seperti gambar di bawah ini:
13)  Kalau akan naik ke tempat tidur, harus pantatnya terlebih dahulu yang duduk di tempat tidur, tidak boleh kakinya lebih dulu yang naik, karena tempat tidur adalah tempat bersemedi (bersembahyang).
14)  Mulai hari Selasa Kliwon sampai dengan Jum’at Pon, agar melaksanakan puasa mutih (makan makanan yang tanpa garam).
15)  Kalau memberi nama kepada anak, dengan pedoman huruf Jawa, jangan dimulai dengan huruf Ma, Ka, Ta, Ba, Ra, Na. Huruf yang paling depan dan paling belakang dijumlah dan dibagi tiga harus sisa satu atau dua. Contohnya: Amrinta.
Ha = 1
Ta =  7
Jumlahnya delapan dibagi tiga sama dengan dua sisa dua.
Huruf Jawa jumlahnya ada dua puluh, yaitu:
huruf jawa-2

16)  Jangan membuat sakit hati dan atau dendam kepada sesama kadang golongan, lebih lebih sampai mengeluarkan air mata.
17)  Kalau akan membangun rumah harus berpuasa  sehari semalam tidak makan, tidak minum dan tidak tidur; Contohnya: misalnya akan memulai membangun rumah pada hari Rabu Pahing, maka mulai hari Selasa Legi sampai dengan hari Rabu Pahing pagi (jadi malam Rabu Pahing penuh) tidak makan, tidak minum dan tidak tidur, Hari Rabu Pahing pagi sudah boleh makan dan minum serta tidur.
18)  Tidak boleh pada menjual IlmuKu (Ilmu milik atau yang dibawa oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo).
19)  Besok, sepeninggal saya, yang akan meneruskan tugas-tugasKu (terjemahan dari lelakonKu) adalah anakku Wenang.
20)  Besok, sepeninggal Saya, Bale Suci Muntilan menjadi pusatnya dunia. Di kiri-kanan Bale Suci banyak gedung dan jalan yang lebar.
21)  Untuk syarat bagi kadang-golongan di Gunungkidul yaitu mengelilingi, memutari lapangan Wonosari dari Timur Laut (pojok timur laut)  ke arah kiri.
22)  Sepeninggal Saya, jangan pada menyembah gambar/foto atau batu nisan, yaitu foto dan batu nisan Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo.
23)  Sepeninggal saya fotoKu/gambarKu (wujudKu) jangan dibuat arca/patung.
24)  Kalau bertapa brata untuk kepentingan anak laki-laki itu dilakukan oleh ibunya, sedangkan untuk anak perempuan oleh ayahnya. Kalau bertapa brata baik untuk kepentingan anak laki-laki maupun perempuan itu akan lebih bayak terkabulnya kalau dilakukan oleh ibunya.
25)  Ketika Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo berkunjung ke desa Logantung, Semin, Gunungkidul, di rumah Bapak Mentajiwa yaitu ayah dari Ny. Hadisubrata dan Ny. Martabudiyana, Beliau mengatakan sebagai berikut:
-         “Kalau mengalami sakit telinga mendadak, obatnya bunga Turi merah digiling, kemudian diperas dan airnya diteteskan pada telinga yang sakit.
-         “Kalau mengalami sakit perut mendadak, obatnya kacang Bengle yang besar, diparut diberi garam secukupnya kemudian diminum, atau tembakau yang tumbuh di teras rumah diremas-remas dan diusapkan pada perut yang sakit, atau  minyak tanah yang berada pada lampu minyak yang menyala diolesk-oleskan pada perut yang sakit, atau kunyit dikunyah sebagian ditelan dan sebagian diusap-usapkan pada perut yang sakit.”
-         “Untuk sakit panas obatnya kulit jagung dari tiga buah jagung dan padi tiga ikat diairi dengan pancuran air sungai kemudian direbus, sebagian air rebusan diminum dan sebagian lainnya di usap-usapkan pada tubuh.”

26)   “Jangan melupakan adat Jawanya, bapak tidak boleh menyumpahi anaknya, pegawai harus mencintai pangkatnya, petani agar mencintai tanahnya, di Sendang Logantung ini, airnya adalah air kehidupan, dapat digunakan sebagai obat.”
27)  Orang yang sudah sakit parah, hingga tiba saat menjelang ajalnya, sudah lama sakit tetapi susah meninggalnya, kemudian didoakan, selesai berdoa, telapak kakinya didorong (dibengkokkan ke atas) dan ditarik (dibengkokkan ke bawah), tujuh kali. Kalau permohonannya dikabulkan, kalau memang masih diberi kesempatan hidup, akan segera sembuh dari sakitnya, tetapi kalau memang sudah tiba ajalnya akan segera meninggal dunia. Agar lebih jelas, saya beri penjelasan sebagai berikut: orang yang sakit tadi ditidurkan dengan posisi kepala berada di sebelah utara, kedua kakinya diluruskan dan saling didekatkan satu sama lain, kita bersembahyang di dekat kakinya menghadap ke utara, dengan permohonan:”Rama Pran-Soeh, saya mohon agar si X (nama orang yang sakit), kalau masih akan diberi sehat, agar segera disembuhkan dari segala penyakitnya, sedangkan bila sudah tidak akan diberi sehat, agar segera diambil/ diakhiri  hidupnya, saya kasihan karena penderitaan yang ditanggung karena sakit sudah terlalu lama.” Kaki orang yang sakit tersebut (telapak kaki kiri dipegang dengan tangan kanan, sedangkan telapak kaki kanan dipegang dengan tangan kiri, kemudian kedua telapak kaki tersebut didorong (dibengkokkan ke atas) dan ditarik (dibengkokkan ke bawah) sebanyak tujuh kali yaitu ke atas tujuh kali dan ke bawah tujuh kali.


PERINTAH/SABDA RAMA RESI PRAN-SOEH SASTROSOEWIGNJO DIKUTIP DARI SURAT WASIYAT

1.      Tuhan Allah mengirim Utusan kepada umat diberi Ilmu Tiga Perangkat, 1. Cahaya Allah; 2. Utusan Allah; 3. Wajah sama tetap musuhnya Allah itu salah, yang punya musuh itu Adam yaitu umat (kalau memohon untuk bertemu nyawa masing-masing kan tidak bertemu nyawa Utusan, yaitu Wahyu Sejatining Kakung/Putri), itu tidak dapat dekat/berani dengan Tuhan Allah, Tuhan Allah tidak memiliki musuh.

2.      Ijab Roh itu juga tidak diperkenankan, hukumnya kalau ingin menjadi manusia lagi harus dapat mencapai katam yang jelas. Perkawinan yang mana mempelai wanitanya sudah hamil duluan, itu namanya perbuatan zina (melanggara Angger-angger Sebelas Bagian Larangan nomor satu).

3.      Pran-Soeh tidak memiliki wakil, yang dapat diwakili itu adalah Resi Pran-Soeh. Kalau dapat diwakili, wakilnya kemudian mempunyai pilihan, kalau yang mengenai akan mempunyai keunggulan-keunggulan dan disembah-sembah karena menjadi makhluk/umat yang paling tinggi derajatnya pasti sanggup, kalau diwakilkan seperti yang Saya alami ini kan pasti tidak sanggup.

4.      Jenazah orang mati tidak boleh ditumpuk serta batu nisan tidak boleh dirusak.

5.      Makam ayah dan ibu, agar disediakan waktu untuk dikunjungi meski hanya setahun sekali, agar selalu diingat bahwa manusia yang sudah bisa pulang itu hanya menyisakan angin tiga tunggal, serta aji/senjata yang suaranya “thiyut-thiyut” tiga kali masih digunakan.

6.      Jika sedang bersemedi tidak diperkenankan menyentuh/memegang yang tengah, harus menyentuh/memegang tempat yang suci berada di sebelah kiri. Barangsiapa dan siapa saja yang masih menyentuh/memegang yang tengah, pertanda belum katam yang jelas.


Selesai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tanggal 1 Agustus 2012, jam 02:22 WITA.




***A***

6 komentar:

  1. Kepada para kadang golongan (murid-murid) Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo dimanapun berada, saya umumkan sebagai berikut:
    1. Telah berdiri Yayasan Umat Pran-Soeh, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI nomor: C-1708.HT.01.02 Tahun 2007 dengan alama: Kantor Pusat Jl. Tentara Pelajar no. 47, Wonosari, Gunungkidul, Yogyakarta, kode pos 55813. Dengan Pengurus sbb:
    - Ketua : Supardi Y.
    - Sekretaris: Purnomosidi
    - Bendahara : Karyono
    Rekening BRI Cabang Wonosari, nomor: 0153-01-005742-50-1 a.n. Supardi Y.

    2. Telah berdiri pula Paguyuban Umat Pran-Soeh, berdasarkan Akte Notaris Rina Anekke Suci Rachmawaty, SH, M.Kn dan terdaftar di Panitera Pengadilan Negeri Wonosari tgl 12 Maret 2007, nomor: 12/ABH/LSM/III/PN.Wns. Penanggungjawab Paguyuban: Supardi Y.
    Alamat: Jl. Tentara Pelajar 47, Wonosari, Gunungkidul, DIY.

    3. Maksud dan tujuan didirikannya yayasan dan paguyuban tersebut adalah untuk melestarikan Ngelmu Kasuksman Telung Prangkat dan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo serta untuk menghimpun dan memelihara Umat Pran-Soeh agar selalu setia dan patuh menjalankan PerintahNya sehingga dapat hidup dengan karakter/kepribadian yang suci, jujur, benar, penuh cinta kasih yang dapat menyumbang terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, tata-titi-tentrem kerta raharja.

    4. Untuk dapat menjalankan kedua organisasi kemasyarakatan tersebut tentu diperlukan biaya yang tidak kecil, oleh karena itu saya menghimbau dan mengharapkan kepada kadang golongan agar mau menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk menyumbangkan dana dan disetor pada rekening sebagaimana disebutkan pada angka 1. di atas. Atas perhatian dan partisipasi para kadang golongan, saya dan seluruh pengurus dan penanggungjawab mengucapkan terima kasih. Salam Pran-Soeh! Rama Pran-Soeh memberkati anda semua!

    BalasHapus
  2. Diumumkan kepada para kadang golongan dimanapun berada bahwa Paguyuban Umat Pran-Soeh akan menyelenggarakan perayaan peringatan peristiwa Rama Resi Pran-Soeh Sastrosoewignjo menerima Wahyu yang pertama Wahyu Sejatining Putri (13 Sura tahun 1819) yang akan diadakan pada tanggal 12 Sura 1940 atau tgl 8 Desember 2011 malam bertempat di Jalan Tentara Pelajar no. 47 Wonosari, Gunungkidul, DIY.
    Dengan acara sbb:
    1. Pembukaan dari Ketua Panitia Penyelenggara
    2. Sambutan-sambutan, a.l. oleh Bp. Jangkung Sujarwadi, tokoh masyarakat, dsb
    3. Melaksanakan syarat untuk keselamatan kita selama tahun 2012: Puji Langgeng yang dinyanyikan dg iringan gamelan dilanjutkan dengan sembahyang bersama.
    4. Pagelaran wayang kulit semalam suntuk dg lakon Gatot Kaca Suci.

    Bagi para kadang golongan yang ingin mengikuti pelaksanaan syarat utk keselamatan tahun 2012 dimohon hadir di tempat perayaan pada jam 19:00 WIB tgl 8 Des. 2011.
    Panitia Penyelenggara tidak mengenakan biaya apapun bagi peserta, tetapi bagi kadang golongan yang ingin menyumbang untuk ikut serta meringankan beban biaya penyelenggaraan, dapat dikirim ke rek. 0153-01-005742-5-1 (BRI Cab. Wonosari, a.n. Supardi Y) atau diserahkan langsung kepada panitia di tempat penyelenggaraan.
    Atas perhatian dan partisipasi para Kadang Golongan, kami, Panitia Penyelenggaran mengucapkan terima kasih. Salam Pran-Soeh!

    BalasHapus
  3. Bagi para kadang golongan yang ingin mengetahui informasi tentang Yayasan Umat Pran-Soeh dan Paguyuban Umat Pran-Soeh lebih rinci lagi dapat langsung menghubungi ketua dan penanggungjawab yaitu Bp. Supardi Y, nomor HP: 087839438563

    BalasHapus
  4. ralat nomor rekening, yang benar: 0153-01-005742-50-1

    BalasHapus
  5. PELUANG LOAN !!!
    Apakah Anda mencari pemberi pinjaman swasta? Apakah Anda membutuhkan pinjaman segera? Apakah kamu memiliki kredit buruk? Apakah bank anda gagal? Saya dapat membantu Anda mengamankan pinjaman. Tidak ada jaminan yang dibutuhkan.
    Saya adalah investor swasta yang mengkhususkan diri dalam menyediakan semua jenis dana investasi, termasuk reksa dana, pinjaman pribadi, pinjaman usaha, pinjaman real estat, pinjaman kombinasi, pinjaman konsolidasi, pinjaman komersial dan banyak lagi.
    Bebas scam dan legit
    Tidak ada permainan, bisnis saja
    Jumlah Pinjaman: Minimal $ 1.000 sampai jumlah pinjaman maksimum $ 5.000.000,00
    Suku bunga pinjaman: 2%
    Area pinjaman: seluruh dunia
    Durasi maksimal: sampai 20 tahun
    Tidak ada penalti prabayar
    Pendanaan segera setelah dokumentasi dan persetujuan yang tepat.
    Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi kami melalui pesan melalui email pribadi kami di theresaloancompany@gmail.com

    BalasHapus
  6. Terima kasih Pak Darmono atas informasinya sehingga hari ini saya bisa membaca kisah dan belajar dari ajaran Romo Pran-soeh. Terima kasih para kadang golongan atas terselenggaranya blog ini sehingga saya dapat turut belajar ilmu kebatinan dari Romo Pran-soeh melalui utusannya. Rahayu.

    BalasHapus

Silahkan tulis komentar anda